27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

476 Kada Tidak Pernah Lapor Gratifikasi

Giri Supradiono

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masih banyak kepala daerah (Kada) yang belum melakukan pelaporan gratifikasi ke KPK. Di antara 548 kepala daerah di Indonesia, hanya 72 yang tercatat pernah melaporkan gratifikasi.

Jadi, ada 476 Kada yang tidak pernah melapor. Bahkan, khusus selama 2018, baru 13 Kada yang pernah melaporkan gratifikasi.

Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono memaparkan, penyelenggara negara dan pegawai negeri wajib melaporkan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja.

Bila melebihi batas waktu itu, gratifikasi dianggap suap. ”Gratifikasi tidak perlu untuk memengaruhi keputusan, tidak perlu juga untuk prasyarat diminta. Jadi harus ditolak. Kalau tidak bisa menolak, ya dilaporkan,” katanya.

Irjen Kemendagri Sri Wahyuningsih menjelaskan, gratifikasi merupakan delik korupsi yang sulit dideteksi. Sebab, posisi penyelenggara daerah bersifat pasif.

Beda halnya dengan pemerasan. Dalam kasus seperti itu, penyelenggara daerah bersifat aktif. ”Atau suap yang ada unsur saling menguntungkan timbal balik,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos. (tyo/lum/c17/ttg/jpnn/ala)

 

Giri Supradiono

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Masih banyak kepala daerah (Kada) yang belum melakukan pelaporan gratifikasi ke KPK. Di antara 548 kepala daerah di Indonesia, hanya 72 yang tercatat pernah melaporkan gratifikasi.

Jadi, ada 476 Kada yang tidak pernah melapor. Bahkan, khusus selama 2018, baru 13 Kada yang pernah melaporkan gratifikasi.

Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono memaparkan, penyelenggara negara dan pegawai negeri wajib melaporkan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja.

Bila melebihi batas waktu itu, gratifikasi dianggap suap. ”Gratifikasi tidak perlu untuk memengaruhi keputusan, tidak perlu juga untuk prasyarat diminta. Jadi harus ditolak. Kalau tidak bisa menolak, ya dilaporkan,” katanya.

Irjen Kemendagri Sri Wahyuningsih menjelaskan, gratifikasi merupakan delik korupsi yang sulit dideteksi. Sebab, posisi penyelenggara daerah bersifat pasif.

Beda halnya dengan pemerasan. Dalam kasus seperti itu, penyelenggara daerah bersifat aktif. ”Atau suap yang ada unsur saling menguntungkan timbal balik,” terangnya saat dihubungi Jawa Pos. (tyo/lum/c17/ttg/jpnn/ala)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/