30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Jokowi Bukan Petugas Partai

Foto: Miladi Ahmad Cemol/Tangerang Ekspres/JPNN Presiden Joko Widodo didampingi Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany di Kota Tangsel, Senin (13/4/2015).
Foto: Miladi Ahmad Cemol/Tangerang Ekspres/JPNN
Presiden Joko Widodo didampingi Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany di Kota Tangsel, Senin (13/4/2015).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sebutan petugas partai – jika memang ditujukan kepada Presiden – adalah tidak tepat. Saat bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, kemarin, Pengamat politik dari Charta Politica, Yuniarto Wijaya menyatakan, ketika kader partai terpilih menjadi presiden, baik sebagai kepala negara maupun pemerintahan, maka yang bersangkutan menjadi milik semua golongan di negeri ini.

Presiden Jokowi mengundang sejumlah pengamat politik dan akademikus dari berbagai lembaga dan universitas ke Istana Negara, Selasa (14/4). Di antara para pengamat yang memenuhi undangan itu terdapat Yunarto Wijaya, Nico Harjanto, Hanta Yuda, M. Qodari, Ikrar Nusa Bakti, Kuskridho Ambardi, Thamrin Amagola, dan Philips J. Vermonte.

“Istilah petugas partai tidak tepat karena bertabrakan dengan sistem presidensial,” kata Yuniarto.

“Itu artinya presiden harus lepas dari partai, tidak bisa disebut sebagai petugas partai lagi,” katanya. Ia mempersilakan semua kader partai disebut sebagai petugas partai. Namun ketika sudah jadi presiden, aturan yang diberlakukan harus di bawah ketentuan UU. “Presiden merupakan pilihan rakyat, bukan pilihan partai lagi,” kata Yuniarto.

Menurutnya, Presiden tidak perlu memberi tanggapan kepada PDIP yang penting keputusan-keputusan yang diambil independen dan tidak diintervensi partai politik.

“Presiden ada di atas semua golongan, partai politik bisa saja mengkritisi kebijakan pemerintah melalui jalur parlemen,” katanya.

Yunarto mengatakan, Jokowi merupakan presiden yang tidak menjadi ketua partai politik. “Ini merupakan hal positif yang bisa diteruskan di masa mendatang,” katanya.

Kata Yunarto, kondisi itu bukan berarti ada deparpolisasi atau pengebirian peran parpol, karena partai dapat berperan lebih besar di parlemen.

Menurut Yunarto, ada beberapa topik yang dibicarakan pada saat makan siang itu. Di antaranya isu kenaikan harga bahan pokok, tren hasil survei, dan masalah politik lain. Termasuk, kata Yunarto, tren citra Jokowi dalam persepsi publik saat ini.

“Kami hanya membaca secara makro mengenai efek kebijakan Jokowi terhadap persepsi publik. Juga tentang hasil survei yang memperlihatkan turunnya citra Jokowi, apakah disebabkan oleh naiknya harga bahan pokok atau masalah lain,” kata Yunarto.

Dia enggan menjelaskan lebih detail pokok pembahasan Jokowi dengan para pengamat politik.

Selain itu, kata Yunarto, pertemuan tersebut sempat membahas masalah kepartaian dan koalisi. “Tapi beliau awalnya sempat menolak membahas soal itu,” ujarnya.

Yunarto bercerita, dalam pembahasan isu kepartaian dan koalisi, Jokowi lebih banyak diam. Menurut dia, salah satu tamu undangan bahkan mengajukan protes dan kritik keras kepada Jokowi dalam diskusi tersebut.

Adapun pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto, enggan menjelaskan isi pembicaraan Jokowi dengan para pengamat politik. “Hanya membahas sayur lodeh, apakah rasanya cocok buat tamu di Konferensi Asia-Afrika,” ujarnya.

Politisi PDIP Ganjar Pranowo, menilai sederhana polemik istilah petugas partai yang dilontarkan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri saat Kongres IV di Bali. Gubernur Jawa Tengah itu mengaku petugas partai sama dengan TNI/Polri yang ditugaskan di luar daerah.

“Nggak usah repot soal petugas partai. Gini lho, umpama saya menjadi anggota TNI, terus ditugaskan di daerah kan petugas TNI. Polri dititipkan menjadi petugas di luar Polri mungkin. Itu kan petugasnya, ” kata Ganjar, Selasa (14/4).

Namun yang lebih substansi dari istilah petugas partai, menurut Ganjar, adalah bagaimana petugas partai bekerja. Jika orang partai yang bertugas memikul jabatan negara, tapi hanya memikirkan keuntungan partai saja justru menjadi masalah besar.

“Jadi tidak usah risau dengan petugas partai karena orangnya yang ditugaskan. Tapi begitu sudah duduk yang dipikirkan adalah kepentingan rakyat. Sekali lagi kepentingan rakyat. Itu sebenarnya,” kata Ganjar.

Mantan anggota Komisi II DPR itu bahkan menyentil berbagai kalangan yang justru terus memperkeruh istilah petugas partai ala PDIP.

