25 C
Medan
Monday, June 17, 2024

Suara Demokrat Menurun, PDIP Naik Lewati Golkar

JAKARTA- Terpaan isu yang menimpa Partai Demokrat ternyata berpengaruh pada kepercayaan publik. Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia menyebutkan, Demokrat masih menjadi pemenang dalam perolehan suara. Namun, memasuki tahun 2011, persentase kemenangan Demokrat menurun menjadi 18,9 persen.

“Hubungan partai dengan pemilih pada tahun ini terus melemah. Lebih banyak pemilih mengambang dari mereka yang memilih partai,” ujar Saiful Mujani, Direktur Eksekutif LSI, dalam keterangan pers di Jakarta, kemarin (29/5).
Survei LSI pada 15-25 Mei itu menunjukkan, hampir seluruh partai penghuni parlemen mengalami penurunan perolehan suara. Golkar yang selalu berada di tempat kedua di belakang Demokrat, kini turun di peringkat tiga dengan 12,5 persen suara. Hanya PDIP yang tren suaranya naik, dari 14,3 persen di survei terakhir, kini melonjak menjadi 16,7 persen.

Menurut Mujani, kecenderungan Demokrat saat ini memang masih unggul. Namun, sentimen responden terhadap partai berlambang mirip segitiga Mercy ini terus menurun. Bulan madu Demokrat pasca pemilu 2009 yang menunjukkan tren kenaikan saat ini sudah berakhir. “Ini sejarah pertama Demokrat, ada penurunan tren suara pemilu,” kata dia.

Penurunan suara Demokrat, ujar Mujani, belum memperhitungkan dampak isu negatif kasus yang menimpa kader Demokrat Muhammad Nazaruddin. Ini karena, survei LSI ketika itu sama sekali tidak mengukur keterkaitan itu dalam pertanyaan kepada responden. “Bisa saja pengaruh itu besar, namun kami belum memiliki ukurannya,” jelasnya.
Mujani menyatakan, kecenderungan turunnya suara Demokrat disebabkan karakter pemilihnya yang tidak stabil. Ini berbeda dengan suara yang diraih Partai Golkar dan PDIP. Kedua partai itu tidak mengalami fluktuasi yang tajam. Hal ini disebabkan kecenderungan dua partai lama itu yang memiliki pemilih loyalis.

Hanya bedanya, PDIP yang berada di luar pemerintahan lebih diuntungkan dipilih oleh responden. “Golkar dan PDIP stabil, namun Golkar tidak mampu menarik pemilih baru,” kata Mujani. Para pemilih yang tidak stabil itu berasal dari responden dengan latar belakang pendidikan tinggi. Sementara Golkar dan PDIP memiliki pemilih loyal di masyarakat dengan latar pendidikan lebih rendah.

Secara keseluruhan, turunnya tren pemilih disebabkan banyak responden yang belum menjatuhkan pilihannya kepada salah satu partai. Responden yang masih mengambang itu jumlahnya signifikan, mencapai 29,6 persen. Mayoritas mereka memilih belum memilih partai karena kecewa dengan kinerja anggota dewan yang mengecewakan.
Mujani, instabilitas pemilih partai ini merupakan tren yang tidak sehat. Para pemilih nampaknya sudah mulai jenuh dengan kinerja partai. Indikatornya, di tiga gelaran pemilu terakhir memiliki pemenang yang berbeda-beda.
Fakta yang patut dikhawatirkan, jumlah pemilih di tiga pemilu terakhir juga terus merosot. “Penurunan jumlah pemilih ini terlalu tajam dan cepat,” ujarnya mengingatkan. Pengamat Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai, kelemahan yang dimiliki parpol di Indonesia adalah ketidakmampuan merekrut pemilih loyalis.

Sebagai lembaga politik, parpol di Indonesia tidak mampu bersosialisasi di tengah publik secara luas. “Kalau partai sudah bekerja, dia pasti menjadi diinginkan. Otomatis pemilih mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari partai,” kata Hamdi di tempat yang sama.

Yang terjadi di parpol Indonesia adalah lemahnya pemilih memiliki identitas partai secara spesifik. Parpol tidak memberikan sumbangsih berdasarkan isu yang dibutuhkan oleh publik. Kecenderungan parpol selalu memberikan kampanye instan yang tidak substantif. “Kalau party ID (pemilih dengan identitas partai) lemah, berarti partai tidak hadir di tengah publik,” kata dia.

Karena tidak memiliki kerja nyata, parpol di Indonesia acapkali mengandalkan tokoh sebagai nilai jual. Kampanye semacam ini memang efektif, namun tidak sehat. Pada akhirnya parpol tidak akan bekerja, dan hanya berlomba-lomba mencari tokoh demi nilai jual. “Di sini, parpol bukan lembaga publik, tapi characteristic personal,” jelasnya.

Turunnya partisipasi pemilih di tiga periode terakhir pemilu, juga merupakan peringatan berbahaya. Publik bisa jadi memiliki sikap tidak percaya kepada parpol akibat kinerjanya yang tidak pernah berubah. Perlu ada perubahan dari parpol sehingga menjadi lembaga publik yang sebenarnya. “Bagaimana keluar dari ini” Parpol harus hilang dari dukungan dana cukong,” tandasnya. (bay)

JAKARTA- Terpaan isu yang menimpa Partai Demokrat ternyata berpengaruh pada kepercayaan publik. Hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia menyebutkan, Demokrat masih menjadi pemenang dalam perolehan suara. Namun, memasuki tahun 2011, persentase kemenangan Demokrat menurun menjadi 18,9 persen.

