Semua nama yang terlibat mendapat jatah uang panas e-KTP. Pembagian itu sudah direncanakan sejak 2010 atau sebelum masuk pembahasan anggaran proyek e-KTP di DPR. Dari total nilai proyek Rp 5,9 triliun, 49 persen atau Rp 2,558 triliun disepakati sebagai fee untuk sejumlah pihak. Kesepakatan itu melibatkan Andi Narogong, Setnov, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin sebagai perwakilan kelompok DPR dan rekanan.
Uang haram yang sudah direncanakan untuk dibagikan itu paling banyak mengalir ke pelaksana proyek, yakni 15 persen atau Rp 783 miliar. Selebihnya untuk kelompok Anas dan Setnov masing-masing 11 persen atau sejumlah Rp 574,2 miliar. Kemudian 5 persen atau sebanyak Rp 261 miliar untuk anggota Komisi II saat itu dan 7 persen (Rp 365,4 miliar) dibagikan ke pejabat Kemendagri.
Sebagai tindaklanjut kesepakatan tersebut, Andi Narogong pada Oktober 2010 lantas bergerilya memberikan sejumlah uang dalam pecahan dollar Amerika Serikat (AS) kepada anggota DPR komisi II dan Badan Anggaran (Banggar). Tujuannya agar budget yang disusun bersama Setnov, Anas dan Nazaruddin disetujui.
Anggota Komisi II yang mendapat uang haram dari Andi Narogong antara lain, Arief Wibowo, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Agun Gunandjar Sudarsa, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Taufiq Effendi, dan Teguh Djuwarno. Besaran uang yang diberikan berkisar USD 50 ribu hingga USD 1 juta. Sebenarnya, ada 37 anggota Komisi II lain yang disebut menerima uang. Sayang, nama mereka tidak disebutkan di surat dakwaan.
Saut mengatakan, nama yang disebutkan dalam dakwaan sudah diperhitungkan secara matang. Pihaknya mempelajari semua nama itu sebelum diungkapkan dalam persidangan. Mulai dari peran hingga logika hukum atau kewajaran nama itu. ”Jangan lupa, KPK kan selama ini (periode sebelumnya) pernah menyebut-nyebut nama seseorang tapi tidak pernah diadili. Kami belajar dari situ,” sindirnya.
Saut pun mengaku siap menghadapi gejolak politik pasca pembacaan nama-nama besar dalam dakwaan e-KTP. Menurutnya, kegaduhan politik itu bergantung pada komitmen pemimpin negara. ”Kalau memberantas korupsi di suatu negara itu ditentukan oleh pemimpinnya. Ini kan kebetulan presiden lagi bagus, jadi kami harus serius. Kami yakin dinamika pasti ada, itu biasa (kalau) reaksi-reaksi.”
Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan bakal ada penetapan tersangka setelah proses persidangan selesai. Namun, pihaknya enggan menyebutkan dari unsur mana calon tersangka itu. ”Nanti kita tunggu saja. Ini kami selesaikannya bukan (dengan) maraton, ini sprinting,” ujarnya. Apakah calon tersangka itu adalah Setya Novanto ? Agus menjawab diplomatis. ”Insya Allah terus di proses,” imbuhnya. (tyo/jpg/ril)