31.8 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Malaysia Klaim Tor-tor dan Gordang Sembilan

JAKARTA-Hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali memanas. Ini terjadi setelah pihak Malaysia kembali memantik api perseteruan. Negeri jiran itu diduga mengklaim dua kebudayaan Indonesia. Dua kebudayaan yang mereka klaim itu adalah tarian Tor-Tor dan Paluan Gordang Sambilan asal Sumatera Utara.

Kabar ulah Malaysia yang mencaplok dua kebudayaan Indonesia itu tersiar dari kantor berita Malaysia Bernama. Dalam berita yang dilansir Bernama disebutkan jika Menteri Penerangan dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Ratis Yatim menyatakan jika dua tarian itu merupakan salah satu cabang warisan kebudayaan mereka.

Pernyataan dari pejabat Malaysia itu tentu membuat negara Indonesia ketar-ketir. Sebab, berkali-kali Malaysia mengklaim budaya kita. Sebelumnya ada batik dan candi Prambanan yang hampir mereka klaim.

Dihubungi di Jakarta kemarin (17/8) Wakil Menteri Pendidikan Bidang Kebudayaan (Wamendikbud Bidang Kebudayaan) Windu Nuryanti menuturkan, hari ini akan langsung mengontak Datuk Seri Ratis Yatim. Dia mengatakan, akar persoalan ini harus digali lebih dulu. “Kebetulan saya kenal baik dengan beliau,” tegasnya.

Windu menjelaskan upaya penggalian data yang sebenar-benarnya ini penting. Dia menuturkan, apakah benar pihak Malaysia sudah mengklaim bahkan mendaftarkan dua tarian itu ke UNESCO. Atau mereka cuma menampilkan dua tarian itu.

Kemungkinan bahwa Malaysia hanya menampilkan tanpa berniat mengklaim ini bisa terjadi. Sebab, beberapa waktu lalu Malaysia juga pernah berbuat serupa. Kala itu, Malaysia menggunakan gambar Candi Prambanan dalam video iklan pariwisata mereka yang bertajuk Malaysia Truly Asia. Akhirnya setelah ketahuan dan pihak Indonesia memprotes keras, Malaysia menghapus gambar candi Prambanan dalam iklan mereka.

Begitu pula untuk kasus penyerobotan dua tarian ini, jika benar Malaysia telah mengklaim Windu mengatakan Indonesia akan protes keras. Untuk sementara, Windu mengatakan peluang untuk mengklaim bahkan mendaftarkan ke UNESCO itu kecil.

Sebab, setelah dia cek ke UNESCO, hanya ada 21 situs dari 21 negara yang diajukan untuk masuk dalam daftar warisan dunia edisi 2012. Dalam deretan situs-situs tersebut, tidak ada nama Malaysia. Situs yang masuk nominasi ini akan disahkan pada sidang UNESCO 22 Juni-6 Juli di St Petersburg, Rusia.
“Saya tegaskan dalam daftar usulan itu tidak ada usulan Malaysia yang diloloskan,” tegasnya.

Sebaliknya, malah usulan Indonesia yaitu sistem pengairan Sabak di Bali masuk dalam daftar nominasi. Windu mengatakan, jika sebuah situs usulan sudah masuk daftar ini, peluang diloloskan sekitar 98 persen. Dia mengatakan, jika sudah mendapatkan kabar pasti dari Malaysia akan mempublikasikan ke masyarakat sehingga gesekan tidak semakin memanas.

Di bagian lain, Mendikbud Mohammad Nuh meminta masyarakat Indonesia tidak merespon berlebihan. “Memang betul kita harus cek dulu kabar aslinya seperti apa,” ujar menteri asal Surabaya itu tadi malam.

Nuh mengatakan, bisa jadi Malaysia memang telah mengklaim. Tetapi bisa jadi juga pihak Malaysia hanya menggunakan atau memperagakan dua tarian asal Indonesia itu. Jika yang terjadi adalah pihak Malaysia memperagakan dua tarian itu, Nuh mengatakan pihak Indonesia harusnya bangga dan berbahagia.

“Itu artinya kebudayaan kita dikenal secara internasional,” tegasnya.
Terkait urusan Indonesia dan Malaysia yang sering berseteru, Nuh mengatakan ini wajar. “Seperti hidup bermasyarakat, perseteruan atau pergesekan itu biasa dalam bertentangga,” tandasnya. Nuh memastikan, pihaknya akan segera memastikan kabar asli dari munculnya perselisihan ini.

