27.8 C
Medan
Saturday, May 11, 2024

Berdalih Antisipasi Gugatan Sengketa Hasil ke MK, Mendagri Setuju Pilkada Dimajukan

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wacana mempercepat atau memajukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak terus bergulir. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun telah memberi lampu hijau. Rencana semula November 2024 menjadi September 2024.

Meski sejumlah elemen menilai berisiko, tetapi Tito menyebut wacana itu sangat relevan dengan kebutuhan. “Kami lihat (memajukan pilkada serentak) itu cukup rasional,” ujar mantan Kapolri tersebut usai melantik sembilan penjabat (Pj) gubernur di Kantor Kemendagri Jakarta, kemarin (5/9).

Tito menjelaskan, wacana mempercepat atau memajukan Pilkada itu muncul untuk memastikan keserentakan transisi pemerintahan berjalan sesuai jadwal. Kebijakan tersebut sejalan dengan ide awal ketika memutuskan menyerentakkan pilkada di 2024.

Sesuai jadwal, masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 berakhir pada 31 Desember 2024. Pemerintah berharap, pada 1 Januari 2025 dapat dilakukan pelantikan serentak di semua daerah tanpa terkecuali. Namun, jika pilkada digelar November 2024, Tito menengarai harapan itu sulit terwujud.

Mengapa? Mengacu pengalaman pilkada sebelumnya, menurut Tito, ada saja upaya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara akumulatif waktunya berpotensi berlangsung hingga tiga bulan. Artinya, ada kepala daerah yang mungkin baru dilantik pada Februari atau Maret 2025. Konsekuensinya, selama belum dilantik, harus ada Pj kepala daerah lagi.

Nah, kalau pilkada serentak dimajukan menjadi September 2024, Tito optimistis sengketa di MK bisa dituntaskan sebelum 31 Desember 2024. “September itu waktu yang dianggap cocok,” jelasnya.

Tito mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan diskusi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI perihal kemungkinan menjalankan opsi tersebut. “KPU mengatakan, ini skenario bisa dilakukan tahapannya ,bisa diatur. Kita tahu kalau ada ronde kedua pilpres (pemilihan presiden), itu bulan Juni,” terangnya.

Bagi jalannya pemerintahan sendiri, lanjut Tito, keserentakan pelantikan kepala daerah diperlukan. Sebab, itu akan memudahkan upaya konsolidasi pemerintahan. Tito mencontohkan, pemerintahan yang berjalan saat ini kurang ideal karena masa jabatan terbilang berserakan. Akibatnya, banyak program yang tidak sinkron antara pusat dan daerah.

Meski sepakat, Tito menampik bahwa ide tersebut berasal dari pemerintah. Yang dia pahami, ide itu datang dari beberapa anggota DPR. Hingga kemarin (5/9) pemerintah belum menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengakomodasi wacana memajukan pilkada serentak tersebut.

Sebelumnya, wacana memajukan pilkada serentak itu memicu kontroversi. Pernyataan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini misalnya. Dia mengatakan, rencana tersebut menunjukkan pemerintah tidak konsisten. Dulu, saat revisi UU tentang pemilu direncanakan, pemerintah menolak dengan alasan pilkada harus tetap dilaksanakan pada November 2024.

Titi menerangkan, dimajukannya waktu pilkada serentak itu sangat berisiko. Urusan tahapan antara pemilu (pileg/pilpres) dan pilkada yang bersamaan menimbulkan beban kerja yang berat bagi penyelenggara Pemilu.

Pada saat pemungutan suara Pemilu berlangsung pada 14 Februari 2024, di sisi lain tahapan Pilkada serentak juga berjalan. Dengan kondisi beban tinggi itu, dikhawatirkan tragedi seperti Pemilu 2019 berulang. Ratusan petugas meninggal dunia dan ribuan lainnya sakit karena kelelahan.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun angkat bicara mengenai wacana memajukan jadwal Pilkada 2024. Menurut Ma’ruf, mengubah jadwal Pilkada boleh saja dilakukan asal jangan terlalu jauh dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden pada Februari 2024. “Kalaupun alasannya ada, artinya logikanya masuk, dan ada, jangan terlalu jauh mungkin jaraknya, jangan terlalu jauh sesudah Pilpres ke Pilkada,” kata Ma’ruf, Senin (4/9).

Ma’ruf menegaskan, dimajukannya jadwal Pilkada 2024 hingga saat ini baru sebatas usulan. Ia mengatakan, realisasi perubahan waktu Pilkada akan sangat tergantung dengan urgensi serta dampaknya.

Jika terdapat urgensi memajukan jadwal Pilkada yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, Ma’ruf menyebut hal tersebut bisa saja terjadi. “Kita akan lihat kalau alasannya masuk akal ya saya kira untuk kebaikan saja. Kalau tidak, itu tentu akan kembali ke waktu yang lama. Jadi kalau memang memajukan itu punya nilai tambah, nilai kebaikan ya kenapa tidak, bisa saja begitu,” kata Ma’ruf.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin menilai, perlu dilakukan kajian lebih mendalam soal usulan perubahan jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang dimajukan dari 27 November menjadi September 2024.

