Seorang bandar obat PCC berinisial ST telah ditangkap dengan kedapatan membawa 2.631 butir di Kendari. Bila dihitung omzetnya untuk 2.631 butir itu dengan harga Rp25 ribu per 20 butir, maka bandar hanya mendapatkan Rp2.631.000. ”Mengapa semurah itu,” terangnya jenderal berbintang dua tersebut.
Dia menjelaskan, perlu penyelidikan yang mendalam untuk mengetahui motif tersebut. Benarkah bandar menyasar anak-anak ini motif ekonomi atau justru ada motif lainnya. Pertanyaan paling mendasar adalah mengapa anak-anak SD dan SMP ini yang disasar. ”Nah, harus diselidiki, sengaja ingin merusak anak banga atau bagaimana,” terangnya.
Selanjutnya, juga akan ditelisik sumber dari obat-obatan tersebut. Siapakah yang bisa membuat obat keras ini beredar dipasaran, hingga sampai ke tangan bandar yang menjualnya ke anak-anak. ”Sumber obat ini penting untuk mencocokkan motif yang sebenarnya,” urainya.
Dia mengatakan, semua pihak yang terlibat untuk meracuni generasi bangsa ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dari yang bandar tertinggi hingga tingkat pengecer. ”Semua harus dikejar,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penyidikan Obat dan Makanan Badan POM Hendri Siswadi menuturkan pil PCC tidak layak disebut sebagai obat. Lantaran Badan POM tidak pernah mengeluarkan izin edar untuk pil tersebut. ”PCC itu produk ilegal dan bukan obat. Namanya obat kan untuk menyembuhkan penyakit. Bukan sebaliknya,” ujar Hendri kepada Jawa Pos, kemarin (14/9).
Dia mengungkapkan sedang mempersiapkan diri untuk terbang ke Kendari. Sudah ada koordinasi dengan Mabes Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk meneliti lebih lanjut peredaran PCC di Kendari. ”Kami sebelumnya tidak tahu produk ilegal ini sampai membuat suasana gaduh. Apa betul hanya itu saja?” ungkap dia.
BPOM, salah satunya, akan fokus untuk meneliti kandungan bahan dari pil putih itu. Informasi yang beredar, PCC itu terdiri atas paracetamol, carisoprodol, dan cafein.
Hendri menuturkan carisoprodol sudah dilarang peredarannya. Lantaran, bahan tersebut dulu dipakai untuk membuat carnophen yang ternyata disalahgunakan. Obat yang berfungsi untuk mengatasi nyeri dan ketegangan otot telah dicabut izin edarnya. Obat terebut bisa menimbulkan efek halusinasi seperti narkotika.
”Kami sudah pernah menggerebek gudang carnophen di Banjarmasin. Didapati 11 juta butir senilai Rp 35 miliar,” ungkap dia. Penggerebekan itu dilakukan sepekan lalu di sebuah gudang di Jalan Teluk Tiram Darat, Kota Banjarmasin.