28 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Tunggu Tanggung Jawab Moral Iwan Bule CS, Mahfud MD: Ketum PSSI Bisa Kena

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Proses hukum dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Jawa Timur terus berjalan. Polda Jawa Timur sudah memanggil dan memeriksa Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan atau Iwan Bule. Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD mengungkapkan bahwa mantan kapolda Metro Jaya itu bisa saja turut diproses hukum.

Keterangan itu disampaikan oleh Mahfud saat mengisi diskusi dalam jaringan yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) kemarin (20/10). Sebagaimana hasil kerja Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), harus ada yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Baik tanggung jawab hukum maupun moral. Mengingat jumlah korban luar biasa banyak. Baik korban luka ringan, luka berat, maupun meninggal dunia.

Berkaitan dengan tanggung jawab hukum, Mahfud menyampaikan bahwa saat ini proses hukum oleh kepolisian masih bergulir. “Tanggung jawab hukum pidananya sudah mulai disidik dan itu bisa saja kena ketua PSSI nanti,” tegas dia. Pemeriksaan demi pemeriksaan terus berjalan. Menurut Mahfud, Polri juga masih terus mencari pihak-pihak yang turut memiliki tanggung jawab atas tragedi yang menyebabkan 133 Aremania kehilangan nyawa.

Langkah itu sudah sesuai dengan rekomendasi TGIPF untuk Polri. Mahfud menegaskan, penyebab ratusan nyawa melayang pasca pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu adalah penembakan gas air mata. “Saya nggak peduli sekarang berapa besar kandungan kimia (dalam gas air mata) yang mematikan. Itu tidak penting. Karena bukan kimianya yang menyebabkan (kematian ratusan orang), tetapi penembakannya,” tegasnya.

Akibat aparat keamanan menembakan gas air mata, penonton kemudian panik. Mereka mencari jalan keluar dan berkumpul pada satu titik. Alhasil tidak sedikit yang terhimpit, sesak, kehabisan nafas, terinjak-injak, dan meninggal dunia. “Kematian massal sebanyak 132 (Aremania sampai TGIPF selesai bekerja) disebabkan oleh gas air mata” ungkap Mahfud. Karena itu, TGIPF menuntut pertanggungjawaban. Termasuk dari PSSI.

TGIPF menyadari mereka tidak bisa melampaui batasan yang ada dalam aturan FIFA maupun PSSI. Namun demikian, mereka tetap menyampaikan perlunya ada tanggung jawab moral dari seluruh pimpinan dan pengurus PSSI. Menurut Mahfud, pihaknya berharap hal itu benar-benar terjadi. “Mundur itu di mana-mana boleh. Tidak melanggar aturan. Dan itu tampaknya sedang dicerna dan mudah-mudahan bisa terjadi,” harapnya.

Berkaitan dengan tingkat kepercayaan atau indeks persepsi publik terhadap Polri yang turun pasca tragedi di Kanjuruhan, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu tidak menampik. Selain tragedi di Kanjuruhan, dia menyampaikan, perkara yang menyeret mantan jenderal bintang dua Polri, Ferdy Sambo, turut berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan terhadap Polri. Belum lagi bila dilakukan survei pasca penangkapan Irjen Teddy Minahasa. Bisa jadi angkanya berubah lagi.

Sementara itu, kepolisian tampaknya harus benar-benar membuktikan kerjanya dalam mengusut tragedi kanjuruhan. Pasalnya, persentase publik yang tidak yakin kasus bakal diusut secara tuntas cukup tinggi. Data tersebut terpotret dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia, kemarin. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, persentase publik yang percaya kasus diusut tuntas memang masih dominan, yakni 52 persen.

Namun jika melihat data yang meragukan pada angka 43,3 persen, fakta tersebut tidak cukup menggembirakan. “Artinya tidak begitu tinggi tingkat kepercayaannya,” ujarnya. Djayadi menjelaskan, masih tingginya ketidakpercayaan harus menjadi perhatian. Sebab, kepercayaan pada institusi sangat dibutuhkan agar hasil kerjanya bisa diterima.

