31.7 C
Medan
Sunday, May 5, 2024

Mampet di Hulu, Sertifikasi Halal Belum Maksimal, Sepanjang 2022 Hanya 105 Ribuan Pelaku Usaha

SUMUTPOS.CO – Realisasi target sertifikasi halal sepanjang 2022 jauh panggang dari api. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencatat, pada 2022 hanya menggelar sidang penetapan halal untuk 105.326 laporan atau usulan pelaku usaha.

Berbanding jauh dari target Kementerian Agama (Kemenag) yang mencapai 10 juta sertifikasi halal hingga 2024. MUI menampik tudingan, mereka sebagai biang keladi minimnya sertifikasi halal pada 2022. “Ironisnya yang disasar adalah MUIn

Dianggap sebagai salah satu faktor penghambat,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh di Jakarta kemarin (9/1).

Dia menegaskan, MUI hanya menyidangkan usulan atau permohonan fatwa halal yang masuk saja. Mereka tidak bisa asal-asalan menyidangkan permohonan fatwa halal, tanpa melalui prosedur yang berlaku. Ketentuan yang berlaku saat ini, pintu masuk permohonan sertifikasi halal ada di Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag.

Asrorun mengatakan, jumlah 105.326 laporan itu sesuai dengan usulan atau permohonan sertifikasi halal yang masuk. Sehingga MUI tidak memiliki utang atau tanggungan permohonan sertifikasi halal untuk periode 2022 lalu. Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu mengatakan, tahun depan mereka menargetkan mengeluarkan fatwa halal untuk satu juta permohonan pelaku usaha.

Dia mengakui, kapasitas sidang fatwa halal MUI cukup besar. Dalam satu tahun bisa menghasilkan fatwa halal untuk 5 juta lebih permohonan atau produk. Ini belum termasuk di MUI Provinsi sebanyak 30 juta permohonan dan MUI kabupaten/kota sebanyak 72 juta permohonan. Dia menegaskan, sidang komisi fatwa untuk menetapkan halal juga bisa digelar di MUI provinsi, kota, dan kabupaten.

Untuk itu dia berharap alur dan ekosistem jaminan produk halal terus diperbaiki. ’’Menyelsaikan masalah dari akarnya. Sehingga tepat sasaran,’’ jelasnya. Kemudian perlu mengoptimalkan sosialisasi ke pelaku usaha. Tentang wajibnya sertifikasi halal bagi produk pangannya. Kemudian juga perlu ada upaya persuasi dari perusahaan-perusahaan kategori besar terlebih dahulu. Bukan sebaliknya melakukan persuasi kepada pelaku atau produsen usaha yang kecil-kecil dan zero risk.

Asrorun mengatakan tahun ini BPJPH Kemenag menargetkan satu juta sertifikasi halal. Dia menegaskan MUI mendukung target Kemenag tersebut. Dia menegaskan pada 2022 kapasitas sidang fatwa MUI baru terpakai 20 persen saja. Selain itu Asrorun mengatakan MUI menargetkan proses sidang fatwa berlangsung kurang dari tiga hari saja.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan minimnya sertifikasi halal di 2022 karena maju mundurnya regulasi tentang halal buatan pemerintah. Dia mengatakan regulasi halal di UU 33/2014 Jaminan Produk Halal (JPH) dan Peraturan Pemerintah (PP) 39/2021 tentang Penyelenggara Jaminan Produk Halal sudah berjalan baik. “Tiba-tiba masuk Omnibus Law. Dimasukkan halal jadi perizinan, itu membuat ambyar,” katanya.

Perusahaan menilai urusan sertifikasi halal dianggap merepotkan. Belum lagi dalam perkembangannya Omnibus Law atau UU Cipta Kerja divonis inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kondisi ini semakin membuat pelaku usaha skala besar, tak lagi bersemangat urusan sertifikasi halal.

Menurut pengalamannya dalam kurun 2014-2019 sertifikasi halal berjalan cukup baik. Animo perusahaan begitu tinggi. Apalagi dengan adanya sertifikasi halal, bisa meningkatkan omset mereka. “Nyatanya sekarang banyak yang sambat (mengeluh). Sulit (saat pendaftaran),” ungkapnya.

Dia berharap pemerintah, khususnya Kemenag berbenah sehingga administrasi dan regulasi jaminan produk halal semakin baik.

Sementara itu Kemenag mengingatkan bahwa tiga kategori produk sudah harus bersertifikat halal pada 2024 nanti. “Ada sanksi bagi yang belum,” kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham. Dia mengatakan tiga kelompok produk itu adalah makanan dan minuman. Kemudian produk bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong. Serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Aqil menuturkan, sanksi aturan halal tersebut berjenjang. Mulai dari peringatan tertulis, denda administrasi, hingga penarikan barang dari peredaran. Aturan saksi itu tertuang dalam PP 39/2021 yang sudah terbit beberapa waktu lalu. (wan/jpg)

SUMUTPOS.CO – Realisasi target sertifikasi halal sepanjang 2022 jauh panggang dari api. Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencatat, pada 2022 hanya menggelar sidang penetapan halal untuk 105.326 laporan atau usulan pelaku usaha.

