32.8 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Kemenkum HAM Ngotot Hapus Status JC

Justice Collaborator-Ilustrasi.
Justice Collaborator-Ilustrasi.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Polemik rencana revisi peraturan pemerintah (PP) 99 / 2012 terus bergulir. Kementerian Hukum dan HAM tetap ngotot menghapus persyaratan status justice collaborator (JC). Sebagai gantinya, mereka memasukan KPK dalam tim pengamat pemasyarakatan (TPP) yang bertugas menentukan remisi.

Kasubdit Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM Akbar Hadi Prabowo mengatakan, PP 99 / 2012 kurang progresif dalam pengetatan pemberian remisi bagi napi korupsi. Menurut dia, peraturan sebelumnya PP 28 / 2006 lebih ketat.

’’Dalam PP lama, napi korupsi bisa mendapatkan remisi ketika sudah menjalani 1/3 masa tahanan. Kalau dalam PP 99, begitu dapat JC bisa langsung dapat,’’ jelas Akbar.

Yang jadi masalah, pemberian JC oleh penegak hukum selama ini belum memiliki standar. Bahkan ada indikasi pemberian status tersebut bisa dimainkan oleh oknum penegak hukum maupun internal lapas.

Atas dasar itulah Kemenkum HAM menghapuskan syarat JC. Penghapusan tersebut berlaku bagi seluruh napi extra ordinary crime, tak hanya kasus korupsi. Penghapusan syarat JC itu juga diharapkan bisa mengurangi jumlah napi kasus pemakai narkoba yang harusnya berada di tempat rehabilitasi.

Akbar menambahkan, revisi PP 99 juga bisa mengefektifkan pembayaran denda dan uang pengganti korupsi. Sebab untuk dapat remisi, napi korupsi harus membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusannya. “Kalau belum lunas tidak bisa mendapat remisi. Syarat seperti ini tak ada di PP lama,” jelasnya.

Akbar menjamin penghapusan syarat JC tak serta merta mempermudah koruptor dapat korting hukuman. Sebab penentuan seseorang napi extra ordinary crime layak atau tidak mendapat remisi bakal melibatkan penegak hukum. Mereka akan dimasukan dalam Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).

Misalnya dalam kasus korupsi, Ditjen Pemasyarakatan akan memasukan KPK dalam TPP. Mereka dimintai pertimbangan layak tidaknya napi korupsi yang perkaranya dulu mereka tangani untuk mendapatkan remisi.

Terkait revisi PP 99, KPK tetap pada sikapnya, menolak adanya keringanan hukuman bagi narapidana korupsi. ’’Hari ini kita kirim tim perwakilan dari biro hukum untuk menyatakan penolakan. Mudah-mudahan didengar Kemenkum HAM,’’ ujar Ketua KPK Agus Raharjo.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, dari draf yang beredar revisi PP 99 belum menyentuh pada napi penguna narkoba. Sebab pasal 32 ayat (4) masih menggunakan syarat “bagi terpidana kasus narkotika dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun’’.

Erasmus menyebut dengan adanya ketentuan itu, Kemenkum HAM menutup mata banyaknya pecandu dan pengguna yang terkena ancaman pidana pasal ’’bandar’’. ICJR pernah mengadakan penelitian hasilnya, banyak pengguna narkoba yang dijerat dengan pasal bandar.

Peneliti Central for Detention Studies Gatot Goei mengungkapkan pemerintah memang harus mengatur secara khusus status JC. Sebab selama ini tidak ada standar seseorang diberikan status JC oleh penegak hukum.

Dalam kasus korupsi misalnya, KPK pernah menetapkan status JC untuk terdakwanya yang bernama Kosasih dan Abdul Khoir. Namun melalui putusannya, hakim tidak mengabulkan status tersebut.

Sebaliknya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pernah meminta kejaksaan menjadikan Hendra Saptra sebagai JC tapi tak dikabulkan. Hendra merupakan office boy yang dikriminalisasi dalam kasus korupsi oleh anak mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, Riefan Avrian.