Apalagi, lanjut dia, tragedi kanjuruhan menjadi perhatian banyak pihak. Dari data survei LSI diketahui, 83,6 persen masyarakat tahu kasus tersebut. “Bahkan hanya perhatian masyarakat Indonesia tapi dunia,” imbuhnya. Lebih lanjut lagi, survei LSI juga memperlihatkan tindakan aparat mendapat persepsi buruk. Dalam hal jatuhnya korban, 78 persen responden tahu jika korban meninggal akibat tembakan gas air mata yang memantik kepanikan.

Kemudian, 70,9 persen responden juga menyalahkan sikap aparat yang menembakkan gas air mata. “Pada kelompok ini tingkat kepercayaan terhadap kepolisian sangat tertekan,” jelasnya.

Sementara Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) berupaya memastikan dugaan intimidasi terhadap keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Anggota TGIPF Armed Wijaya menuturkan, telah mendatangi telah keluarga korban bernama Devi Athok. Devi merupakan ayah dari dua anak yang meninggal dunia dalam tragedy tersebut. “Saya datangi untuk memastikan isu intimidasi,” paparnya.

Dari pihak keluarga memberikan klarfisikasi bahwa memang tidak ada intervensi dari siapapun terkait pembatalan autopsi. Sebab, pembatalan tersebut datang dari keluarga ibu korban. “Karena pembatalan itu hak dari keluarga korban,” jelasnya.

Menurutnya, dengan begitu dapat dipastikan bahwa isu adanya intervensi terhadap keluarga korban tidak ada. Yang sebenarnya malah keluarga dari sisi ibu merasa tidak tega bila dilakukan autopsy. “Itu yang terjadi,” tuturnya dalam keterangan tertulisnya.

Sementara Kuasa Hukum Devi Athok Imam Hidayat mengatakan bahwa memang pembatalan autopsy itu bukan berasal dari Devi Athok. Melainkan dari keluarga pihak ibu. “BUkan keinginan klien kami,” terangnya. (far/syn/idr/jpg)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Proses hukum dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Jawa Timur terus berjalan. Polda Jawa Timur sudah memanggil dan memeriksa Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan atau Iwan Bule. Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD mengungkapkan bahwa mantan kapolda Metro Jaya itu bisa saja turut diproses hukum.

Keterangan itu disampaikan oleh Mahfud saat mengisi diskusi dalam jaringan yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) kemarin (20/10). Sebagaimana hasil kerja Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), harus ada yang bertanggung jawab atas tragedi tersebut. Baik tanggung jawab hukum maupun moral. Mengingat jumlah korban luar biasa banyak. Baik korban luka ringan, luka berat, maupun meninggal dunia.

Berkaitan dengan tanggung jawab hukum, Mahfud menyampaikan bahwa saat ini proses hukum oleh kepolisian masih bergulir. “Tanggung jawab hukum pidananya sudah mulai disidik dan itu bisa saja kena ketua PSSI nanti,” tegas dia. Pemeriksaan demi pemeriksaan terus berjalan. Menurut Mahfud, Polri juga masih terus mencari pihak-pihak yang turut memiliki tanggung jawab atas tragedi yang menyebabkan 133 Aremania kehilangan nyawa.

Langkah itu sudah sesuai dengan rekomendasi TGIPF untuk Polri. Mahfud menegaskan, penyebab ratusan nyawa melayang pasca pertandingan antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu adalah penembakan gas air mata. “Saya nggak peduli sekarang berapa besar kandungan kimia (dalam gas air mata) yang mematikan. Itu tidak penting. Karena bukan kimianya yang menyebabkan (kematian ratusan orang), tetapi penembakannya,” tegasnya.

Akibat aparat keamanan menembakan gas air mata, penonton kemudian panik. Mereka mencari jalan keluar dan berkumpul pada satu titik. Alhasil tidak sedikit yang terhimpit, sesak, kehabisan nafas, terinjak-injak, dan meninggal dunia. “Kematian massal sebanyak 132 (Aremania sampai TGIPF selesai bekerja) disebabkan oleh gas air mata” ungkap Mahfud. Karena itu, TGIPF menuntut pertanggungjawaban. Termasuk dari PSSI.