“Hubungan partai dengan pemilih pada tahun ini terus melemah. Lebih banyak pemilih mengambang dari mereka yang memilih partai,” ujar Saiful Mujani, Direktur Eksekutif LSI, dalam keterangan pers di Jakarta, kemarin (29/5).
Survei LSI pada 15-25 Mei itu menunjukkan, hampir seluruh partai penghuni parlemen mengalami penurunan perolehan suara. Golkar yang selalu berada di tempat kedua di belakang Demokrat, kini turun di peringkat tiga dengan 12,5 persen suara. Hanya PDIP yang tren suaranya naik, dari 14,3 persen di survei terakhir, kini melonjak menjadi 16,7 persen.

Menurut Mujani, kecenderungan Demokrat saat ini memang masih unggul. Namun, sentimen responden terhadap partai berlambang mirip segitiga Mercy ini terus menurun. Bulan madu Demokrat pasca pemilu 2009 yang menunjukkan tren kenaikan saat ini sudah berakhir. “Ini sejarah pertama Demokrat, ada penurunan tren suara pemilu,” kata dia.

Penurunan suara Demokrat, ujar Mujani, belum memperhitungkan dampak isu negatif kasus yang menimpa kader Demokrat Muhammad Nazaruddin. Ini karena, survei LSI ketika itu sama sekali tidak mengukur keterkaitan itu dalam pertanyaan kepada responden. “Bisa saja pengaruh itu besar, namun kami belum memiliki ukurannya,” jelasnya.
Mujani menyatakan, kecenderungan turunnya suara Demokrat disebabkan karakter pemilihnya yang tidak stabil. Ini berbeda dengan suara yang diraih Partai Golkar dan PDIP. Kedua partai itu tidak mengalami fluktuasi yang tajam. Hal ini disebabkan kecenderungan dua partai lama itu yang memiliki pemilih loyalis.

Hanya bedanya, PDIP yang berada di luar pemerintahan lebih diuntungkan dipilih oleh responden. “Golkar dan PDIP stabil, namun Golkar tidak mampu menarik pemilih baru,” kata Mujani. Para pemilih yang tidak stabil itu berasal dari responden dengan latar belakang pendidikan tinggi. Sementara Golkar dan PDIP memiliki pemilih loyal di masyarakat dengan latar pendidikan lebih rendah.

Secara keseluruhan, turunnya tren pemilih disebabkan banyak responden yang belum menjatuhkan pilihannya kepada salah satu partai. Responden yang masih mengambang itu jumlahnya signifikan, mencapai 29,6 persen. Mayoritas mereka memilih belum memilih partai karena kecewa dengan kinerja anggota dewan yang mengecewakan.
Mujani, instabilitas pemilih partai ini merupakan tren yang tidak sehat. Para pemilih nampaknya sudah mulai jenuh dengan kinerja partai. Indikatornya, di tiga gelaran pemilu terakhir memiliki pemenang yang berbeda-beda.
Fakta yang patut dikhawatirkan, jumlah pemilih di tiga pemilu terakhir juga terus merosot. “Penurunan jumlah pemilih ini terlalu tajam dan cepat,” ujarnya mengingatkan. Pengamat Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai, kelemahan yang dimiliki parpol di Indonesia adalah ketidakmampuan merekrut pemilih loyalis.

Sebagai lembaga politik, parpol di Indonesia tidak mampu bersosialisasi di tengah publik secara luas. “Kalau partai sudah bekerja, dia pasti menjadi diinginkan. Otomatis pemilih mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari partai,” kata Hamdi di tempat yang sama.

Yang terjadi di parpol Indonesia adalah lemahnya pemilih memiliki identitas partai secara spesifik. Parpol tidak memberikan sumbangsih berdasarkan isu yang dibutuhkan oleh publik. Kecenderungan parpol selalu memberikan kampanye instan yang tidak substantif. “Kalau party ID (pemilih dengan identitas partai) lemah, berarti partai tidak hadir di tengah publik,” kata dia.

Karena tidak memiliki kerja nyata, parpol di Indonesia acapkali mengandalkan tokoh sebagai nilai jual. Kampanye semacam ini memang efektif, namun tidak sehat. Pada akhirnya parpol tidak akan bekerja, dan hanya berlomba-lomba mencari tokoh demi nilai jual. “Di sini, parpol bukan lembaga publik, tapi characteristic personal,” jelasnya.

Turunnya partisipasi pemilih di tiga periode terakhir pemilu, juga merupakan peringatan berbahaya. Publik bisa jadi memiliki sikap tidak percaya kepada parpol akibat kinerjanya yang tidak pernah berubah. Perlu ada perubahan dari parpol sehingga menjadi lembaga publik yang sebenarnya. “Bagaimana keluar dari ini” Parpol harus hilang dari dukungan dana cukong,” tandasnya. (bay)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/