25 C
Medan
Sunday, May 12, 2024

8.808 ODGJ Ikut Nyoblos di Pemilu 2024

SUMUTPOS.CO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) mencatat, ada 34.897 pemilih katagori disabilitas yang memiliki hak suara pada Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, 8.808 pemilih dinyatakan kategori disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Dari data yang diterima Sumut Pos dari KPU Sumut, 34.897 pemilih katagori disabilitas tersebut dibagi dalam beberapa kategori. Adapun rinciannya, disabilitas fisik sebanyak 14.984 pemilih (0,0014 persen), disabilitas intelektual 1.881 pemilih (0,0002 persen), disabilitas mental 8.808 pemilih (0,0008 persen). Kemudian, disabilitas sensorik wicara sebanyak 4.955 pemilih (0,0005 persen), sensorik runggu 1.037 pemilih (0,0001 persen), dan disabilitas sensorik netra sebanyak 3.232 pemilih (0,0003 persen).

Menurut Anggota KPU Sumut, Frendianus Joni Rahmat Zebua, KPU Sumut memberikan ruang dan hak yang sama kepada pemilih disabilitas mental alias ODGJ ini dalam menggunakan hak suaranya. “Secara umum, ODGJ ini kita masukkan dalam (pemilih) disabilitas. Kan ada katagorinya, disabilitas mental dan lainnya. Jadi, di Sumut ini tidak ada TPS khusus ODGJ,” kata Frendianus kepada Sumut Pos, Jumat (19/1) siang.

Meski tak ada TPS khusus untuk ODGJ, namun KPU Sumut ada menyediakan fasilitas khusus untuk kepada pemilih disabilitas di TPS nantinya. “Jadi tidak ada TPS khusus untuk ODGJ, tidak ada itu. Semua itu masuk dalam katagori disabilitas,” tegasnya lagi.

Frendianus menambahkan, bagi pemilih ODGJ, selama mendapatkan izin dari dokter jiwa untuk memberikan hak suaranya di TPS, wajib dilayani oleh petugas KPPS. “Contohnya, dia disabilitas mental, diizinkan dokter, untuk kemungkinan dia (ODGJ) masih bisa mencoblos, dia diberikan ruang,” jelas Koordinator Divisi Data KPU Sumut ini.

Lebih lanjut Frendianus memastikan, KPU kabupaten/kota sudah menyiapkan fasilitas hingga simulasi pencoblosan dengan pemilih berstatus disabilitas. Sehingga mereka memiliki hak, harus dipenuhi dan difasilitasi. “Nanti (di TPS) untuk disabilitas diberi ruang khusus, seperti kursi-kursi dan lainnya, khusus untuk mereka,” pungkasnya.

Sementara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumut, meminta KPU Sumut untuk memberikan fasilitas dengan sebaik-baiknya kepada pemilih disabilitas pada hari pencoblosan, 14 Febuari 2024. “Mekanisme fasilitas itu ada di KPU, sehingga harus diberikan fasilitas sebaik-baiknya,” kata Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Bawaslu Sumut, Saut Boangmanalu kepada Sumut Pos, kemarin (19/1).

Saut mengungkapkan, untuk memberikan fasilitas bagi pemilih ODGJ, harus diketahui kesehatannya secara rohani dan kejiwaan, yang diperiksa oleh dokter spesialis jiwa. “Di PKPU kalau tidak salah, dia (ODGJ) dipastikan sehat rohani dan kejiwaannya. Kalau untuk memastikan dia sehat secara rohani dan kejiwaannya, adalah dokter,” jelas Saut

“Hal ini menjadi dilema. Kalau di daerah tertentu, tidak ada dokter spesialis kejiwaan bagaimana itu? Ini juga kesiapan dari tim kedokteran. Kita dari Bawaslu, selama kita lihat persiapan memungkinkan, mendorong memberikan hak pilihnya,” sebutnya.

Suat menilai, hak pilih dari ODGJ itu ada sisi positif dan sisi negatifnya. Tapi harus sikapi dan fasilitas, dengan sesuai prosedur dan peraturan undang-undang. “Kita mendorong ada sisi positif, ada sisi negatif juga. Positifnya, mendorong memenuhi hak suara ODGJ, sisi negatif takut berbuat atau terjadi tidak diinginkan di TPS,” tandasnya.

Pengamat sosial dan politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengatakan, istilah dan status ODGJ adalah sesuatu yang amat teknis dan hanya dapat ditentukan oleh sebuah otoritas keilmuan dan profesi dokter, dan bukan sembarang dokter. “Kalau saya tak salah, Indonesia pernah bimbang soal hak ODGJ dalam Pemilu. Terbukti oleh pembatasan yang ada pada pengaturan pasal 14 ayat 2 UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 yang kemudian direvisi oleh pasal 19 UU Nomor 10 Tahun 2008,” ujarnya kepada Sumut Pos, kemarin (19/1).

