25.6 C
Medan
Saturday, May 11, 2024

Rafael Diduga Terima Gratifikasi dari Perusahaan Jasa Konsultan, KPK Tahan Rafael Alun

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setelah menyandang status tersangka, eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo akhirnya mendekam di tahanan KPK, kemarin (3/4). Ayah Mario Dandy Satriyo, pelaku penganiayaan David Ozora, itu disangka menerima gratifikasi dengan total hampir Rp34 miliar.

Rafael ditahan setelah menjalani pemeriksaan di KPK. Dia tiba di gedung Merah Putih tersebut sekitar pukul 10.00 WIB. Kemudian sekitar pukul 17.00 WIB, secara resmi Rafael diumumkan sebagai tersangka oleh KPK. Bersama pengumuman itu, KPK juga menunjukkan barang bukti berupa barang mewah dan uang tunai.

Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri memerinci barang mewah itu antara lain 2 buah dompet, 1 ikat pinggang, 1 jam tangan, 68 buah tas, dan 29 perhiasan. Sementara uang tunai sebanyak Rp32,2 miliar juga diamankan sebagai barang bukti. Uang itu dalam pecahan dolar Amerika Serikat, dolar Singapura, Euro dan rupiah.

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, konstruksi perkara gratifikasi itu ditengarai berawal dari tahun 2011 atau ketika Rafael menjabat Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jawa Timur I. Saat itu, Rafael diduga sudah menerima gratifikasi dari beberapa wajib pajak. Gratifikasi itu untuk pengondisian berbagai temuan pemeriksaan pajak.

Rafael juga ditengarai memiliki mendapatkan gratifikasi dari salah satu perusahaannya yang bergerak di bidang jasa konsultasi terkait pembukuan dan perpajakan. Perusahaan bernama PT Artha Mega Ekadhana (AME) tersebut banyak digunakan wajib pajak yang diduga mengalami permasalahan pajak. Khususnya terkait kewajiban pelaporan pembukuan pajak melalui Dirjen Pajak.

“Setiap kali wajib pajak mengalami kendala dan permasalahan dalam proses penyelesaian pajaknya, RAT (Rafael, Red) diduga aktif merekomendasikan PT AME (kepada wajib pajak, Red),” ujarnya dalam konferensi pers di gedung KPK.

Sebagai bukti permulaan, selain uang tunai dan barang mewah, KPK juga telah menemukan indikasi aliran dana sebesar USD 90 ribu (sekitar Rp1,3 miliar) dari wajib pajak ke PT AME. Uang itu juga menjadi bagian penerimaan gratifikasi Rafael. “Saat ini dilakukan pendalaman dan penelusuran (terkait indikasi aliran dana ke PT AME, Red),” ungkap Firli.

Firli menambahkan, perbuatan Rafael itu disangka melanggar Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor dengan ancaman maksimal penjara 20 tahun. KPK berjanji akan memberikan fokus khusus pada kasus Rafael. Juga kasus korupsi lain di sektor pelayanan publik atau keuangan negara. “Karena korupsi pada modus ini memberikan dampak buruk yang langsung dirasakan oleh masyarakat sekaligus merugikan keuangan negara,” terangnya.

Rafael keluar dari ruang penyidik KPK sekitar pukul 16.20 WIB. Ia terlihat mengenakan rompi tahanan dengan tangan di borgol.

Rafael Alun tak habis pikir bisa dijerat oleh KPK. Sebab, selama ini selalu patuh dengan perintah KPK untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), sejak dirinya masuk kategori wajib lapor, pada 2011.

“Saya dapat mengklarifikasi bahwa saya selalu tertib melaporkan SPT-OP dan LHKPN, tidak pernah menyembunyikan harta, dan siap menjelaskan asal usul setiap aset tetap,” klaim Rafael.

Sebelumnya, Rafael menyatakan, selalu tertib dalam melaporkan SPT tahunan orang pribadi sejak 2002, dan seluruh aset tetap dalam LHKPN. Ia pun mengaku, kerap menaikkan nilai aset yang dimiliki saat menyampaikan LHKPN.

Menurutnya, aset yang dilaporkan  sejak 2012 hingga 2022, tak jauh berbeda. Namun memang terjadi perubahan nilai, karena menyesuaikan nilai jual objek pajak (NJOP)

”Hal ini terlihat dari nilai aset tetap dalam LHKPN yang tinggi karena mencantumkan nilai NJOP, walaupun sebenarnya nilai pasar bisa lebih rendah dari NJOP. Saya selalu membuat catatan sesuai dokumen hukum dan siap menjelaskan asal usul setiap aset jika dibutuhkan,” tegas Rafael.

Selain itu, Rafael juga mengaku kerap mengikuti program tax amnesty pada 2016 dan Program Pengampunan Pajak (PPS) pada 2022. Hal ini tentunya sebagai bentuk kepatuhan dalam membayar pajak.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak KPK tidak berlama-lama mengembangkan perkara gratifikasi Rafael dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Itu dapat memaksimalkan pengembalian kerugian negara. “Dulu biasanya KPK langsung menempelkan TPPU dalam kasus gratifikasi,” ujarnya.

Selain itu, Boyamin juga mendesak KPK mengembangkan kasus Rafael ke pihak-pihak lain yang ditengarai terlibat dalam korupsi perpajakan. Menurutnya, Rafael tidak mungkin sendirian melakukan perbuatan tersebut. “Karena ada pola pengawasan dalam sistem pemungutan pajak, sehingga tidak mungkin masalah pajak bisa diselesaikan dengan mulus jika dilakukan sendirian,” tuturnya. (tyo/jpc/ila)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Setelah menyandang status tersangka, eks pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo akhirnya mendekam di tahanan KPK, kemarin (3/4). Ayah Mario Dandy Satriyo, pelaku penganiayaan David Ozora, itu disangka menerima gratifikasi dengan total hampir Rp34 miliar.

