35.6 C
Medan
Saturday, May 25, 2024

Kasus Mafia Migor Naik ke Penyidikan, Kejagung Telusuri Dugaan Gratifikasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) meningkatkan status penanganan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021-2022 dari penyelidikan ke tingkat penyidikan. Jaksa menilai ada penyalahgunaan penerbitan persetujuan ekspor dalam kasus tersebut.

“Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus resmi menaikkan status penanganan Perkara Dugaan Tindakn

Pidana Korupsi dalam Pemberian Fasilitas Ekspor Minyak Goreng Tahun 2021-2022 menjadi tahap penyidikan,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana, dalam keterangannya, Selasa (5/4).

Peningkatan status perkara ke penyidikan tersebut juga dilengkapi Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Kuhusu Nomor: Prin-17/F.2/Fd.2/04/2022 tanggal 04 April 2022.

Awalnya tim Kejagung melakukan penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.1/03/2022 tanggal 14 Maret 2022. Selama penyelidikan tersebut, tim penyelidik mendapatkan keterangan dari 14 orang saksi dan dokumen/surat terkait Pemberian Fasilitas Ekspor Minyak Goreng Tahun 2021-2022.

Dari hasil kegiatan penyelidikan sebelumnya, jaksa menemukan dugaan perbuatan melawan hukum. Salah satunya mengenai dugaan penyalahgunaan persetujuan izin ekspor yang tidak mengindahkan kewajiban distribusi dalam negeri (DMO).

Dikeluarkannya Persetujuan Ekspor (PE) kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya, karena tidak memenuhi syarat DMO-DPO, antara lain:1) PT Mikie Oleo Nabati Industri (OI) tetap mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI.

2) PT Karya Indah Alam Sejahtera (IS) tetap mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI.

Adapun kesalahannya adalah tidak mempedomani pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga dan harga penjualan didalam negeri (DPO) melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya (di atas Rp 10.300).”Disinyalir adanya gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan Persetujuan Ekspor (PE),” kata Ketut.

Akibat diterbitkannya Persetujuan Ekspor (PE) yang bertentangan dengan hukum dalam kurun waktu 1 Februari-20 Maret 2022 itu mengakibatkan kemahalan, serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.(dtc)

MAKI Duga 9 Perusahaan Ekspor CPO Besar-besaran

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menduga 9 perusahaan mengekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) secara besar-besaran sehingga menyebabkan minyak goreng langka di Indonesia. MAKI pun melaporkan 9 perusahaan itu ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

“Ini saya menyerahkan 9 perusahaan besar yang ini diduga kalau KPPU ranahnya ya, terafiliasi dengan kebun sawit, artinya dia punya kebun sawit, pabrik CPO, pabrik minyak goreng, kemudian distribusi penjualan. Nah ini perusahaan-perusahaan penjualannya karena saya cek itu terafiliasi dengan perusahaan besar,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan di Kantor KPPU, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (5/4/2022).

Boyamin mengatakan 9 perusahaan itu diduga telah melakukan ekspor besar-besaran. Boyamin menyebut 9 perusahaan itu di antaranya, PT PA, PT EP, PT PI, PT BA, PT IT, PT NL, PT TJ, PT MS, PT SP.

“Karena CPO ini dijual ke luar negeri besar-besaran, maka minyak goreng kita tidak supplier, termasuk BUMN saja itu juga tidak produksi, padahal punya fasilitas minyak goreng, kemarin di Banten juga nggak produksi, karena tidak ada setoran CPO Kalimantan, padahal biasanya dapat dari Kalimantan,” katanya.

Boyamin menyebut 9 perusahaan itu telah bekerja sama dalam menentukan harga minyak goreng. Sehingga perusahaan-perusahaan itu diduga telah merugikan masyarakat.

“Bahwa ini ada keuntungan besar-besaran, dan merugikan masyarakat, nanti saya meminta sanksinya itu keuntungannya diserahkan ke negara. Tapi kalau lebih jauh lagi, bisa terafiliasi sehingga menentukan harga dan mereka bersekongkol dalam harga, nah itu biarkan KPPU yang menentukan lebih lanjut,” katanya.

Boyamin mengatakan 9 perusahaan itu diduga tidak membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dia mengatakan hal itu diserahkan kepada KPPU, Kejaksaan Agung, dan kepolisian untuk diselidiki.

“Saya katakan ada sembilan perusahaan besar yang menjual CPO yang tidak bayar PPN, ini wilayah abu-abu, kalau langsung jual hanya membayar biaya keluar 5 persen, tapi karena ini masuk pusat logistik berikatan harus masuk industri,” katanya.

“Jadi harus dijual minyak goreng ke orang lain, maka membayar PPN 10 persen, harusnya negara dapat 15 persen, tapi ini hanya mendapatkan 5 persen, ini satu rangkaian biarkan KPPU kerjasama dengan Kejaksaan Agung, kepolisian untuk menentukan langkah itu,” lanjutnya.

