Kapan perma disahkan? Dia menyatakan, pengesahan perma bergantung pada pembahasan yang nanti dilakukan di MA. Jika semua poin sudah jelas, peraturan itu akan segera ditandatangani. Tapi jika ada yang kurang lengkap, akan dilengkapi terlebih dahulu. Dia berharap, draf perma bisa segera dibahas di kantor MA, sehingga secepatnya ditandatangani dan disahkan untuk diberlakukan.
Selama ini, banyak pihak swasta yang melakukan pelanggaran pidana korupsi. Terutama pihak perusahaan swasta. Jumlahnya mencapai 90 persen. Namun, KPK tidak bisa menjerat korporasi. Untuk itulah, sejak 2014, komisi antirasuah getol menyusun draf perma tindak pidana korupsi korporasi.
Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengapresiasi langkah KPK dalam menyusun draf perma. Hal itu merupakan upaya dalam melakukan pemberantasan korupsi. ”Pembahasan perma harus segera dimatangkan dan disahkan,” ujarnya.
Dengan dasar hukum itu, komisi antirasuah bisa memidanakan perusahaan yang melakukan tindak korupsi. Jadi tidak hanya orang yang ada di dalam korporasi, tapi juga perusahaannya secara langsung. ”Korporasi harus bertanggung jawab,” imbuhnya.
Namun, adanya perma tindak pidana korupsi korporasi menjadi tantangan bagi KPK. Keberanian lembaga yang berlokasi di Jalan HR Rasuna Said itu diuji. Apakah KPK berani menindak perusahaan nakal. “Itu menjadi pertanyaan. Saya melihat belum ada korelasi antara perma dengan keberanian KPK,” papar alumnus fakultas hukum UGM itu.
Selama ini, hanya aktor kecil yang dijerat KPK. Misalnya pada kasus reklamasi pantai utara Jakarta. Lembaga itu berusaha melokalisasi perkara agar itu tidak melebar. Banyak aktor besar yang tidak tersentuh. Padahal, aktor besar itu harus bertanggungjawab. Bukan hanya orang kecil saja yang dipidanakan. Selain reklamasi, ada pula sejumlah kasus suap yang hanya menyasar pegawai bawahan, bukan atasan.
Otak dalam tindak pidana suap malah belum tersentuh. Padahal sudah jelas siapa yang mengatur perkara suap itu. “Itu menjadi tantangan KPK,” jelas mantan aktivis LBH Jogjakarta itu. Misalnya kasus suap Kejati DKI Jakarta. Menurut dia, yang dijerat hanya perantara dan pihak perusahaan pelat merah. Mereka sudah divonis bersalah karena melakukan suap. Tapi anehnya, para penerima suap sampai sekarang belum tersentuh. KPK tak kunjung menetapkan pihak penerima sebagai tersangka. “Putusannya secara sah melakukan suap. Berarti ada yang disuap donk,” tutur Erwin.
Begitu pula perkara suap yang dilakukan perusahan. Hanya anak perusahaan yang dijerat. Perusahaan induknya tidak tersentuh. Padahal, keuntungan tidak hanya diterima anak perusahaan, tapi juga holdingnya. Selama ini, banyak perusahaan besar yang membentuk anak perusahaan. Jika terjerat perkara, hanya anak perusahaan yang dikorbankan.
Jika perma sudah disahkan, KPK harus berani menjerat perusahaan besar yang melakukan korupsi. Jangan hanya korporasi kecil saja. Kredibilitas komisi antirasuah akan dipertaruhkan dalam melaksanakan isi perma. “Beranikah KPK dengan korporasi besar. Kita tunggu,” papar dia. (lum/oki/jpg/ril)