32.8 C
Medan
Friday, May 31, 2024

1 April, PPN Naik Jadi 11 Persen

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mulai bulan depan, pajak pertambahan nilai (PPN) naik. Tarif PPN yang saat ini 10 persen akan menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Kenaikan tarif ini tentu akan membuat berbagai macam barang yang selama ini kena PPN, ikut naik. Artinya, beban masyarakat akan makin bertambah.

ATURAN kenaikan tarif PPN ini tertuang dalam UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam beleid ini juga disebutkan tarif PPN naik lebih tinggi menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Selain kenaikan PPN, Pemerintah juga memastikan penghapusan PPN terhadap pendidikan tertentu yang bersifat komersial, sampai sembako kelas atas seperti beras premium hingga daging impor. Hal itu sempat direncanakan selama pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa pelayanan sosial tetap mendapat fasilitas yaitu PPN dibebaskan,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo seperti dikutip dari detikcom, Jumat (18/3).

Sebelumnya, pemerintah berencana mengenakan PPN terhadap sembako seperti beras basmati, beras shirataki, hingga daging sapi premium impor seperti Kobe dan Wagyu yang harganya bisa 15 kali lipat harga daging di pasar tradisional. “Meski pemerintah punya ruang untuk mengenakan pajak atas barang seperti daging atau beras premium yang hanya dinikmati kelompok tertentu, saat ini diputuskan terhadap barang-barang tersebut diberi fasilitas PPN dibebaskan,” tutur Yustinus.

Sekolah tertentu yang bersifat komersial juga sempat direncanakan akan dikenakan PPN. Hal itu pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan tujuan untuk membedakan jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah dengan swasta yang mencari keuntungan.

“Untuk membedakan terhadap jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah maupun oleh lembaga sosial lain dibandingkan yang mencharge dengan SPP yang luar biasa tinggi. Madrasah dan lain-lain tentu tidak akan dikenakan dalam skema ini,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (13/9).

Begitu juga dengan rencana PPN untuk jasa kesehatan yang dipastikan batal. Sempat ingin dikenakan untuk jasa kesehatan yang dibayar tidak melalui sistem jaminan kesehatan nasional seperti klinik kecantikan hingga operasi plastik. “Misalnya yang dilakukan oleh jasa-jasa klinik kecantikan estetika, operasi plastik yang sifatnya non esensial. Juga untuk peningkatan peran masyarakat dalam penguatan sistem jaminan kesehatan nasional, treatment ini akan memberikan insentif masyarakat dan sistem kesejahteraan masuk dalam sistem jaminan kesehatan nasional,” tutur Sri Mulyani kala itu.

Bakal Dongkrak Inflasi

Badan Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Kadin Indonesia, Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan pemerintah menaikan PPN menjadi 11 persen justru akan meningkatkan inflasi di masyarakat. Menurut Ajib, kebijakan tersebut belum cukup tepat jika harus diimplementasikan pada April mendatang. Mengingat kondisi perekonomian yang saat ini belum pulih pasca-pandemi Covid-19. “Ketika pemerintah membuat regulasi dan membuat aturan, ya itu pasti harus dijalankan, tapi psikologis ekonomi akan membuat inflasi terdongkrak,” kata Ajib dalam Market Review IDXChanel, Jumat (18/3).

Ajib menjelaskan, dengan adanya kenaikan tarif PPN tersebut akan membuat beberapa barang kebutuh masyarakat juga akan mengalami peningkatan dari sisi harga. “Sebagi contoh, tadinya kita beli barang Rp1 juta, kemudian ada PPN menjadi Rp1,1 juta, secara psikologis potensi terdongkraknya ekonomi itu lebih dari 1 persen dari tarif kenaikan PPN tadi,” sambungnya.

Ajib melanjutkan, langkah yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah membangun psikologis ekonomi masyarakat misalnya dengan pemberian insentif fiskal dan bantuan langsung lainnya yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat. “Jadi yang perlu dijaga adalah terkait psikologis ekonomi, psikologis pasar dan psikologis masyarakat, artinya tarif kenaikan memang hanya 1 persen, tapi potensi inflasinya bisa berpengaruh cukup siginifikan,” tutur Ajib.

Ajib menjelaskan, dari sisi pengusaha melihat kenaikan PPN ini dari dua hal ketika, Pertama PPN itu dibebankan kepada pembeli akhir. Artinya para pengusaha tersebut akan menjual barang dagangannya mengikuti modal yang dikeluarkan. Kedua pengusaha bisa menanggung beban tersebut dimasukan dalam biaya over all. Kalau demikian maka yang didapat adalah potensi keuntungan yang menipis. “Kita memikirkan dampaknya kepada masyarakat, dan itu lebih baik untuk di-reschedule,” pungkas Ajib.