TGIPF menyadari mereka tidak bisa melampaui batasan yang ada dalam aturan FIFA maupun PSSI. Namun demikian, mereka tetap menyampaikan perlunya ada tanggung jawab moral dari seluruh pimpinan dan pengurus PSSI. Menurut Mahfud, pihaknya berharap hal itu benar-benar terjadi. “Mundur itu di mana-mana boleh. Tidak melanggar aturan. Dan itu tampaknya sedang dicerna dan mudah-mudahan bisa terjadi,” harapnya.

Berkaitan dengan tingkat kepercayaan atau indeks persepsi publik terhadap Polri yang turun pasca tragedi di Kanjuruhan, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu tidak menampik. Selain tragedi di Kanjuruhan, dia menyampaikan, perkara yang menyeret mantan jenderal bintang dua Polri, Ferdy Sambo, turut berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan terhadap Polri. Belum lagi bila dilakukan survei pasca penangkapan Irjen Teddy Minahasa. Bisa jadi angkanya berubah lagi.

Sementara itu, kepolisian tampaknya harus benar-benar membuktikan kerjanya dalam mengusut tragedi kanjuruhan. Pasalnya, persentase publik yang tidak yakin kasus bakal diusut secara tuntas cukup tinggi. Data tersebut terpotret dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia, kemarin. Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan, persentase publik yang percaya kasus diusut tuntas memang masih dominan, yakni 52 persen.

Namun jika melihat data yang meragukan pada angka 43,3 persen, fakta tersebut tidak cukup menggembirakan. “Artinya tidak begitu tinggi tingkat kepercayaannya,” ujarnya. Djayadi menjelaskan, masih tingginya ketidakpercayaan harus menjadi perhatian. Sebab, kepercayaan pada institusi sangat dibutuhkan agar hasil kerjanya bisa diterima.

Apalagi, lanjut dia, tragedi kanjuruhan menjadi perhatian banyak pihak. Dari data survei LSI diketahui, 83,6 persen masyarakat tahu kasus tersebut. “Bahkan hanya perhatian masyarakat Indonesia tapi dunia,” imbuhnya. Lebih lanjut lagi, survei LSI juga memperlihatkan tindakan aparat mendapat persepsi buruk. Dalam hal jatuhnya korban, 78 persen responden tahu jika korban meninggal akibat tembakan gas air mata yang memantik kepanikan.

Kemudian, 70,9 persen responden juga menyalahkan sikap aparat yang menembakkan gas air mata. “Pada kelompok ini tingkat kepercayaan terhadap kepolisian sangat tertekan,” jelasnya.

Sementara Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) berupaya memastikan dugaan intimidasi terhadap keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Anggota TGIPF Armed Wijaya menuturkan, telah mendatangi telah keluarga korban bernama Devi Athok. Devi merupakan ayah dari dua anak yang meninggal dunia dalam tragedy tersebut. “Saya datangi untuk memastikan isu intimidasi,” paparnya.

Dari pihak keluarga memberikan klarfisikasi bahwa memang tidak ada intervensi dari siapapun terkait pembatalan autopsi. Sebab, pembatalan tersebut datang dari keluarga ibu korban. “Karena pembatalan itu hak dari keluarga korban,” jelasnya.

Menurutnya, dengan begitu dapat dipastikan bahwa isu adanya intervensi terhadap keluarga korban tidak ada. Yang sebenarnya malah keluarga dari sisi ibu merasa tidak tega bila dilakukan autopsy. “Itu yang terjadi,” tuturnya dalam keterangan tertulisnya.

Sementara Kuasa Hukum Devi Athok Imam Hidayat mengatakan bahwa memang pembatalan autopsy itu bukan berasal dari Devi Athok. Melainkan dari keluarga pihak ibu. “BUkan keinginan klien kami,” terangnya. (far/syn/idr/jpg)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/