 

Operasi Pasar Tak Optimal

Menyikapi kelangkaan dan masih mahalnya harga minyak goreng di Sumut, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi menginstruksikan Pemkab dan Pemko untuk segera mengambil tindakan guna menekan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Menurut Edy, kebijakan operasi pasat yang biasa menjadi andalan bagi Pemkab dan Pemko, bukanlah soluisi tepat menekan harga minyak goreng.

“Pemerintah Kabupaten/Kota pernah saya kulik-kulik (untuk tekan harga migor). Jawabnya sederhana sekali. Pak, kita adakan saja operasi pasar. Kau bilang tidak ada minyak, tapi dari mana kau buat operasi pasar?” kata Edy kepada wartawan di rumah dinas, Selasa (5/4).

Edy pun mengungkapkan rasa kesalnya. Menurutnya, upaya yang dilakukan Pemkab dan Pemko tidak optimal dalam menekan harga minyak goreng. “Ada yang ngasih pak, yang ngasih itu kau tendang. Makanya saya tak mau kalau operasi pasar. Tidak menyelesaikan masalah operasi pasar itu,” tutur mantan Pangkostrad itu.

Edy mengaku binggung dengan kondisi minyak goreng di Sumut ini. Pasalnya, produksi berlimpah dan surplus. Tapi, tidak bisa mengendalikan harga migor tersebut di Sumut. Edy mengatakan Pemprov Sumut terus berupaya mengendalikan harga migor tersebut. Dengan tujuan pasokan aman dan harga stabil. “Di Sumut ini minyak goreng ini langka dan saat ini masih mahal, ini yang buat saya bingung, tak masuk akal. Tiap hari saya panggil Naslindo (Kabag Perekonomian) ini saya tanya bagaimana ini. Saya minta ini benar-benar bisa diselesaikan,” jelasnya.

Dengan begitu, Edy berharap dengan Rapat Koordinasi yang digelar bersama KPK dapat menyelesaikan permasalahan minyak goreng di Sumut. Karena, menurutnya, rakyat Sumut seharusnya bisa menikmati hasil pertanian Kelapa Sawit yang cukup besar. “Maunya tuntas lah ini. Ini saya lakukan untuk rakyat saya tercinta ini 15 juta rakyat saya. Saya ingin rakyat saya ini menikmati hasil alamnya, dengan pengelolaan yang benar, distribusi yang benar. Pajaknya benar, agar semua hidup sehat,” tandas Gubernur Edy.(dtc/gus)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) meningkatkan status penanganan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak goreng tahun 2021-2022 dari penyelidikan ke tingkat penyidikan. Jaksa menilai ada penyalahgunaan penerbitan persetujuan ekspor dalam kasus tersebut.

“Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus resmi menaikkan status penanganan Perkara Dugaan Tindakn

Pidana Korupsi dalam Pemberian Fasilitas Ekspor Minyak Goreng Tahun 2021-2022 menjadi tahap penyidikan,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana, dalam keterangannya, Selasa (5/4).

Peningkatan status perkara ke penyidikan tersebut juga dilengkapi Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Kuhusu Nomor: Prin-17/F.2/Fd.2/04/2022 tanggal 04 April 2022.

Awalnya tim Kejagung melakukan penyelidikan berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.1/03/2022 tanggal 14 Maret 2022. Selama penyelidikan tersebut, tim penyelidik mendapatkan keterangan dari 14 orang saksi dan dokumen/surat terkait Pemberian Fasilitas Ekspor Minyak Goreng Tahun 2021-2022.

Dari hasil kegiatan penyelidikan sebelumnya, jaksa menemukan dugaan perbuatan melawan hukum. Salah satunya mengenai dugaan penyalahgunaan persetujuan izin ekspor yang tidak mengindahkan kewajiban distribusi dalam negeri (DMO).

Dikeluarkannya Persetujuan Ekspor (PE) kepada eksportir yang seharusnya ditolak izinnya, karena tidak memenuhi syarat DMO-DPO, antara lain:1) PT Mikie Oleo Nabati Industri (OI) tetap mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI.

2) PT Karya Indah Alam Sejahtera (IS) tetap mendapatkan Persetujuan Ekspor (PE) dari Kementerian Perdagangan RI.

Adapun kesalahannya adalah tidak mempedomani pemenuhan kewajiban distribusi kebutuhan dalam negeri (DMO) sehingga dan harga penjualan didalam negeri (DPO) melanggar batas harga yang ditetapkan pemerintah dengan menjual minyak goreng di atas DPO yang seharusnya (di atas Rp 10.300).”Disinyalir adanya gratifikasi dalam pemberian izin penerbitan Persetujuan Ekspor (PE),” kata Ketut.