Rafael ditahan setelah menjalani pemeriksaan di KPK. Dia tiba di gedung Merah Putih tersebut sekitar pukul 10.00 WIB. Kemudian sekitar pukul 17.00 WIB, secara resmi Rafael diumumkan sebagai tersangka oleh KPK. Bersama pengumuman itu, KPK juga menunjukkan barang bukti berupa barang mewah dan uang tunai.

Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri memerinci barang mewah itu antara lain 2 buah dompet, 1 ikat pinggang, 1 jam tangan, 68 buah tas, dan 29 perhiasan. Sementara uang tunai sebanyak Rp32,2 miliar juga diamankan sebagai barang bukti. Uang itu dalam pecahan dolar Amerika Serikat, dolar Singapura, Euro dan rupiah.

Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, konstruksi perkara gratifikasi itu ditengarai berawal dari tahun 2011 atau ketika Rafael menjabat Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Jawa Timur I. Saat itu, Rafael diduga sudah menerima gratifikasi dari beberapa wajib pajak. Gratifikasi itu untuk pengondisian berbagai temuan pemeriksaan pajak.

Rafael juga ditengarai memiliki mendapatkan gratifikasi dari salah satu perusahaannya yang bergerak di bidang jasa konsultasi terkait pembukuan dan perpajakan. Perusahaan bernama PT Artha Mega Ekadhana (AME) tersebut banyak digunakan wajib pajak yang diduga mengalami permasalahan pajak. Khususnya terkait kewajiban pelaporan pembukuan pajak melalui Dirjen Pajak.

“Setiap kali wajib pajak mengalami kendala dan permasalahan dalam proses penyelesaian pajaknya, RAT (Rafael, Red) diduga aktif merekomendasikan PT AME (kepada wajib pajak, Red),” ujarnya dalam konferensi pers di gedung KPK.

Sebagai bukti permulaan, selain uang tunai dan barang mewah, KPK juga telah menemukan indikasi aliran dana sebesar USD 90 ribu (sekitar Rp1,3 miliar) dari wajib pajak ke PT AME. Uang itu juga menjadi bagian penerimaan gratifikasi Rafael. “Saat ini dilakukan pendalaman dan penelusuran (terkait indikasi aliran dana ke PT AME, Red),” ungkap Firli.

Firli menambahkan, perbuatan Rafael itu disangka melanggar Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor dengan ancaman maksimal penjara 20 tahun. KPK berjanji akan memberikan fokus khusus pada kasus Rafael. Juga kasus korupsi lain di sektor pelayanan publik atau keuangan negara. “Karena korupsi pada modus ini memberikan dampak buruk yang langsung dirasakan oleh masyarakat sekaligus merugikan keuangan negara,” terangnya.

Rafael keluar dari ruang penyidik KPK sekitar pukul 16.20 WIB. Ia terlihat mengenakan rompi tahanan dengan tangan di borgol.

Rafael Alun tak habis pikir bisa dijerat oleh KPK. Sebab, selama ini selalu patuh dengan perintah KPK untuk menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), sejak dirinya masuk kategori wajib lapor, pada 2011.

“Saya dapat mengklarifikasi bahwa saya selalu tertib melaporkan SPT-OP dan LHKPN, tidak pernah menyembunyikan harta, dan siap menjelaskan asal usul setiap aset tetap,” klaim Rafael.

Sebelumnya, Rafael menyatakan, selalu tertib dalam melaporkan SPT tahunan orang pribadi sejak 2002, dan seluruh aset tetap dalam LHKPN. Ia pun mengaku, kerap menaikkan nilai aset yang dimiliki saat menyampaikan LHKPN.

Menurutnya, aset yang dilaporkan  sejak 2012 hingga 2022, tak jauh berbeda. Namun memang terjadi perubahan nilai, karena menyesuaikan nilai jual objek pajak (NJOP)

”Hal ini terlihat dari nilai aset tetap dalam LHKPN yang tinggi karena mencantumkan nilai NJOP, walaupun sebenarnya nilai pasar bisa lebih rendah dari NJOP. Saya selalu membuat catatan sesuai dokumen hukum dan siap menjelaskan asal usul setiap aset jika dibutuhkan,” tegas Rafael.

Selain itu, Rafael juga mengaku kerap mengikuti program tax amnesty pada 2016 dan Program Pengampunan Pajak (PPS) pada 2022. Hal ini tentunya sebagai bentuk kepatuhan dalam membayar pajak.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendesak KPK tidak berlama-lama mengembangkan perkara gratifikasi Rafael dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Itu dapat memaksimalkan pengembalian kerugian negara. “Dulu biasanya KPK langsung menempelkan TPPU dalam kasus gratifikasi,” ujarnya.

Selain itu, Boyamin juga mendesak KPK mengembangkan kasus Rafael ke pihak-pihak lain yang ditengarai terlibat dalam korupsi perpajakan. Menurutnya, Rafael tidak mungkin sendirian melakukan perbuatan tersebut. “Karena ada pola pengawasan dalam sistem pemungutan pajak, sehingga tidak mungkin masalah pajak bisa diselesaikan dengan mulus jika dilakukan sendirian,” tuturnya. (tyo/jpc/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/