Alasan itu sulit dibantah. Sebab, sambung Timboel, hanya pihak rumah sakit yang tahu ruang ICU penuh atau tidak. Bagi pria yang sudah lama mendampingi peserta BPJS, alasan itu tidak jadi masalah jika benar adanya. Tapi, peserta BPJS sangat dirugikan apabila pihak rumah sakit hanya mengada-ada. Disamping saling oper rujukan, masih ada temuan lain. “Jadi, dalam perjanjian kerja sama tidak seluruh fasilitas yang ada diikutkan kerja sama dengan BPJS,” ujarnya.
Buruknya, perjanjian kerja sama tersebut seringkali tidak terpublikasi secara utuh kepada peserta BPJS. Sehingga mereka berpikir, setiap rumah sakit yang sudah bekerja sama dengan BPJS siap melayani apapun kebutuhan pasien. BPJS Watch pernah mendampingi pasien kanker. Dia dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS. Tapi, tidak menyertakan ruang perawatan untuk pasien kanker dalam perjanjian kerja sama. “Nggak diterima, dirujuk,” ucap Timboel.
Mau tidak mau, pasien dan keluarganya mencari rumah sakit lain. Untuk itu, BPJS Watch mendorong agar perjanjian kerja sama dengan setiap rumah sakit disampaikan dengan baik kepada setiap paserta BPJS. Bila perlu, seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS tidak pilih-pilih. “Nggak boleh fasilitas tertentu nggak kerja sama,” kata Timboel. Dengan begitu, tidak ada alasan bagi rumah sakit menolak pasien BPJS dengan alasan perjanjian kerja sama.
Timboel pun menekankan, agar pemerintah lebih tegas. Tidak mengubah-ubah ketentuan yang bisa dimainkan oleh rumah sakit. “Contohnya permenkes nomor 4 tahun 2017,” tutur dia. Aturan itu kerap digunakan pihak rumah sakit untuk mengabaikan permenkes nomor 28 tahun 2014. Dalam permenkes 28, pasien boleh  naik satu kelas tanpa tambahan biaya apabila ruangan yang sesuai dengan kelasnya penuh.
Sebaliknya, dalam Permenkes 4 pasien diperbolehkan naik satu kelas dengan syarat selisih biaya harus dibayar sendiri. Akibatnya, tidak jarang keluarga pasien harus menanggung selisih biaya tersebut. Itu kerap terjadi pada pasien dan keluarga pasien yang belum banyak tahu mengenai ketentuan menggunakan BPJS. “Peran rumah sakit sangat dominan. Sehingga bisa mengatur pasien,” ujar Timboel. Bahkan tidak jarang pasien dinaikan sampai kelas VIP dengan selisih biaya ditanggung sendiri.
Lebih dari itu, ada pula modus lain yang digunakan sehingga merugikan pasien BPJS. Resep yang diberikan dokter tidak dipenuhi apotek di rumah sakit dengan alasan obat habis. Jika tidak, mereka mengklaim jatah untuk pasien BPJS hanya setengah. Sehingga sisanya harus beli dengan uang sendiri. “Padahal dalam aturan, obat-obatan ditanggung BPJS,” ungkap Timboel. Modus serupa sering digunakan ketika pasien butuh darah.
Pihak rumah sakit menyebut darah habis. Mau tidak mau keluarga pasien harus mencari donor sendiri. Bila perlu beli sendiri. Berbagai modus itu, secara langsung membuat pasien dan keluarganya sengsara. Untuk mendapat pelayanan kesehatan yang notabene program pemerintah, mereka harus melalui beragam ganjalan. “Pemerintah tidak bisa menjamin hak konstitusional masyarakat mendapat pelayanan kesehatan,” kata Timboel.
Itu jelas sangat melukai masyarakat. Khususnya peserta BPJS yang ketika hendak bertatapan dengan petugas loket pelayanan BPJS saja harus antre berjam-jam. Pantauan serta berbagai informasi yang diterima Jawa Pos, pengguna BPJS yang berobat di beberapa rumah sakit di Jakarta sudah antre sejak pagi. Saking banyaknya yang antre, mereka rela datang sebelum matahari terbit agar lebih cepat mendapat pelayanan. Itu berlaku bagi pasien baru maupun lama.
Bukan hanya Timboel dan BPJS Watch, Masyarkat Peduli BPJS juga turut menyayangkan pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS. “Istilah orang miskin nggak boleh sakit itu masih terjadi,” ungkap Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS Hery Susanto. Karena itu, dia tidak heran banyak pasien BPJS Â mengeluh. Berdasar survei yang dilakukan oleh Masyarakat Peduli BPJS, 75 persen dari seribu pasien BPJS di seluruh Indonesia merasa tidak puas dengan pelayanan rumah sakit.