Justice Collaborator-Ilustrasi.
Justice Collaborator-Ilustrasi.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Polemik rencana revisi peraturan pemerintah (PP) 99 / 2012 terus bergulir. Kementerian Hukum dan HAM tetap ngotot menghapus persyaratan status justice collaborator (JC). Sebagai gantinya, mereka memasukan KPK dalam tim pengamat pemasyarakatan (TPP) yang bertugas menentukan remisi.

Kasubdit Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM Akbar Hadi Prabowo mengatakan, PP 99 / 2012 kurang progresif dalam pengetatan pemberian remisi bagi napi korupsi. Menurut dia, peraturan sebelumnya PP 28 / 2006 lebih ketat.

’’Dalam PP lama, napi korupsi bisa mendapatkan remisi ketika sudah menjalani 1/3 masa tahanan. Kalau dalam PP 99, begitu dapat JC bisa langsung dapat,’’ jelas Akbar.

Yang jadi masalah, pemberian JC oleh penegak hukum selama ini belum memiliki standar. Bahkan ada indikasi pemberian status tersebut bisa dimainkan oleh oknum penegak hukum maupun internal lapas.

Atas dasar itulah Kemenkum HAM menghapuskan syarat JC. Penghapusan tersebut berlaku bagi seluruh napi extra ordinary crime, tak hanya kasus korupsi. Penghapusan syarat JC itu juga diharapkan bisa mengurangi jumlah napi kasus pemakai narkoba yang harusnya berada di tempat rehabilitasi.

Akbar menambahkan, revisi PP 99 juga bisa mengefektifkan pembayaran denda dan uang pengganti korupsi. Sebab untuk dapat remisi, napi korupsi harus membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusannya. “Kalau belum lunas tidak bisa mendapat remisi. Syarat seperti ini tak ada di PP lama,” jelasnya.

Akbar menjamin penghapusan syarat JC tak serta merta mempermudah koruptor dapat korting hukuman. Sebab penentuan seseorang napi extra ordinary crime layak atau tidak mendapat remisi bakal melibatkan penegak hukum. Mereka akan dimasukan dalam Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).

Misalnya dalam kasus korupsi, Ditjen Pemasyarakatan akan memasukan KPK dalam TPP. Mereka dimintai pertimbangan layak tidaknya napi korupsi yang perkaranya dulu mereka tangani untuk mendapatkan remisi.

Terkait revisi PP 99, KPK tetap pada sikapnya, menolak adanya keringanan hukuman bagi narapidana korupsi. ’’Hari ini kita kirim tim perwakilan dari biro hukum untuk menyatakan penolakan. Mudah-mudahan didengar Kemenkum HAM,’’ ujar Ketua KPK Agus Raharjo.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, dari draf yang beredar revisi PP 99 belum menyentuh pada napi penguna narkoba. Sebab pasal 32 ayat (4) masih menggunakan syarat “bagi terpidana kasus narkotika dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun’’.

Erasmus menyebut dengan adanya ketentuan itu, Kemenkum HAM menutup mata banyaknya pecandu dan pengguna yang terkena ancaman pidana pasal ’’bandar’’. ICJR pernah mengadakan penelitian hasilnya, banyak pengguna narkoba yang dijerat dengan pasal bandar.

Peneliti Central for Detention Studies Gatot Goei mengungkapkan pemerintah memang harus mengatur secara khusus status JC. Sebab selama ini tidak ada standar seseorang diberikan status JC oleh penegak hukum.

Dalam kasus korupsi misalnya, KPK pernah menetapkan status JC untuk terdakwanya yang bernama Kosasih dan Abdul Khoir. Namun melalui putusannya, hakim tidak mengabulkan status tersebut.

Sebaliknya, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pernah meminta kejaksaan menjadikan Hendra Saptra sebagai JC tapi tak dikabulkan. Hendra merupakan office boy yang dikriminalisasi dalam kasus korupsi oleh anak mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, Riefan Avrian.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/