26 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Toilet Jangan ‘Menyiksa’ Wisatawan

Foto bersama usai penandatanganan Nota Kesepahaman Sinergi Strategi Pemasaran Pariwisata, di Hotel Grand Inna Muara Padang, Kamis (12/5).
Foto bersama usai penandatanganan Nota Kesepahaman Sinergi Strategi Pemasaran Pariwisata, di Hotel Grand Inna Muara Padang, Kamis (12/5).

PADANG, SUMUTPOS.CO – Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Andrinof Chaniago setuju, kalau potensi pariwisata di Indonesia ini sangat besar.

”Data-data yang disampaikan Pak Menteri Pariwisata jelas menunjukkan, kenapa Malaysia bisa mendapatkan kunjungan 29 juta orang per tahun, Thailand 26 Juta orang, dan Singapura 15 juta orang, tapi Indonesia yang kekayaan alamnya tak tertandingan oleh negara-negara tersebut, cuma mendapat 10 juta,” tuturnya saat menjadi panelis dalam Diskusi Nasional Kepariwisataan dan Forum Pimpinan Redaksi III Riau Pos Group (RPG) dengan tema Sinergi Strategi Pemasaran Pariwisata, di Hotel Grand Inna Muara Padang, Kamis (12/5).

Salah satu masalahnya, ujar Andrinof adalah marketing. Selain promosi atau pemasaran ke luar negeri, kata dia, ada marketing lainnya yang harus jadi pekerjaan rumah pemerintah.

”Pemasaran ke tempat asal calon wisatawan jelas perlu untuk mereka tahu keunggulan-keunggulan kita. Tetapi pemasaran yang lain adalah memasarkan kepada stakeholder di dalam. Memasarkan kepada masyarakat di lokasi objek, bahwa pariwisata itu merupakan peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pariwisata itu menjanjikan peluang yang besar untuk menyediakan lapangan kerja untuk meningkatkan atau melipatgandakan penghasilan,” jelasnya.

Itu tidak hanya untuk Sumbar tapi untuk seluruh daerah di Indonesia.

Berangkat dari pengamatan dan pengalamannya di berbagai daerah yang memiliki destinasi potensial, masalahnya sama. Yaitu kesiapan masyarakat. Bahkan kesiapan untuk menerima sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah.

Misalnya, saat ada bantuan dari pemerintah untuk pembangunan toilet di lokasi objek wisata. Nah, urusannya kemudian, bukan lah dalam hal ketersedian sarana itu. Tetapi bagaimana sikap dan budaya masyarakat menggunakan dan menjaga toilet itu.

“Bisa saja terjadi setelah dibangun, dalam satu minggu kondisinya baik, dan setelah itu justru menyiksa pengunjung karena tidak bersih, tidak terjaga,” katanya.

Siksaan tidak hanya terjadi dalam hal toilet. Tapi juga dalam hal keamanan.

”Saya rasa itu masih kita temui di banyak tempat di wisata di Indonesia. Oleh karena itu, dalam menyiapkan program dan anggaran ini tidak bisa diabaikan. Program memberi pencerahan kepada masyarakat. Itulah yang saya maksud dengan perlunya pemasaran ke dalam,” katanya.

Kalau tidak, anggaran yang sudah dinaikkan pada Kementerian Pariwisata untuk promosi bisa jadi stagnan, tidak efektif. Setelah wisatawan berkunjung ke destinasi wisata yang digembar-gemborkan, yang sudah diberikan brand yang bagus, ternyata ketika daerah itu mulai dikunjungi, kunjungannya mendadak meningkat, tapi setelah itu mendadak pula anjlok.

”Itu yang perlu kita perhatikan juga dalam strategi ‘pemasaran,” tegas urang awak itu
Nah, kembali ke sinergi pemasaran yang konvensional itu, dengan provinsi yang begitu besar, sangat diperlukan sinergi, baik secara vertikal maupun horizontal. Kalau saat ini pemerintah pusat siap dengan konsep dan anggaran, tentu provinsi juga harus siap. Demikian pula dengan kabupaten dan kota.

Apabila disinergikan kekuatan atau modal yang dimiliki masing-masing, sebutnya, itu akan menjadai kekuatan yang luar biasa.

Selain itu, perlu juga kesadaran bersinergi secara horizontal, diperlukan sinergi antara media massa, penggiat wisata pelaku usaha disektor pariwisata, dan pemerintah setempat. ”Ini arah sinergi yang perlu dibangun dan diperbaiki untuk memantapkan peluang yang begitu besar di sektor pariwisata itu,” tekannya.

