29 C
Medan
Sunday, February 23, 2025
spot_img

Calon Independen Semakin Dipersulit

Lukman juga mengakui adanya wacana pemberian sanksi untuk partai politik yang tidak mencalonkan pasangan calon. Tapi kontroversi itu selesai begitu Mahkamah Konstitusi memutuskan calon tunggal bisa melawan ‘bumbung kosong’ atau membolehkan mekanisme referendum.

Lukman menjelaskan, secara mendasar fenomena calon tunggal juga sebenarnya akibat keputusan anggota legislatif wajib mundur ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

“Kalau norma ini dicabut, Insya Allah akan semarak lagi (calon tunggal),” katanya.

Sejatinya Pilkada bagi partai politik bukan hanya sekedar memenangkan pertarungan tetapi juga soal pendidikan dan pelatihan politik bagi kader-kadernya. Namun demikian, jelas dia, memaksakan agar Pilkada tetap diselenggarakan di tengah defisit pasangan calon juga berbahaya karena berpotensi melahirkan “calon boneka”.

“Seperti kejadian di Kutai Kartanegara, kemudian memunculkan calon boneka,” kata Lukman, mencontohkan.

“Idealnya harus ada sanksi, tapi sebelumnya kita harus coba kira-kira norma yang mengaturnya seperti apa,” imbuhnya.

Tak cuma DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga berencana memberlakukan aturan ketat bagi pasangan bakal calon kepala daerah yang hendak maju lewat jalur perseorangan. Diusulkan, dukungan masyarakat nantinya harus disertai pembubuhan tanda tangan di atas materai.

Usulan dimuat dalam draft perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

“Kalau paslon mengumpulkan orang per orang, maka materai akan dibutuhkan. Kalau buat daftar, maka bisa dibagian akhir secara kolektif namun per daftar. Materai dibubuhkan perdesa jika dihimpun perdesa,” ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, kemarin.

Jika aturan ini jadi disahkan, maka tak tertutup kemungkinan pasangan calon harus merogoh kocek lebih besar. Sebagai contoh untuk Pilkada DKI Jakarta, kalau Gubernur Basuki Tjahja Purnama jadi maju lewat jalur independen, dibutuhkan biaya sekitar Rp3 miliar lebih hanya untuk materai.

Hitungan mengacu pada syarat minimal 7,5 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif lalu yang mencapai 7.096.168 jiwa. Yaitu 523.213 jiwa dikali harga materai Rp6000 per lembarnya.

“Jadi kalau dalam penelitian keabsahan surat dukungan formulir perseorangan itu tidak ada tanda tangan di atas materai, maka syarat harus dipenuhi pada masa perbaikan syarat pencalonan,” ujar Hadar.

Namun begitu Hadar menegaskan, ketentuan bermaterai bisa dilakukan secara kolektif. Misal, materai bisa dibubuhkan dalam satu surat dukungan perseorangan yang dihimpun per kelurahan atau desa.

“Jadi per kelurahan atau per desa yang kemudian dibuat oleh tim pasangan calon. Bukan oleh masing-masing masyarakat yang memberikan pernyataan dukungannya,” ujar Hadar.

Selain itu, Hadar juga mengatakan, usulan belum bersifat final. Karena masih berupa rancangan Peraturan KPU. Karenanya, dapat dipertimbangkan ulang setelah ada masukan dari berbagai pihak.

“Nanti akan kami cek kembali apakah kebijakan itu perlu seketat itu, tepat atau tidak, kan ada masukan kira-kira apakah perlu. Kalau toh iya bertahan saja kayak kemarin (tanpa dibubuhi materai, Red),” ujar Hadar. (bbs/gir/val)

Lukman juga mengakui adanya wacana pemberian sanksi untuk partai politik yang tidak mencalonkan pasangan calon. Tapi kontroversi itu selesai begitu Mahkamah Konstitusi memutuskan calon tunggal bisa melawan ‘bumbung kosong’ atau membolehkan mekanisme referendum.

Lukman menjelaskan, secara mendasar fenomena calon tunggal juga sebenarnya akibat keputusan anggota legislatif wajib mundur ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

“Kalau norma ini dicabut, Insya Allah akan semarak lagi (calon tunggal),” katanya.

Sejatinya Pilkada bagi partai politik bukan hanya sekedar memenangkan pertarungan tetapi juga soal pendidikan dan pelatihan politik bagi kader-kadernya. Namun demikian, jelas dia, memaksakan agar Pilkada tetap diselenggarakan di tengah defisit pasangan calon juga berbahaya karena berpotensi melahirkan “calon boneka”.

“Seperti kejadian di Kutai Kartanegara, kemudian memunculkan calon boneka,” kata Lukman, mencontohkan.

“Idealnya harus ada sanksi, tapi sebelumnya kita harus coba kira-kira norma yang mengaturnya seperti apa,” imbuhnya.

Tak cuma DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga berencana memberlakukan aturan ketat bagi pasangan bakal calon kepala daerah yang hendak maju lewat jalur perseorangan. Diusulkan, dukungan masyarakat nantinya harus disertai pembubuhan tanda tangan di atas materai.

Usulan dimuat dalam draft perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

“Kalau paslon mengumpulkan orang per orang, maka materai akan dibutuhkan. Kalau buat daftar, maka bisa dibagian akhir secara kolektif namun per daftar. Materai dibubuhkan perdesa jika dihimpun perdesa,” ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, kemarin.

Jika aturan ini jadi disahkan, maka tak tertutup kemungkinan pasangan calon harus merogoh kocek lebih besar. Sebagai contoh untuk Pilkada DKI Jakarta, kalau Gubernur Basuki Tjahja Purnama jadi maju lewat jalur independen, dibutuhkan biaya sekitar Rp3 miliar lebih hanya untuk materai.

Hitungan mengacu pada syarat minimal 7,5 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif lalu yang mencapai 7.096.168 jiwa. Yaitu 523.213 jiwa dikali harga materai Rp6000 per lembarnya.

“Jadi kalau dalam penelitian keabsahan surat dukungan formulir perseorangan itu tidak ada tanda tangan di atas materai, maka syarat harus dipenuhi pada masa perbaikan syarat pencalonan,” ujar Hadar.

Namun begitu Hadar menegaskan, ketentuan bermaterai bisa dilakukan secara kolektif. Misal, materai bisa dibubuhkan dalam satu surat dukungan perseorangan yang dihimpun per kelurahan atau desa.

“Jadi per kelurahan atau per desa yang kemudian dibuat oleh tim pasangan calon. Bukan oleh masing-masing masyarakat yang memberikan pernyataan dukungannya,” ujar Hadar.

Selain itu, Hadar juga mengatakan, usulan belum bersifat final. Karena masih berupa rancangan Peraturan KPU. Karenanya, dapat dipertimbangkan ulang setelah ada masukan dari berbagai pihak.

“Nanti akan kami cek kembali apakah kebijakan itu perlu seketat itu, tepat atau tidak, kan ada masukan kira-kira apakah perlu. Kalau toh iya bertahan saja kayak kemarin (tanpa dibubuhi materai, Red),” ujar Hadar. (bbs/gir/val)

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/