Dia menilai, mengapa dulu ODGJ dibatasi? Karena hak pilih juga dapat ditilik dari kualitasnya. Artinya, jika dengan ketidakjelasan pengetahuan tentang demokrasi, Pemilu dan informasi dengan variasi pilihan yang tersedia, maka aspirasi orang dengan kadar serupa itu dipandang kurang bermanfaat dalam demokrasi.

“Dulu, sekitar tahun 1969-an, Amerika berdebat luas soal hak pilih bagi kulit hitam. Sebagian berpendapat, mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Tetapi sebaliknya, sebagian lain menolak hak itu karena kalangan kulit hitam. Selain dipandang tidak sama dengan kulit putih (pandangan rasialistik), kenyataannya juga kerap tunduk pada pengaruh figur-figur tertentu terkait dengan hubungan ekonomi dan perbudakan kulit putih yang dapat memanipulasi pilihan politik kulit hitam menjadi bukan berdasarkan hati nurani,” bebernya.

Jadi, menurut Shohibul, Amerika waktu itu tak hanya mempersoalkan kedudukan yang tidak sama di depan hukum dan HAM, antara kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga oleh kesadaran atas kenyataan yang menunjukkan ketidak-mudahan dalam menjamin ketersaluran hak pilih berdasarkan kemurnian aspirasi.

“Sekaitan dengan itu, menurut saya ada dua masalah dalama hak pilih ODGJ untuk Pemilu 2024. Pertama, bagaimana mengatur teknis pemberian suara kepada ODGJ. Kedua, ODGJ itu memiliki variasi yang jamak sesuai tingkat parah atau ringannya. Karena itu otoritas dokter akan menentukan seseorang yang menderita sebagai ODGJ dipandang layak atau tidak memberi suara dalam Pemilu. Karena itu pula diperlukan koordinasi KPU dengan rumah sakit jiwa (RSJ) agar keduanya dapat melayani kebutuhan khusus pemberian suara bagi ODGJ,” terangnya.

Secara teknis, lanjut Shohibul, hal itu mungkin tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pemungutan suara di rumah sakit biasa atau lembaga pemasyarakatan. Hanya saja selalu ada kecurigaan mobilisasi ke pilihan tertentu, apalagi di lembaga pemasyarakatan, dan itu tidak boleh dibiarkan.

“Karena itu, Bawaslu dan kelompok civil society perlu proaktif. Tentu saja anggota keluarga terdekat penderita ODGJ sangat perlu mendampingi dalam proses pemberian suara itu. Sama halnya dengan kalangan disabilitas tunanetra yang jika kertas suara tak dipersiapkan sesuai kebutuhan khusus kalangan ini (misalnya dengan penggunaan aksara Braille),” tandasnya. (gus/dwi/adz)

SUMUTPOS.CO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara (Sumut) mencatat, ada 34.897 pemilih katagori disabilitas yang memiliki hak suara pada Pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, 8.808 pemilih dinyatakan kategori disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Dari data yang diterima Sumut Pos dari KPU Sumut, 34.897 pemilih katagori disabilitas tersebut dibagi dalam beberapa kategori. Adapun rinciannya, disabilitas fisik sebanyak 14.984 pemilih (0,0014 persen), disabilitas intelektual 1.881 pemilih (0,0002 persen), disabilitas mental 8.808 pemilih (0,0008 persen). Kemudian, disabilitas sensorik wicara sebanyak 4.955 pemilih (0,0005 persen), sensorik runggu 1.037 pemilih (0,0001 persen), dan disabilitas sensorik netra sebanyak 3.232 pemilih (0,0003 persen).

Menurut Anggota KPU Sumut, Frendianus Joni Rahmat Zebua, KPU Sumut memberikan ruang dan hak yang sama kepada pemilih disabilitas mental alias ODGJ ini dalam menggunakan hak suaranya. “Secara umum, ODGJ ini kita masukkan dalam (pemilih) disabilitas. Kan ada katagorinya, disabilitas mental dan lainnya. Jadi, di Sumut ini tidak ada TPS khusus ODGJ,” kata Frendianus kepada Sumut Pos, Jumat (19/1) siang.

Meski tak ada TPS khusus untuk ODGJ, namun KPU Sumut ada menyediakan fasilitas khusus untuk kepada pemilih disabilitas di TPS nantinya. “Jadi tidak ada TPS khusus untuk ODGJ, tidak ada itu. Semua itu masuk dalam katagori disabilitas,” tegasnya lagi.

Frendianus menambahkan, bagi pemilih ODGJ, selama mendapatkan izin dari dokter jiwa untuk memberikan hak suaranya di TPS, wajib dilayani oleh petugas KPPS. “Contohnya, dia disabilitas mental, diizinkan dokter, untuk kemungkinan dia (ODGJ) masih bisa mencoblos, dia diberikan ruang,” jelas Koordinator Divisi Data KPU Sumut ini.

Lebih lanjut Frendianus memastikan, KPU kabupaten/kota sudah menyiapkan fasilitas hingga simulasi pencoblosan dengan pemilih berstatus disabilitas. Sehingga mereka memiliki hak, harus dipenuhi dan difasilitasi. “Nanti (di TPS) untuk disabilitas diberi ruang khusus, seperti kursi-kursi dan lainnya, khusus untuk mereka,” pungkasnya.