“Perubahan jadwal ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru, sekaligus mendorong munculnya ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu dan pembuat undang-undang,” kata Yanuar. (far/c6/hud/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Wacana mempercepat atau memajukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak terus bergulir. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun telah memberi lampu hijau. Rencana semula November 2024 menjadi September 2024.

Meski sejumlah elemen menilai berisiko, tetapi Tito menyebut wacana itu sangat relevan dengan kebutuhan. “Kami lihat (memajukan pilkada serentak) itu cukup rasional,” ujar mantan Kapolri tersebut usai melantik sembilan penjabat (Pj) gubernur di Kantor Kemendagri Jakarta, kemarin (5/9).

Tito menjelaskan, wacana mempercepat atau memajukan Pilkada itu muncul untuk memastikan keserentakan transisi pemerintahan berjalan sesuai jadwal. Kebijakan tersebut sejalan dengan ide awal ketika memutuskan menyerentakkan pilkada di 2024.

Sesuai jadwal, masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 berakhir pada 31 Desember 2024. Pemerintah berharap, pada 1 Januari 2025 dapat dilakukan pelantikan serentak di semua daerah tanpa terkecuali. Namun, jika pilkada digelar November 2024, Tito menengarai harapan itu sulit terwujud.

Mengapa? Mengacu pengalaman pilkada sebelumnya, menurut Tito, ada saja upaya gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang secara akumulatif waktunya berpotensi berlangsung hingga tiga bulan. Artinya, ada kepala daerah yang mungkin baru dilantik pada Februari atau Maret 2025. Konsekuensinya, selama belum dilantik, harus ada Pj kepala daerah lagi.

Nah, kalau pilkada serentak dimajukan menjadi September 2024, Tito optimistis sengketa di MK bisa dituntaskan sebelum 31 Desember 2024. “September itu waktu yang dianggap cocok,” jelasnya.

Tito mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan diskusi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI perihal kemungkinan menjalankan opsi tersebut. “KPU mengatakan, ini skenario bisa dilakukan tahapannya ,bisa diatur. Kita tahu kalau ada ronde kedua pilpres (pemilihan presiden), itu bulan Juni,” terangnya.

Bagi jalannya pemerintahan sendiri, lanjut Tito, keserentakan pelantikan kepala daerah diperlukan. Sebab, itu akan memudahkan upaya konsolidasi pemerintahan. Tito mencontohkan, pemerintahan yang berjalan saat ini kurang ideal karena masa jabatan terbilang berserakan. Akibatnya, banyak program yang tidak sinkron antara pusat dan daerah.

Meski sepakat, Tito menampik bahwa ide tersebut berasal dari pemerintah. Yang dia pahami, ide itu datang dari beberapa anggota DPR. Hingga kemarin (5/9) pemerintah belum menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mengakomodasi wacana memajukan pilkada serentak tersebut.

Sebelumnya, wacana memajukan pilkada serentak itu memicu kontroversi. Pernyataan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini misalnya. Dia mengatakan, rencana tersebut menunjukkan pemerintah tidak konsisten. Dulu, saat revisi UU tentang pemilu direncanakan, pemerintah menolak dengan alasan pilkada harus tetap dilaksanakan pada November 2024.

Titi menerangkan, dimajukannya waktu pilkada serentak itu sangat berisiko. Urusan tahapan antara pemilu (pileg/pilpres) dan pilkada yang bersamaan menimbulkan beban kerja yang berat bagi penyelenggara Pemilu.

Pada saat pemungutan suara Pemilu berlangsung pada 14 Februari 2024, di sisi lain tahapan Pilkada serentak juga berjalan. Dengan kondisi beban tinggi itu, dikhawatirkan tragedi seperti Pemilu 2019 berulang. Ratusan petugas meninggal dunia dan ribuan lainnya sakit karena kelelahan.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun angkat bicara mengenai wacana memajukan jadwal Pilkada 2024. Menurut Ma’ruf, mengubah jadwal Pilkada boleh saja dilakukan asal jangan terlalu jauh dengan pelaksanaan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden pada Februari 2024. “Kalaupun alasannya ada, artinya logikanya masuk, dan ada, jangan terlalu jauh mungkin jaraknya, jangan terlalu jauh sesudah Pilpres ke Pilkada,” kata Ma’ruf, Senin (4/9).

Ma’ruf menegaskan, dimajukannya jadwal Pilkada 2024 hingga saat ini baru sebatas usulan. Ia mengatakan, realisasi perubahan waktu Pilkada akan sangat tergantung dengan urgensi serta dampaknya.

Jika terdapat urgensi memajukan jadwal Pilkada yang dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, Ma’ruf menyebut hal tersebut bisa saja terjadi. “Kita akan lihat kalau alasannya masuk akal ya saya kira untuk kebaikan saja. Kalau tidak, itu tentu akan kembali ke waktu yang lama. Jadi kalau memang memajukan itu punya nilai tambah, nilai kebaikan ya kenapa tidak, bisa saja begitu,” kata Ma’ruf.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin menilai, perlu dilakukan kajian lebih mendalam soal usulan perubahan jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang dimajukan dari 27 November menjadi September 2024.

“Perubahan jadwal ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru, sekaligus mendorong munculnya ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu dan pembuat undang-undang,” kata Yanuar. (far/c6/hud/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/