Selanjutnya, untuk melindungi aset kebudayaan Indonesia, Nuh memerintahkan bidang kebudayaan untuk menjalankan misi registrasi. Dalam misi ini, seluruh produk budaya bangsa akan didata. Selain nama, pendataan juga mencakup sejarah dan nilai kebudayaan tersebut. Dengan anggaran bidang kebudayaan yang melonjak dari Rp600 miliar ke Rp1,8 triliun, Nuh berharap upaya ini bisa segera rampung. “Intinya kita harus ngopeni budaya sendiri. Jangan salahkan negara lain mencaplok kebudayaan kita, karena tidak kita openi,” katanya. (wan/jpnn)

Jangan Ribut Sekarang

Cerita klaim Malaysia terhadap hasil kebudayaan Indonesia telah berulang terjadi. Setelah lagu Rasa Sanyange, Reog Ponorogo, dan Angklung kini giliran tari Tor-tor dan Paluan Gordang Sembilan. Sebuah ‘kekurangajaran’ Malaysia atau ‘kekurangberdayaan’ Indonesia?

Pegiat seni yang juga Ketua Program S2 Penciptaan dan Pengkajian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Harahap, buka suara. Menurutnya, hal itu tidak bisa semerta-merta direspon dengan keras atau dibiarkan begitu saja. Ada beberapa faktor yang wajib dilihat. “Ini membuktikan kesenian di Sumatera Utara cukup dikenal,” katanya tadi malam kepada Sumut Pos.

Irwansyah pun langsung menjelaskan dua hal penting dalam kebudayaan. Pertama, hasil budaya yang mengakar dan hasil budaya yang mengedar. Untuk yang mengakar, maka Tor-tor dan Gordang Sembilan tidak terbantahkan hidup dan berkembang di kawasan Sumatera Utara, tepatnya Mandailing. Sementara untuk yang mengedar, tidak terbantahkan juga kalau kedua hasil kebudayaan itu beredar di Malaysia; bukan rahasia lagi kalau keturunan Mandailing banyak yang telah menjadi warga negara Malaysia. “Yang pasti, kebudayaan Mandailing, atau suku apapun yang ada di Nusantara, lebih dulu hadir ke dunia sebelum Indonesia dan Malaysia terbentuk sebagai negara,” jelas Irwansyah.

Jadi, tambah Irwansyah, yang diutamakan dalam kasus kebudayaan ini adalah pelestarian hasil kebudayaaan itu. “Jadi jangan ribut sekarang! Apa yang telah dibuat pemerintah terhadap kesenian di Indonesia atau Sumatera Utara pada khususnya? Coba katakan, di mana saat ini kita bisa menonton Gordang Sembilan? Apakah pemerintah tahu kalau pegiat Gordang Sembilan ada yang tak bernasib bagus hingga harus menjadi tukang becak agar bisa bertahan hidup?” ungkap Irwansyah.

Karena itu, sebagai akademisi di bidang budaya, Irwansyah melihat kasus Tor-tor dan Gordang Sembilan ini dari sisi budaya. Dengan kata lain, bukan soal tapal batas politis, nasionalisme, dan sebagainya. Dia melihat kasus ini lebih pada bagaimana suatu hasil budaya bisa hidup di masyarakat.

Dia pun mencontohkan bidang musik. Misalnya, musik blues. “Kita di sini bebas memainkan blues. Tapi, adakah Amerika sibuk? Dunia tahu blues itu dari sana. Ini yang dinamakan budaya yang mengedar tadi. Jadi, ketika warga Malaysia ber-Gordang Sembilan, apa masalahnya? Dunia tahu kok Gordang Sembilan berasal dari Mandailing,” jelas pentolan grup Suarasama itu.

Pria dengan ciri rambut panjang ini menambahkan, bisa saja pernyataan Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Ratis Yatim seperti dikutip kantor berita Bernama adalah sebuah bentuk perhatian kepada hasil kebudayaan. “Ya, bisa saja dia bicara di depan komunitas Mandailing yang ada di sana. Jadi, kalau kita melihatnya dari sisi politis, maka jawabannya adalah soal politis,” katanya.

Jika pemerintah mau bijak, jelas Irwansyah, seharusnya tidak ribut ketika Malaysia bergerak. Indonesia harus lebih dulu bergerak dibanding negeri jiran itu. Malaysia telah menyiapkan dan bahkan melakukan langkah-langkah strategis terhadap hasil kebudayaan. Indonesia bagaimana? “Jadi, jangan ribut setelah Malaysia berbuat,” pungkasnya. (rmd)

JAKARTA-Hubungan Indonesia dengan Malaysia kembali memanas. Ini terjadi setelah pihak Malaysia kembali memantik api perseteruan. Negeri jiran itu diduga mengklaim dua kebudayaan Indonesia. Dua kebudayaan yang mereka klaim itu adalah tarian Tor-Tor dan Paluan Gordang Sambilan asal Sumatera Utara.