“Jadi saya tidak tahu kenapa diskusi perdebatan ini jadi risau ya? Katanya demokrasi itu dengan partai politik? Masak begitu partai membuat istilah itu tidak diterima,” tuturnya. (bbs/val)

Foto: Miladi Ahmad Cemol/Tangerang Ekspres/JPNN Presiden Joko Widodo didampingi Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany di Kota Tangsel, Senin (13/4/2015).
Foto: Miladi Ahmad Cemol/Tangerang Ekspres/JPNN
Presiden Joko Widodo didampingi Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany di Kota Tangsel, Senin (13/4/2015).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sebutan petugas partai – jika memang ditujukan kepada Presiden – adalah tidak tepat. Saat bertemu Presiden Jokowi di Istana Negara, kemarin, Pengamat politik dari Charta Politica, Yuniarto Wijaya menyatakan, ketika kader partai terpilih menjadi presiden, baik sebagai kepala negara maupun pemerintahan, maka yang bersangkutan menjadi milik semua golongan di negeri ini.

Presiden Jokowi mengundang sejumlah pengamat politik dan akademikus dari berbagai lembaga dan universitas ke Istana Negara, Selasa (14/4). Di antara para pengamat yang memenuhi undangan itu terdapat Yunarto Wijaya, Nico Harjanto, Hanta Yuda, M. Qodari, Ikrar Nusa Bakti, Kuskridho Ambardi, Thamrin Amagola, dan Philips J. Vermonte.

“Istilah petugas partai tidak tepat karena bertabrakan dengan sistem presidensial,” kata Yuniarto.

“Itu artinya presiden harus lepas dari partai, tidak bisa disebut sebagai petugas partai lagi,” katanya. Ia mempersilakan semua kader partai disebut sebagai petugas partai. Namun ketika sudah jadi presiden, aturan yang diberlakukan harus di bawah ketentuan UU. “Presiden merupakan pilihan rakyat, bukan pilihan partai lagi,” kata Yuniarto.

Menurutnya, Presiden tidak perlu memberi tanggapan kepada PDIP yang penting keputusan-keputusan yang diambil independen dan tidak diintervensi partai politik.

“Presiden ada di atas semua golongan, partai politik bisa saja mengkritisi kebijakan pemerintah melalui jalur parlemen,” katanya.

Yunarto mengatakan, Jokowi merupakan presiden yang tidak menjadi ketua partai politik. “Ini merupakan hal positif yang bisa diteruskan di masa mendatang,” katanya.

Kata Yunarto, kondisi itu bukan berarti ada deparpolisasi atau pengebirian peran parpol, karena partai dapat berperan lebih besar di parlemen.

Menurut Yunarto, ada beberapa topik yang dibicarakan pada saat makan siang itu. Di antaranya isu kenaikan harga bahan pokok, tren hasil survei, dan masalah politik lain. Termasuk, kata Yunarto, tren citra Jokowi dalam persepsi publik saat ini.

“Kami hanya membaca secara makro mengenai efek kebijakan Jokowi terhadap persepsi publik. Juga tentang hasil survei yang memperlihatkan turunnya citra Jokowi, apakah disebabkan oleh naiknya harga bahan pokok atau masalah lain,” kata Yunarto.

Dia enggan menjelaskan lebih detail pokok pembahasan Jokowi dengan para pengamat politik.

Selain itu, kata Yunarto, pertemuan tersebut sempat membahas masalah kepartaian dan koalisi. “Tapi beliau awalnya sempat menolak membahas soal itu,” ujarnya.

Yunarto bercerita, dalam pembahasan isu kepartaian dan koalisi, Jokowi lebih banyak diam. Menurut dia, salah satu tamu undangan bahkan mengajukan protes dan kritik keras kepada Jokowi dalam diskusi tersebut.

Adapun pengamat politik dari Populi Center, Nico Harjanto, enggan menjelaskan isi pembicaraan Jokowi dengan para pengamat politik. “Hanya membahas sayur lodeh, apakah rasanya cocok buat tamu di Konferensi Asia-Afrika,” ujarnya.

Politisi PDIP Ganjar Pranowo, menilai sederhana polemik istilah petugas partai yang dilontarkan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri saat Kongres IV di Bali. Gubernur Jawa Tengah itu mengaku petugas partai sama dengan TNI/Polri yang ditugaskan di luar daerah.

“Nggak usah repot soal petugas partai. Gini lho, umpama saya menjadi anggota TNI, terus ditugaskan di daerah kan petugas TNI. Polri dititipkan menjadi petugas di luar Polri mungkin. Itu kan petugasnya, ” kata Ganjar, Selasa (14/4).

Namun yang lebih substansi dari istilah petugas partai, menurut Ganjar, adalah bagaimana petugas partai bekerja. Jika orang partai yang bertugas memikul jabatan negara, tapi hanya memikirkan keuntungan partai saja justru menjadi masalah besar.

“Jadi tidak usah risau dengan petugas partai karena orangnya yang ditugaskan. Tapi begitu sudah duduk yang dipikirkan adalah kepentingan rakyat. Sekali lagi kepentingan rakyat. Itu sebenarnya,” kata Ganjar.

Mantan anggota Komisi II DPR itu bahkan menyentil berbagai kalangan yang justru terus memperkeruh istilah petugas partai ala PDIP.

“Jadi saya tidak tahu kenapa diskusi perdebatan ini jadi risau ya? Katanya demokrasi itu dengan partai politik? Masak begitu partai membuat istilah itu tidak diterima,” tuturnya. (bbs/val)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/