Dengan sinergi pemasaran antar instansi pemerintah yang vertikal, dan memilih target yang tepat dalam sinergi horinzontal dia yakin destinasi wisata di Indonesia akan bisa jauh lebih dikenal lagi. (cip/ayu/mea)

Foto bersama usai penandatanganan Nota Kesepahaman Sinergi Strategi Pemasaran Pariwisata, di Hotel Grand Inna Muara Padang, Kamis (12/5).
Foto bersama usai penandatanganan Nota Kesepahaman Sinergi Strategi Pemasaran Pariwisata, di Hotel Grand Inna Muara Padang, Kamis (12/5).

PADANG, SUMUTPOS.CO – Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Andrinof Chaniago setuju, kalau potensi pariwisata di Indonesia ini sangat besar.

”Data-data yang disampaikan Pak Menteri Pariwisata jelas menunjukkan, kenapa Malaysia bisa mendapatkan kunjungan 29 juta orang per tahun, Thailand 26 Juta orang, dan Singapura 15 juta orang, tapi Indonesia yang kekayaan alamnya tak tertandingan oleh negara-negara tersebut, cuma mendapat 10 juta,” tuturnya saat menjadi panelis dalam Diskusi Nasional Kepariwisataan dan Forum Pimpinan Redaksi III Riau Pos Group (RPG) dengan tema Sinergi Strategi Pemasaran Pariwisata, di Hotel Grand Inna Muara Padang, Kamis (12/5).

Salah satu masalahnya, ujar Andrinof adalah marketing. Selain promosi atau pemasaran ke luar negeri, kata dia, ada marketing lainnya yang harus jadi pekerjaan rumah pemerintah.

”Pemasaran ke tempat asal calon wisatawan jelas perlu untuk mereka tahu keunggulan-keunggulan kita. Tetapi pemasaran yang lain adalah memasarkan kepada stakeholder di dalam. Memasarkan kepada masyarakat di lokasi objek, bahwa pariwisata itu merupakan peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pariwisata itu menjanjikan peluang yang besar untuk menyediakan lapangan kerja untuk meningkatkan atau melipatgandakan penghasilan,” jelasnya.

Itu tidak hanya untuk Sumbar tapi untuk seluruh daerah di Indonesia.

Berangkat dari pengamatan dan pengalamannya di berbagai daerah yang memiliki destinasi potensial, masalahnya sama. Yaitu kesiapan masyarakat. Bahkan kesiapan untuk menerima sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah.

Misalnya, saat ada bantuan dari pemerintah untuk pembangunan toilet di lokasi objek wisata. Nah, urusannya kemudian, bukan lah dalam hal ketersedian sarana itu. Tetapi bagaimana sikap dan budaya masyarakat menggunakan dan menjaga toilet itu.

“Bisa saja terjadi setelah dibangun, dalam satu minggu kondisinya baik, dan setelah itu justru menyiksa pengunjung karena tidak bersih, tidak terjaga,” katanya.

Siksaan tidak hanya terjadi dalam hal toilet. Tapi juga dalam hal keamanan.

”Saya rasa itu masih kita temui di banyak tempat di wisata di Indonesia. Oleh karena itu, dalam menyiapkan program dan anggaran ini tidak bisa diabaikan. Program memberi pencerahan kepada masyarakat. Itulah yang saya maksud dengan perlunya pemasaran ke dalam,” katanya.

Kalau tidak, anggaran yang sudah dinaikkan pada Kementerian Pariwisata untuk promosi bisa jadi stagnan, tidak efektif. Setelah wisatawan berkunjung ke destinasi wisata yang digembar-gemborkan, yang sudah diberikan brand yang bagus, ternyata ketika daerah itu mulai dikunjungi, kunjungannya mendadak meningkat, tapi setelah itu mendadak pula anjlok.

”Itu yang perlu kita perhatikan juga dalam strategi ‘pemasaran,” tegas urang awak itu
Nah, kembali ke sinergi pemasaran yang konvensional itu, dengan provinsi yang begitu besar, sangat diperlukan sinergi, baik secara vertikal maupun horizontal. Kalau saat ini pemerintah pusat siap dengan konsep dan anggaran, tentu provinsi juga harus siap. Demikian pula dengan kabupaten dan kota.

Apabila disinergikan kekuatan atau modal yang dimiliki masing-masing, sebutnya, itu akan menjadai kekuatan yang luar biasa.

Selain itu, perlu juga kesadaran bersinergi secara horizontal, diperlukan sinergi antara media massa, penggiat wisata pelaku usaha disektor pariwisata, dan pemerintah setempat. ”Ini arah sinergi yang perlu dibangun dan diperbaiki untuk memantapkan peluang yang begitu besar di sektor pariwisata itu,” tekannya.

Dengan sinergi pemasaran antar instansi pemerintah yang vertikal, dan memilih target yang tepat dalam sinergi horinzontal dia yakin destinasi wisata di Indonesia akan bisa jauh lebih dikenal lagi. (cip/ayu/mea)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/