Kabar ulah Malaysia yang mencaplok dua kebudayaan Indonesia itu tersiar dari kantor berita Malaysia Bernama. Dalam berita yang dilansir Bernama disebutkan jika Menteri Penerangan dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Ratis Yatim menyatakan jika dua tarian itu merupakan salah satu cabang warisan kebudayaan mereka.

Pernyataan dari pejabat Malaysia itu tentu membuat negara Indonesia ketar-ketir. Sebab, berkali-kali Malaysia mengklaim budaya kita. Sebelumnya ada batik dan candi Prambanan yang hampir mereka klaim.

Dihubungi di Jakarta kemarin (17/8) Wakil Menteri Pendidikan Bidang Kebudayaan (Wamendikbud Bidang Kebudayaan) Windu Nuryanti menuturkan, hari ini akan langsung mengontak Datuk Seri Ratis Yatim. Dia mengatakan, akar persoalan ini harus digali lebih dulu. “Kebetulan saya kenal baik dengan beliau,” tegasnya.

Windu menjelaskan upaya penggalian data yang sebenar-benarnya ini penting. Dia menuturkan, apakah benar pihak Malaysia sudah mengklaim bahkan mendaftarkan dua tarian itu ke UNESCO. Atau mereka cuma menampilkan dua tarian itu.

Kemungkinan bahwa Malaysia hanya menampilkan tanpa berniat mengklaim ini bisa terjadi. Sebab, beberapa waktu lalu Malaysia juga pernah berbuat serupa. Kala itu, Malaysia menggunakan gambar Candi Prambanan dalam video iklan pariwisata mereka yang bertajuk Malaysia Truly Asia. Akhirnya setelah ketahuan dan pihak Indonesia memprotes keras, Malaysia menghapus gambar candi Prambanan dalam iklan mereka.

Begitu pula untuk kasus penyerobotan dua tarian ini, jika benar Malaysia telah mengklaim Windu mengatakan Indonesia akan protes keras. Untuk sementara, Windu mengatakan peluang untuk mengklaim bahkan mendaftarkan ke UNESCO itu kecil.

Sebab, setelah dia cek ke UNESCO, hanya ada 21 situs dari 21 negara yang diajukan untuk masuk dalam daftar warisan dunia edisi 2012. Dalam deretan situs-situs tersebut, tidak ada nama Malaysia. Situs yang masuk nominasi ini akan disahkan pada sidang UNESCO 22 Juni-6 Juli di St Petersburg, Rusia.
“Saya tegaskan dalam daftar usulan itu tidak ada usulan Malaysia yang diloloskan,” tegasnya.

Sebaliknya, malah usulan Indonesia yaitu sistem pengairan Sabak di Bali masuk dalam daftar nominasi. Windu mengatakan, jika sebuah situs usulan sudah masuk daftar ini, peluang diloloskan sekitar 98 persen. Dia mengatakan, jika sudah mendapatkan kabar pasti dari Malaysia akan mempublikasikan ke masyarakat sehingga gesekan tidak semakin memanas.

Di bagian lain, Mendikbud Mohammad Nuh meminta masyarakat Indonesia tidak merespon berlebihan. “Memang betul kita harus cek dulu kabar aslinya seperti apa,” ujar menteri asal Surabaya itu tadi malam.

Nuh mengatakan, bisa jadi Malaysia memang telah mengklaim. Tetapi bisa jadi juga pihak Malaysia hanya menggunakan atau memperagakan dua tarian asal Indonesia itu. Jika yang terjadi adalah pihak Malaysia memperagakan dua tarian itu, Nuh mengatakan pihak Indonesia harusnya bangga dan berbahagia.

“Itu artinya kebudayaan kita dikenal secara internasional,” tegasnya.
Terkait urusan Indonesia dan Malaysia yang sering berseteru, Nuh mengatakan ini wajar. “Seperti hidup bermasyarakat, perseteruan atau pergesekan itu biasa dalam bertentangga,” tandasnya. Nuh memastikan, pihaknya akan segera memastikan kabar asli dari munculnya perselisihan ini.

