27.8 C
Medan
Friday, May 10, 2024

Buruh Tetap Mogok Nasional

JHT atau Jaminan Hari Tua tidak bisa lagi dicairkan sebelum 10 tahun atau sebelum berusia 56 tahun.
JHT atau Jaminan Hari Tua tidak bisa lagi dicairkan sebelum 10 tahun atau sebelum berusia 56 tahun.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan revisi Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Hari Tua (JHT) juga ditolak serikat buruh di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Mereka menilai, kebijakan tersebut setengah hati dan terkesan asal-asalan.

Menurut buruh, pernyataan Menaker dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa revisi PP JHT dinyatakan untuk buruh yang ter-PHK dapat langsung mengambil dana JHT-nya, tapi bagi peserta aktif tetap harus menunggu 10 tahun untuk bisa mengambil 100 persen dari saldo JHT dan sisanya diambil saat usia 56 tahun, adalah kebijakan mengada-ngada.

“Jelas kalau revisinya hanya mengatur pekerja yang ter-PHK saja boleh mencairkan JHT, maka bisa dipastikan akan ditolak kembali oleh masyarakat karena tidak menyelesaikan tiga masalah yang diprotes dari PP tersebut,dan akan mempermalukan Presiden Jokowi untuk kedua kalinya,” kata Ketua Perwakilan Daerah KSPI Sumut, Minggu Saragih.

Di mana, lanjut Minggu, yang pertama Presiden Jokowi sudah dipermalukan/dijebak. Karena PP baru satu hari ditandatangani presiden dan belum diimplementasikan tapi harus direvisi akibat kelalaian Menaker karena menuai protes masyarakat/buruh. Ketiga esensi masalah tersebut yang harus masuk dalam revisi adalah; Waktu kepesertaan yang bisa mengambil JHT setelah 10 tahun dan saat usia 56 tahun ini, yang masyarakat/buruh tidak setuju karena waktu pengambilan yang terlalu lama/panjang padahal JHT sebagai tabungan buruh sangat dibutuhkan ketika ada kebutuhan mendesak, jadi dalam revisi PP nya dikembalikan ke aturan lama yaitu dana JHT dapat diambil setelah 5 tahun kepesertaan (baik peserta aktif maupun yg ter-PHK).

Kedua, nilai dana JHT yang bisa diambil hanya 10 persen dari saldo JHT atau 30 persen dari JHT untuk perumahan dan sisanya diambil saat usia 56 tahun, ditolak masyarakat karena mereka ingin dana JHT diambil sekaligus 100 persen dari saldo JHT, karena diambil bertahap tersebut maka uang JHT-nya tidak bermanfaat buat buruh, jadi dalam revisi PP-nya harus menegaskan bahwa dana JHT dapat diambil sekaligus 100 persen (lump sum) dari saldo JHT setelah 5 tahun masa kepesertaan.

“Karena sekarang buruh sudah punya program jaminan pensiun sebagai tabungan hari tuanya, sedangkan JHT cukup sebagai tabungan jaring pengaman tabungan bagi buruh yang dapat diambil setelah kepesertaan 5 tahun (bukan 10 tahun) baik buruh ter-PHK atau peserta aktif, karena jiwa dari JHT adalah uang tabungan milik buruh yang diberikan secara lumpsum/sekaligus, beda dengan jiwa jaminan pensiun yang diberikan secara anuitas/bertahap tiap bulan saat memasuki usia pensiun 56 tahun,” terangnya.

Poin ketiga, sambung Minggu, PP JHT bukan hanya direvisi perihal buruh yg ter-PHK saja yang boleh langsung ambil dana JHT, justru hal ini juga yang dipermasalahkan oleh masyarakat/buruh. “Bagaimana dengan buruh yang mengundurkan diri? Bagaimana dengan 20 juta buruh kontrak/outsourcing yang habis kontraknya (mereka bukan ter-PHK)? Bagaimana dengan buruh kontrak/outsourcing yang putus kontrak sementara dan mereka disuruh tunggu 1-2 tahun? Bagaimana dengan karyawan tetap yang dirumahkan berkepanjangan? Padahal mereka semua itu juga mau ambil dana JHT mereka sendiri (status mereka tidak ter-PHK),” ujarnya mempertanyakan.

Jadi lanjut Minggu, dalam revisi PP tersebut harus jelas bahwa yang bisa mengambil saldo JHT bukan hanya orang ter-PHK saja, tapi peserta aktif juga bisa mengambil saldo JHT sekaligus 100 persen, asalkan memenuhi masa kepesertaan 5 tahun (seperti aturan yang lama). “Simpulannya, kalau Menaker mau revisi PP JHT hanya mengatur saldo JHT hanya bisa diambil oleh orang ter-PHK saja, dan peserta aktif tidak bisa mengambil karena harus ikut aturan PP yang baru tersebut, maka KSPI, GBI, dan buruh Indonesia akan menolak isi revisi PP tersebur dan akan tetap melakukan Judicial Review ke MA serta mogok nasional,” tegas Minggu.

Menurut pihaknya revisi PP JHT harus memuat; Dana JHT dapat diambil oleh buruh (baik peserta aktif maupun ter-PHK; Dana JHT dapat diambil setelah masa kepesertaan 5 tahun (bukan 10 tahun dan bukan saat usia 56 tahun); Dana JHT diambil secara lump sum/100 persen sekaligus (bukan 10 persen dari saldo dan sisanya bukan saat usia 56 tahun). “Dengan demikian pasal 37 (3) UU No 40/2004 ditunda dulu pemberlakuannya (misal 10 tahun lagi, kalau perlu pasal tersebut diamandemen) sampai sosialisasinya dan kondisi masyarakat/buruh sudah siap,” pungkasnya.