Berbanding jauh dari target Kementerian Agama (Kemenag) yang mencapai 10 juta sertifikasi halal hingga 2024. MUI menampik tudingan, mereka sebagai biang keladi minimnya sertifikasi halal pada 2022. “Ironisnya yang disasar adalah MUIn

Dianggap sebagai salah satu faktor penghambat,” kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh di Jakarta kemarin (9/1).

Dia menegaskan, MUI hanya menyidangkan usulan atau permohonan fatwa halal yang masuk saja. Mereka tidak bisa asal-asalan menyidangkan permohonan fatwa halal, tanpa melalui prosedur yang berlaku. Ketentuan yang berlaku saat ini, pintu masuk permohonan sertifikasi halal ada di Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag.

Asrorun mengatakan, jumlah 105.326 laporan itu sesuai dengan usulan atau permohonan sertifikasi halal yang masuk. Sehingga MUI tidak memiliki utang atau tanggungan permohonan sertifikasi halal untuk periode 2022 lalu. Mantan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) itu mengatakan, tahun depan mereka menargetkan mengeluarkan fatwa halal untuk satu juta permohonan pelaku usaha.

Dia mengakui, kapasitas sidang fatwa halal MUI cukup besar. Dalam satu tahun bisa menghasilkan fatwa halal untuk 5 juta lebih permohonan atau produk. Ini belum termasuk di MUI Provinsi sebanyak 30 juta permohonan dan MUI kabupaten/kota sebanyak 72 juta permohonan. Dia menegaskan, sidang komisi fatwa untuk menetapkan halal juga bisa digelar di MUI provinsi, kota, dan kabupaten.

Untuk itu dia berharap alur dan ekosistem jaminan produk halal terus diperbaiki. ’’Menyelsaikan masalah dari akarnya. Sehingga tepat sasaran,’’ jelasnya. Kemudian perlu mengoptimalkan sosialisasi ke pelaku usaha. Tentang wajibnya sertifikasi halal bagi produk pangannya. Kemudian juga perlu ada upaya persuasi dari perusahaan-perusahaan kategori besar terlebih dahulu. Bukan sebaliknya melakukan persuasi kepada pelaku atau produsen usaha yang kecil-kecil dan zero risk.

Asrorun mengatakan tahun ini BPJPH Kemenag menargetkan satu juta sertifikasi halal. Dia menegaskan MUI mendukung target Kemenag tersebut. Dia menegaskan pada 2022 kapasitas sidang fatwa MUI baru terpakai 20 persen saja. Selain itu Asrorun mengatakan MUI menargetkan proses sidang fatwa berlangsung kurang dari tiga hari saja.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah mengatakan minimnya sertifikasi halal di 2022 karena maju mundurnya regulasi tentang halal buatan pemerintah. Dia mengatakan regulasi halal di UU 33/2014 Jaminan Produk Halal (JPH) dan Peraturan Pemerintah (PP) 39/2021 tentang Penyelenggara Jaminan Produk Halal sudah berjalan baik. “Tiba-tiba masuk Omnibus Law. Dimasukkan halal jadi perizinan, itu membuat ambyar,” katanya.

Perusahaan menilai urusan sertifikasi halal dianggap merepotkan. Belum lagi dalam perkembangannya Omnibus Law atau UU Cipta Kerja divonis inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kondisi ini semakin membuat pelaku usaha skala besar, tak lagi bersemangat urusan sertifikasi halal.

Menurut pengalamannya dalam kurun 2014-2019 sertifikasi halal berjalan cukup baik. Animo perusahaan begitu tinggi. Apalagi dengan adanya sertifikasi halal, bisa meningkatkan omset mereka. “Nyatanya sekarang banyak yang sambat (mengeluh). Sulit (saat pendaftaran),” ungkapnya.

Dia berharap pemerintah, khususnya Kemenag berbenah sehingga administrasi dan regulasi jaminan produk halal semakin baik.

Sementara itu Kemenag mengingatkan bahwa tiga kategori produk sudah harus bersertifikat halal pada 2024 nanti. “Ada sanksi bagi yang belum,” kata Kepala BPJPH Kemenag Muhammad Aqil Irham. Dia mengatakan tiga kelompok produk itu adalah makanan dan minuman. Kemudian produk bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong. Serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan.

Aqil menuturkan, sanksi aturan halal tersebut berjenjang. Mulai dari peringatan tertulis, denda administrasi, hingga penarikan barang dari peredaran. Aturan saksi itu tertuang dalam PP 39/2021 yang sudah terbit beberapa waktu lalu. (wan/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/