Selanjutnya, untuk melindungi aset kebudayaan Indonesia, Nuh memerintahkan bidang kebudayaan untuk menjalankan misi registrasi. Dalam misi ini, seluruh produk budaya bangsa akan didata. Selain nama, pendataan juga mencakup sejarah dan nilai kebudayaan tersebut. Dengan anggaran bidang kebudayaan yang melonjak dari Rp600 miliar ke Rp1,8 triliun, Nuh berharap upaya ini bisa segera rampung. “Intinya kita harus ngopeni budaya sendiri. Jangan salahkan negara lain mencaplok kebudayaan kita, karena tidak kita openi,” katanya. (wan/jpnn)

Jangan Ribut Sekarang

Cerita klaim Malaysia terhadap hasil kebudayaan Indonesia telah berulang terjadi. Setelah lagu Rasa Sanyange, Reog Ponorogo, dan Angklung kini giliran tari Tor-tor dan Paluan Gordang Sembilan. Sebuah ‘kekurangajaran’ Malaysia atau ‘kekurangberdayaan’ Indonesia?

Pegiat seni yang juga Ketua Program S2 Penciptaan dan Pengkajian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Harahap, buka suara. Menurutnya, hal itu tidak bisa semerta-merta direspon dengan keras atau dibiarkan begitu saja. Ada beberapa faktor yang wajib dilihat. “Ini membuktikan kesenian di Sumatera Utara cukup dikenal,” katanya tadi malam kepada Sumut Pos.

Irwansyah pun langsung menjelaskan dua hal penting dalam kebudayaan. Pertama, hasil budaya yang mengakar dan hasil budaya yang mengedar. Untuk yang mengakar, maka Tor-tor dan Gordang Sembilan tidak terbantahkan hidup dan berkembang di kawasan Sumatera Utara, tepatnya Mandailing. Sementara untuk yang mengedar, tidak terbantahkan juga kalau kedua hasil kebudayaan itu beredar di Malaysia; bukan rahasia lagi kalau keturunan Mandailing banyak yang telah menjadi warga negara Malaysia. “Yang pasti, kebudayaan Mandailing, atau suku apapun yang ada di Nusantara, lebih dulu hadir ke dunia sebelum Indonesia dan Malaysia terbentuk sebagai negara,” jelas Irwansyah.

Jadi, tambah Irwansyah, yang diutamakan dalam kasus kebudayaan ini adalah pelestarian hasil kebudayaaan itu. “Jadi jangan ribut sekarang! Apa yang telah dibuat pemerintah terhadap kesenian di Indonesia atau Sumatera Utara pada khususnya? Coba katakan, di mana saat ini kita bisa menonton Gordang Sembilan? Apakah pemerintah tahu kalau pegiat Gordang Sembilan ada yang tak bernasib bagus hingga harus menjadi tukang becak agar bisa bertahan hidup?” ungkap Irwansyah.

Karena itu, sebagai akademisi di bidang budaya, Irwansyah melihat kasus Tor-tor dan Gordang Sembilan ini dari sisi budaya. Dengan kata lain, bukan soal tapal batas politis, nasionalisme, dan sebagainya. Dia melihat kasus ini lebih pada bagaimana suatu hasil budaya bisa hidup di masyarakat.

Dia pun mencontohkan bidang musik. Misalnya, musik blues. “Kita di sini bebas memainkan blues. Tapi, adakah Amerika sibuk? Dunia tahu blues itu dari sana. Ini yang dinamakan budaya yang mengedar tadi. Jadi, ketika warga Malaysia ber-Gordang Sembilan, apa masalahnya? Dunia tahu kok Gordang Sembilan berasal dari Mandailing,” jelas pentolan grup Suarasama itu.

Pria dengan ciri rambut panjang ini menambahkan, bisa saja pernyataan Menteri Penerangan Komunikasi dan Kebudayaan Malaysia Datuk Seri Ratis Yatim seperti dikutip kantor berita Bernama adalah sebuah bentuk perhatian kepada hasil kebudayaan. “Ya, bisa saja dia bicara di depan komunitas Mandailing yang ada di sana. Jadi, kalau kita melihatnya dari sisi politis, maka jawabannya adalah soal politis,” katanya.

Jika pemerintah mau bijak, jelas Irwansyah, seharusnya tidak ribut ketika Malaysia bergerak. Indonesia harus lebih dulu bergerak dibanding negeri jiran itu. Malaysia telah menyiapkan dan bahkan melakukan langkah-langkah strategis terhadap hasil kebudayaan. Indonesia bagaimana? “Jadi, jangan ribut setelah Malaysia berbuat,” pungkasnya. (rmd)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/