Tak Ada Penundaan

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, kenaikan PPN tetap pada ketentuan semula, yakni naik menjadi 11 persen dari 10 persen pada 1 April 2022. “Mengenai fiskal belum kami bahas, (dalam UU) HPP (PPN) sudah akan berlakukan 11 persen (di bulan) April,” kata Airlangga dalam media briefing di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (18/3).

Kenaikan PPN membuat beberapa harga barang konsumsi yang tidak termasuk dalam daftar pengecualian, makin mahal. Apalagi, kenaikan dibarengi dengan melonjaknya harga pangan di dalam negeri, mulai dari minyak goreng, tempe, cabai rawit, hingga daging sapi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor juga sempat menuturkan, pemerintah sejauh ini belum memiliki rencana untuk menunda kenaikan tarif. Nantinya, pemerintah akan merinci kenaikan tarif dalam aturan turunan dari UU HPP. Kendati demikian, dia tak menjelaskan secara mendetil aturan pelaksana tersebut. “Mohon maaf, belum ada informasi terkait hal itu (menunda kenaikan tarif). Sesuai amanat UU kenaikan tarif PPN akan berlaku 1 April 2022,” ucap Neilmaldrin, beberapa waktu lalu.

Sebagai informasi, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap. Nantinya pada tahun 2025, tarif PPN kembali naik menjadi 12 persen mempertimbangkan aspek sosial dan aspek ekonomi. Baca juga: DPR: Kebijakan Mendag Soal Minyak Goreng Mempersulit Rakyat Pengenaan PPN hanya berlaku untuk beberapa barang atau jasa. Sedangkan barang atau jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat tidak dikenakan PPN, yakni kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya.

Kemudian, tarif PPN 0 persen juga diterapkan pada ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak. Secara lebih rinci, ada 15 barang atau jasa yang tak kena PPN alias tarif PPN 0 persen. Hal ini tercantum dalam pasal 16B dan pasal 4A UU HPP.

Barang atau jasa tersebut, ialah jenis makanan dan minuman tertentu, uang dan emas batangan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan pemerintah, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering. “Amanat UU seperti itu. Belum ada (info aturan turunan), nanti kalau ada di-update lagi ya,” tandas Neil. (cnbc/dtc/snd)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mulai bulan depan, pajak pertambahan nilai (PPN) naik. Tarif PPN yang saat ini 10 persen akan menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Kenaikan tarif ini tentu akan membuat berbagai macam barang yang selama ini kena PPN, ikut naik. Artinya, beban masyarakat akan makin bertambah.

ATURAN kenaikan tarif PPN ini tertuang dalam UU nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam beleid ini juga disebutkan tarif PPN naik lebih tinggi menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Selain kenaikan PPN, Pemerintah juga memastikan penghapusan PPN terhadap pendidikan tertentu yang bersifat komersial, sampai sembako kelas atas seperti beras premium hingga daging impor. Hal itu sempat direncanakan selama pembahasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa pelayanan sosial tetap mendapat fasilitas yaitu PPN dibebaskan,” kata Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo seperti dikutip dari detikcom, Jumat (18/3).

Sebelumnya, pemerintah berencana mengenakan PPN terhadap sembako seperti beras basmati, beras shirataki, hingga daging sapi premium impor seperti Kobe dan Wagyu yang harganya bisa 15 kali lipat harga daging di pasar tradisional. “Meski pemerintah punya ruang untuk mengenakan pajak atas barang seperti daging atau beras premium yang hanya dinikmati kelompok tertentu, saat ini diputuskan terhadap barang-barang tersebut diberi fasilitas PPN dibebaskan,” tutur Yustinus.

Sekolah tertentu yang bersifat komersial juga sempat direncanakan akan dikenakan PPN. Hal itu pernah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan tujuan untuk membedakan jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah dengan swasta yang mencari keuntungan.

“Untuk membedakan terhadap jasa pendidikan yang diberikan secara masif oleh pemerintah maupun oleh lembaga sosial lain dibandingkan yang mencharge dengan SPP yang luar biasa tinggi. Madrasah dan lain-lain tentu tidak akan dikenakan dalam skema ini,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (13/9).

Begitu juga dengan rencana PPN untuk jasa kesehatan yang dipastikan batal. Sempat ingin dikenakan untuk jasa kesehatan yang dibayar tidak melalui sistem jaminan kesehatan nasional seperti klinik kecantikan hingga operasi plastik. “Misalnya yang dilakukan oleh jasa-jasa klinik kecantikan estetika, operasi plastik yang sifatnya non esensial. Juga untuk peningkatan peran masyarakat dalam penguatan sistem jaminan kesehatan nasional, treatment ini akan memberikan insentif masyarakat dan sistem kesejahteraan masuk dalam sistem jaminan kesehatan nasional,” tutur Sri Mulyani kala itu.