Sementara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumut, meminta KPU Sumut untuk memberikan fasilitas dengan sebaik-baiknya kepada pemilih disabilitas pada hari pencoblosan, 14 Febuari 2024. “Mekanisme fasilitas itu ada di KPU, sehingga harus diberikan fasilitas sebaik-baiknya,” kata Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Bawaslu Sumut, Saut Boangmanalu kepada Sumut Pos, kemarin (19/1).

Saut mengungkapkan, untuk memberikan fasilitas bagi pemilih ODGJ, harus diketahui kesehatannya secara rohani dan kejiwaan, yang diperiksa oleh dokter spesialis jiwa. “Di PKPU kalau tidak salah, dia (ODGJ) dipastikan sehat rohani dan kejiwaannya. Kalau untuk memastikan dia sehat secara rohani dan kejiwaannya, adalah dokter,” jelas Saut

“Hal ini menjadi dilema. Kalau di daerah tertentu, tidak ada dokter spesialis kejiwaan bagaimana itu? Ini juga kesiapan dari tim kedokteran. Kita dari Bawaslu, selama kita lihat persiapan memungkinkan, mendorong memberikan hak pilihnya,” sebutnya.

Suat menilai, hak pilih dari ODGJ itu ada sisi positif dan sisi negatifnya. Tapi harus sikapi dan fasilitas, dengan sesuai prosedur dan peraturan undang-undang. “Kita mendorong ada sisi positif, ada sisi negatif juga. Positifnya, mendorong memenuhi hak suara ODGJ, sisi negatif takut berbuat atau terjadi tidak diinginkan di TPS,” tandasnya.

Pengamat sosial dan politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengatakan, istilah dan status ODGJ adalah sesuatu yang amat teknis dan hanya dapat ditentukan oleh sebuah otoritas keilmuan dan profesi dokter, dan bukan sembarang dokter. “Kalau saya tak salah, Indonesia pernah bimbang soal hak ODGJ dalam Pemilu. Terbukti oleh pembatasan yang ada pada pengaturan pasal 14 ayat 2 UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 yang kemudian direvisi oleh pasal 19 UU Nomor 10 Tahun 2008,” ujarnya kepada Sumut Pos, kemarin (19/1).

Dia menilai, mengapa dulu ODGJ dibatasi? Karena hak pilih juga dapat ditilik dari kualitasnya. Artinya, jika dengan ketidakjelasan pengetahuan tentang demokrasi, Pemilu dan informasi dengan variasi pilihan yang tersedia, maka aspirasi orang dengan kadar serupa itu dipandang kurang bermanfaat dalam demokrasi.

“Dulu, sekitar tahun 1969-an, Amerika berdebat luas soal hak pilih bagi kulit hitam. Sebagian berpendapat, mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara. Tetapi sebaliknya, sebagian lain menolak hak itu karena kalangan kulit hitam. Selain dipandang tidak sama dengan kulit putih (pandangan rasialistik), kenyataannya juga kerap tunduk pada pengaruh figur-figur tertentu terkait dengan hubungan ekonomi dan perbudakan kulit putih yang dapat memanipulasi pilihan politik kulit hitam menjadi bukan berdasarkan hati nurani,” bebernya.

Jadi, menurut Shohibul, Amerika waktu itu tak hanya mempersoalkan kedudukan yang tidak sama di depan hukum dan HAM, antara kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga oleh kesadaran atas kenyataan yang menunjukkan ketidak-mudahan dalam menjamin ketersaluran hak pilih berdasarkan kemurnian aspirasi.

“Sekaitan dengan itu, menurut saya ada dua masalah dalama hak pilih ODGJ untuk Pemilu 2024. Pertama, bagaimana mengatur teknis pemberian suara kepada ODGJ. Kedua, ODGJ itu memiliki variasi yang jamak sesuai tingkat parah atau ringannya. Karena itu otoritas dokter akan menentukan seseorang yang menderita sebagai ODGJ dipandang layak atau tidak memberi suara dalam Pemilu. Karena itu pula diperlukan koordinasi KPU dengan rumah sakit jiwa (RSJ) agar keduanya dapat melayani kebutuhan khusus pemberian suara bagi ODGJ,” terangnya.

Secara teknis, lanjut Shohibul, hal itu mungkin tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan pemungutan suara di rumah sakit biasa atau lembaga pemasyarakatan. Hanya saja selalu ada kecurigaan mobilisasi ke pilihan tertentu, apalagi di lembaga pemasyarakatan, dan itu tidak boleh dibiarkan.

“Karena itu, Bawaslu dan kelompok civil society perlu proaktif. Tentu saja anggota keluarga terdekat penderita ODGJ sangat perlu mendampingi dalam proses pemberian suara itu. Sama halnya dengan kalangan disabilitas tunanetra yang jika kertas suara tak dipersiapkan sesuai kebutuhan khusus kalangan ini (misalnya dengan penggunaan aksara Braille),” tandasnya. (gus/dwi/adz)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/