Dengan standar yang lebih baku itu semua pihak yang berkecimpung dalam dunia pendiikan akan lebih fokus dalam menghasilkan tamatan yang lebih baik. Tidak ada yang seenaknya dalam mengurusi pendiikan. karena masing-masing jenjang punya standar. ”Apa standarnya tamatan SMA, apa satandanya tamat SMP,” imbuh JK.
Dia menyatakan dengan lulusan pendiikan menengah yang kuat akan lebih mudah untuk perbaikan jenjang perguruan tinggi. Mahasiswa tidak akan bingung lagi dengan paradigma pendiikan liberal dan pendiikan yang mendahulukan skill. ”Untuk mencapai liberal dan skill tanpa dasar pendiikan menengah yang kuat juga kita tidak bsa mencapai itu,” terang dia.
Anggota Komisi X DPR Abdul Fikri mengatakan, perlu ada pengambilan keputusan yang lebih baik di internal pemerintah. Sehingga tidak memunculkan kesan mempermainkan guru, siswa, dan orangtua murid. ’’Munculnya wacana moratorium UN, jelas membuat semua pihak terkait dagdigdug. Sebab informasinya simpang siur,’’ kata dia.
Karena sudah keluar keputusan UN tetap lanjut, dia berharap pemerintah konsentrasi pada pengawasan penyelenggaraan di sekolah. Praktek kecurangan seperti contek di sekolah, harus dicegah. Pengawas yang main-main dalam mengawasi ujian harus ditindak.
Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti merasa bingung terhadap pengambilan keputusan UN oleh Presiden Jokowi. Dia mengakui setelah memimpin puncak Hari Guru Nasional (HGN) 2016 di Bogor beberapa waktu lalu, Jokowi cenderung menggunakan istilah desentralisasi UN. Dengan demikian UN dilaksanakan di daerah-daerah. ’’Saya jadi bingung,’’ katanya.
Retno mengatakan FSGI sangat menyangkan keputusan UN tetap dilanjutkan. Dia menegaskan sikap FSGI sudah tegas yakni mendukung rencana Kemendikbud menjalankan moratorium UN. Apalagi dia merasa alasan moratorium sangat substantif bukan sekedar urusan teknis.
Diantaranya adalah selama 12 tahun penyelenggaraan UN, tidak terbukti berkolerasi dengan peningkatan kualitas pendiikan. Baginya fungsi UN sebagai pemetaan juga tidak muncul. ’’Yang muncul justru pemetaan ketidakjujuran UN,’’ jelasnya.
Menurut guru SMAN 13 Jakarta itu telah terjadi kekeliruan fatal dalam penyelenggaraan UN. Diantaranya adalah UN dipaksakan untuk menjadi alat ukur segalanya. Mulai dari alat ukur guru, siswa, dan sekolah. Retno mengatakan pemerintah seharusnya melihat kelemahan-kelemahan UN selama ini, sebelum memutuskan melanjutkan penyelenggaran ujian tahunan itu. (byu/jun/wan/jpg/adz)