Akibat diterbitkannya Persetujuan Ekspor (PE) yang bertentangan dengan hukum dalam kurun waktu 1 Februari-20 Maret 2022 itu mengakibatkan kemahalan, serta kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dan industri kecil yang menggunakan minyak goreng.(dtc)

MAKI Duga 9 Perusahaan Ekspor CPO Besar-besaran

Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menduga 9 perusahaan mengekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) secara besar-besaran sehingga menyebabkan minyak goreng langka di Indonesia. MAKI pun melaporkan 9 perusahaan itu ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

“Ini saya menyerahkan 9 perusahaan besar yang ini diduga kalau KPPU ranahnya ya, terafiliasi dengan kebun sawit, artinya dia punya kebun sawit, pabrik CPO, pabrik minyak goreng, kemudian distribusi penjualan. Nah ini perusahaan-perusahaan penjualannya karena saya cek itu terafiliasi dengan perusahaan besar,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan di Kantor KPPU, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (5/4/2022).

Boyamin mengatakan 9 perusahaan itu diduga telah melakukan ekspor besar-besaran. Boyamin menyebut 9 perusahaan itu di antaranya, PT PA, PT EP, PT PI, PT BA, PT IT, PT NL, PT TJ, PT MS, PT SP.

“Karena CPO ini dijual ke luar negeri besar-besaran, maka minyak goreng kita tidak supplier, termasuk BUMN saja itu juga tidak produksi, padahal punya fasilitas minyak goreng, kemarin di Banten juga nggak produksi, karena tidak ada setoran CPO Kalimantan, padahal biasanya dapat dari Kalimantan,” katanya.

Boyamin menyebut 9 perusahaan itu telah bekerja sama dalam menentukan harga minyak goreng. Sehingga perusahaan-perusahaan itu diduga telah merugikan masyarakat.

“Bahwa ini ada keuntungan besar-besaran, dan merugikan masyarakat, nanti saya meminta sanksinya itu keuntungannya diserahkan ke negara. Tapi kalau lebih jauh lagi, bisa terafiliasi sehingga menentukan harga dan mereka bersekongkol dalam harga, nah itu biarkan KPPU yang menentukan lebih lanjut,” katanya.

Boyamin mengatakan 9 perusahaan itu diduga tidak membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dia mengatakan hal itu diserahkan kepada KPPU, Kejaksaan Agung, dan kepolisian untuk diselidiki.

“Saya katakan ada sembilan perusahaan besar yang menjual CPO yang tidak bayar PPN, ini wilayah abu-abu, kalau langsung jual hanya membayar biaya keluar 5 persen, tapi karena ini masuk pusat logistik berikatan harus masuk industri,” katanya.

“Jadi harus dijual minyak goreng ke orang lain, maka membayar PPN 10 persen, harusnya negara dapat 15 persen, tapi ini hanya mendapatkan 5 persen, ini satu rangkaian biarkan KPPU kerjasama dengan Kejaksaan Agung, kepolisian untuk menentukan langkah itu,” lanjutnya.

 

Operasi Pasar Tak Optimal

Menyikapi kelangkaan dan masih mahalnya harga minyak goreng di Sumut, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi menginstruksikan Pemkab dan Pemko untuk segera mengambil tindakan guna menekan harga minyak goreng yang melambung tinggi. Menurut Edy, kebijakan operasi pasat yang biasa menjadi andalan bagi Pemkab dan Pemko, bukanlah soluisi tepat menekan harga minyak goreng.

“Pemerintah Kabupaten/Kota pernah saya kulik-kulik (untuk tekan harga migor). Jawabnya sederhana sekali. Pak, kita adakan saja operasi pasar. Kau bilang tidak ada minyak, tapi dari mana kau buat operasi pasar?” kata Edy kepada wartawan di rumah dinas, Selasa (5/4).

Edy pun mengungkapkan rasa kesalnya. Menurutnya, upaya yang dilakukan Pemkab dan Pemko tidak optimal dalam menekan harga minyak goreng. “Ada yang ngasih pak, yang ngasih itu kau tendang. Makanya saya tak mau kalau operasi pasar. Tidak menyelesaikan masalah operasi pasar itu,” tutur mantan Pangkostrad itu.

Edy mengaku binggung dengan kondisi minyak goreng di Sumut ini. Pasalnya, produksi berlimpah dan surplus. Tapi, tidak bisa mengendalikan harga migor tersebut di Sumut. Edy mengatakan Pemprov Sumut terus berupaya mengendalikan harga migor tersebut. Dengan tujuan pasokan aman dan harga stabil. “Di Sumut ini minyak goreng ini langka dan saat ini masih mahal, ini yang buat saya bingung, tak masuk akal. Tiap hari saya panggil Naslindo (Kabag Perekonomian) ini saya tanya bagaimana ini. Saya minta ini benar-benar bisa diselesaikan,” jelasnya.

Dengan begitu, Edy berharap dengan Rapat Koordinasi yang digelar bersama KPK dapat menyelesaikan permasalahan minyak goreng di Sumut. Karena, menurutnya, rakyat Sumut seharusnya bisa menikmati hasil pertanian Kelapa Sawit yang cukup besar. “Maunya tuntas lah ini. Ini saya lakukan untuk rakyat saya tercinta ini 15 juta rakyat saya. Saya ingin rakyat saya ini menikmati hasil alamnya, dengan pengelolaan yang benar, distribusi yang benar. Pajaknya benar, agar semua hidup sehat,” tandas Gubernur Edy.(dtc/gus)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/