JHT atau Jaminan Hari Tua tidak bisa lagi dicairkan sebelum 10 tahun atau sebelum berusia 56 tahun.
JHT atau Jaminan Hari Tua tidak bisa lagi dicairkan sebelum 10 tahun atau sebelum berusia 56 tahun.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kebijakan revisi Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Hari Tua (JHT) juga ditolak serikat buruh di Provinsi Sumatera Utara (Sumut). Mereka menilai, kebijakan tersebut setengah hati dan terkesan asal-asalan.

Menurut buruh, pernyataan Menaker dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa revisi PP JHT dinyatakan untuk buruh yang ter-PHK dapat langsung mengambil dana JHT-nya, tapi bagi peserta aktif tetap harus menunggu 10 tahun untuk bisa mengambil 100 persen dari saldo JHT dan sisanya diambil saat usia 56 tahun, adalah kebijakan mengada-ngada.

“Jelas kalau revisinya hanya mengatur pekerja yang ter-PHK saja boleh mencairkan JHT, maka bisa dipastikan akan ditolak kembali oleh masyarakat karena tidak menyelesaikan tiga masalah yang diprotes dari PP tersebut,dan akan mempermalukan Presiden Jokowi untuk kedua kalinya,” kata Ketua Perwakilan Daerah KSPI Sumut, Minggu Saragih.

Di mana, lanjut Minggu, yang pertama Presiden Jokowi sudah dipermalukan/dijebak. Karena PP baru satu hari ditandatangani presiden dan belum diimplementasikan tapi harus direvisi akibat kelalaian Menaker karena menuai protes masyarakat/buruh. Ketiga esensi masalah tersebut yang harus masuk dalam revisi adalah; Waktu kepesertaan yang bisa mengambil JHT setelah 10 tahun dan saat usia 56 tahun ini, yang masyarakat/buruh tidak setuju karena waktu pengambilan yang terlalu lama/panjang padahal JHT sebagai tabungan buruh sangat dibutuhkan ketika ada kebutuhan mendesak, jadi dalam revisi PP nya dikembalikan ke aturan lama yaitu dana JHT dapat diambil setelah 5 tahun kepesertaan (baik peserta aktif maupun yg ter-PHK).

Kedua, nilai dana JHT yang bisa diambil hanya 10 persen dari saldo JHT atau 30 persen dari JHT untuk perumahan dan sisanya diambil saat usia 56 tahun, ditolak masyarakat karena mereka ingin dana JHT diambil sekaligus 100 persen dari saldo JHT, karena diambil bertahap tersebut maka uang JHT-nya tidak bermanfaat buat buruh, jadi dalam revisi PP-nya harus menegaskan bahwa dana JHT dapat diambil sekaligus 100 persen (lump sum) dari saldo JHT setelah 5 tahun masa kepesertaan.

“Karena sekarang buruh sudah punya program jaminan pensiun sebagai tabungan hari tuanya, sedangkan JHT cukup sebagai tabungan jaring pengaman tabungan bagi buruh yang dapat diambil setelah kepesertaan 5 tahun (bukan 10 tahun) baik buruh ter-PHK atau peserta aktif, karena jiwa dari JHT adalah uang tabungan milik buruh yang diberikan secara lumpsum/sekaligus, beda dengan jiwa jaminan pensiun yang diberikan secara anuitas/bertahap tiap bulan saat memasuki usia pensiun 56 tahun,” terangnya.

Poin ketiga, sambung Minggu, PP JHT bukan hanya direvisi perihal buruh yg ter-PHK saja yang boleh langsung ambil dana JHT, justru hal ini juga yang dipermasalahkan oleh masyarakat/buruh. “Bagaimana dengan buruh yang mengundurkan diri? Bagaimana dengan 20 juta buruh kontrak/outsourcing yang habis kontraknya (mereka bukan ter-PHK)? Bagaimana dengan buruh kontrak/outsourcing yang putus kontrak sementara dan mereka disuruh tunggu 1-2 tahun? Bagaimana dengan karyawan tetap yang dirumahkan berkepanjangan? Padahal mereka semua itu juga mau ambil dana JHT mereka sendiri (status mereka tidak ter-PHK),” ujarnya mempertanyakan.

Jadi lanjut Minggu, dalam revisi PP tersebut harus jelas bahwa yang bisa mengambil saldo JHT bukan hanya orang ter-PHK saja, tapi peserta aktif juga bisa mengambil saldo JHT sekaligus 100 persen, asalkan memenuhi masa kepesertaan 5 tahun (seperti aturan yang lama). “Simpulannya, kalau Menaker mau revisi PP JHT hanya mengatur saldo JHT hanya bisa diambil oleh orang ter-PHK saja, dan peserta aktif tidak bisa mengambil karena harus ikut aturan PP yang baru tersebut, maka KSPI, GBI, dan buruh Indonesia akan menolak isi revisi PP tersebur dan akan tetap melakukan Judicial Review ke MA serta mogok nasional,” tegas Minggu.

Menurut pihaknya revisi PP JHT harus memuat; Dana JHT dapat diambil oleh buruh (baik peserta aktif maupun ter-PHK; Dana JHT dapat diambil setelah masa kepesertaan 5 tahun (bukan 10 tahun dan bukan saat usia 56 tahun); Dana JHT diambil secara lump sum/100 persen sekaligus (bukan 10 persen dari saldo dan sisanya bukan saat usia 56 tahun). “Dengan demikian pasal 37 (3) UU No 40/2004 ditunda dulu pemberlakuannya (misal 10 tahun lagi, kalau perlu pasal tersebut diamandemen) sampai sosialisasinya dan kondisi masyarakat/buruh sudah siap,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/