Bakal Dongkrak Inflasi

Badan Kebijakan Moneter dan Jasa Keuangan Kadin Indonesia, Ajib Hamdani mengatakan, kebijakan pemerintah menaikan PPN menjadi 11 persen justru akan meningkatkan inflasi di masyarakat. Menurut Ajib, kebijakan tersebut belum cukup tepat jika harus diimplementasikan pada April mendatang. Mengingat kondisi perekonomian yang saat ini belum pulih pasca-pandemi Covid-19. “Ketika pemerintah membuat regulasi dan membuat aturan, ya itu pasti harus dijalankan, tapi psikologis ekonomi akan membuat inflasi terdongkrak,” kata Ajib dalam Market Review IDXChanel, Jumat (18/3).

Ajib menjelaskan, dengan adanya kenaikan tarif PPN tersebut akan membuat beberapa barang kebutuh masyarakat juga akan mengalami peningkatan dari sisi harga. “Sebagi contoh, tadinya kita beli barang Rp1 juta, kemudian ada PPN menjadi Rp1,1 juta, secara psikologis potensi terdongkraknya ekonomi itu lebih dari 1 persen dari tarif kenaikan PPN tadi,” sambungnya.

Ajib melanjutkan, langkah yang lebih penting dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah membangun psikologis ekonomi masyarakat misalnya dengan pemberian insentif fiskal dan bantuan langsung lainnya yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat. “Jadi yang perlu dijaga adalah terkait psikologis ekonomi, psikologis pasar dan psikologis masyarakat, artinya tarif kenaikan memang hanya 1 persen, tapi potensi inflasinya bisa berpengaruh cukup siginifikan,” tutur Ajib.

Ajib menjelaskan, dari sisi pengusaha melihat kenaikan PPN ini dari dua hal ketika, Pertama PPN itu dibebankan kepada pembeli akhir. Artinya para pengusaha tersebut akan menjual barang dagangannya mengikuti modal yang dikeluarkan. Kedua pengusaha bisa menanggung beban tersebut dimasukan dalam biaya over all. Kalau demikian maka yang didapat adalah potensi keuntungan yang menipis. “Kita memikirkan dampaknya kepada masyarakat, dan itu lebih baik untuk di-reschedule,” pungkas Ajib.

Tak Ada Penundaan

Sementara, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, kenaikan PPN tetap pada ketentuan semula, yakni naik menjadi 11 persen dari 10 persen pada 1 April 2022. “Mengenai fiskal belum kami bahas, (dalam UU) HPP (PPN) sudah akan berlakukan 11 persen (di bulan) April,” kata Airlangga dalam media briefing di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (18/3).

Kenaikan PPN membuat beberapa harga barang konsumsi yang tidak termasuk dalam daftar pengecualian, makin mahal. Apalagi, kenaikan dibarengi dengan melonjaknya harga pangan di dalam negeri, mulai dari minyak goreng, tempe, cabai rawit, hingga daging sapi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor juga sempat menuturkan, pemerintah sejauh ini belum memiliki rencana untuk menunda kenaikan tarif. Nantinya, pemerintah akan merinci kenaikan tarif dalam aturan turunan dari UU HPP. Kendati demikian, dia tak menjelaskan secara mendetil aturan pelaksana tersebut. “Mohon maaf, belum ada informasi terkait hal itu (menunda kenaikan tarif). Sesuai amanat UU kenaikan tarif PPN akan berlaku 1 April 2022,” ucap Neilmaldrin, beberapa waktu lalu.

Sebagai informasi, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap. Nantinya pada tahun 2025, tarif PPN kembali naik menjadi 12 persen mempertimbangkan aspek sosial dan aspek ekonomi. Baca juga: DPR: Kebijakan Mendag Soal Minyak Goreng Mempersulit Rakyat Pengenaan PPN hanya berlaku untuk beberapa barang atau jasa. Sedangkan barang atau jasa yang dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat tidak dikenakan PPN, yakni kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya.

Kemudian, tarif PPN 0 persen juga diterapkan pada ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak. Secara lebih rinci, ada 15 barang atau jasa yang tak kena PPN alias tarif PPN 0 persen. Hal ini tercantum dalam pasal 16B dan pasal 4A UU HPP.

Barang atau jasa tersebut, ialah jenis makanan dan minuman tertentu, uang dan emas batangan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan pemerintah, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering. “Amanat UU seperti itu. Belum ada (info aturan turunan), nanti kalau ada di-update lagi ya,” tandas Neil. (cnbc/dtc/snd)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/