29 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Kemenkes Bagikan Obat Penawar Gagal Ginjal Akut Gratis

SUMUTPOS.CO – Pemberian obat penawar (antidotum) menjadi salah satu langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menekan peningkatan angka kematian anak-anak yang teridentifikasi penyakit gagal ginjal akut. Obat penawar yang diimpor dari Singapura itu sejauh ini cukup ampuh memulihkan anak-anak dari penyakit misterius tersebut.

JURU Bicara Kemenkes, dr Mohammad Syahril mengatakan, antidotum itu sudah didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang merawat pasien acute kidney injury (AKI) tersebut. Seluruh biaya terkait antidotum itu gratis. “Biaya akan ditanggung Kementerian Kesehatan,” ujarnya dalam diskusi dalam jaringan (daring), kemarin (22/10).

Syahril menerangkan, obat penawar itu merupakan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sejauh ini, antidotum telah diberikan kepada anak-anak pengidap AKI yang dirawat di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Dari laporan Kemenkes, kondisi anak yang mendapat obat penawar itu cenderung membaik. “Ada perubahan yang bagus dari pasien (setelah diberi antidotum, Red). Mulai keluar air kencingnya, keadaannya juga membaik,” ungkap Syahril.

Meski begitu, Syahril menyebut, tak semua pasien AKI mengalami reaksi positif setelah diberi antidotum. Ada yang tidak mengalami perubahan setelah mendapat obat penawar.

Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Prof Keri Lestari mengungkapkan, langkah pemulihan menggunakan antidotum pernah dilakukan terhadap pasien-pasien AKI di Amerika Serikat sekitar 1990 silam. Saat itu, ada anak-anak yang menjadi korban cemaran senyawa etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), atau EG monometil eter tersebut.

Syahril menambahkan, selain melakukan pemulihan menggunakan antidotum, Kemenkes saat ini terus menyisir anak-anak yang terjangkit penyakit gagal ginjal akut. Dari pendataan terakhir, baru 22 provinsi yang disisir. Totalnya, ditemukan 241 anak mayoritas usia di bawah 5 tahun (balita) yang teridentifikasi penyakit AKI. Sebanyak 133 di antaranya meninggal dunia. “Ini kami sedang sisir seluruh provinsi,” ujarnya.

Menurut dia, dokter anak punya peran penting untuk membantu pendataan. Khususnya pendataan di luar rumah sakit. “Memang harus ada pendataan yang akurat dari dokter anak,” ungkapnya.

Terpisah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menegaskan, setiap produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi dalam negeri sudah mengikuti standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan memenuhi persyaratan mutu sesuai farmakope Indonesia atau kompendial lainnya. “Kasus ditemukannya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas pada obat sirup merupakan kejadian yang tidak diharapkan oleh industri farmasi,” jelasnya di Jakarta. Kemenperin terus mendorong perusahaan-perusahaan industri farmasi untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap produk-produk yang dihasilkan. ’’Serta terus memantau perkembangan informasi dari kementerian dan lembaga terkait,” imbuhnya.

Dari hasil investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ditengarai kedua zat tersebut merupakan cemaran. Bukan bahan baku tambahan yang digunakan pada formulasi dan proses produksi obat sirup. Cemaran itu diduga berasal dari empat bahan baku tambahan, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.

Menurut Agus, empat bahan itu bukan bahan berbahaya atau dilarang dalam pembuatan sirup obat. Empat bahan tersebut telah digunakan sejak lama. Namun, baru dua yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Yaitu, sorbitol dengan kapasitas 154.000 ton per tahun dan gliserin sebesar 883.700 ton per tahun. Sedangkan propilen glikol dan polietilen glikol belum dapat diproduksi dalam negeri sehingga harus impor.

Agus menyebut, Kemenperin telah berkoordinasi dengan industri farmasi yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melewati ambang batas aman. Pihak industri menyatakan bahwa tidak ada penggunaan bahan baku EG maupun DEG pada proses produksi. Karena itu, EG dan DEG diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain yang disebutkan di atas. ’’Sebagai tindak lanjutnya, industri terus melakukan evaluasi internal, pengujian kandungan cemaran bahan baku pada laboratorium independen, serta berkoordinasi untuk melakukan penarikan produk dari pasar. Hal ini sejalan dengan komitmen industri farmasi untuk memproduksi produk obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu,” jelas Agus.

Ada 23 Merk Obat Sirup Masih Aman

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memastikan, 23 produk dari daftar 102 obat sirup yang dikonsumsi pasien gagal ginjal akut progresif atipikal (acute progresive acute kidney injury) aman setelah dilakukan pengujian. Dalam konferensi pers di Kantor BPOM di Jakarta, Minggu (23/10), Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengatakan, dari daftar tersebut 23 obat tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliseron/gliserol yaitu bahan-bahan pelarut dalam obat sirop. “Dari 102 obat sirup itu ada 23 produk tidak menggunakan keempat pelarut tersebut, sehingga aman digunakan,” kata Penny.

Sementara itu, terdapat juga pengujian tujuh produk dari daftar 102 obat yang dirilis Kemenkes dan dinyatakan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai. Penny mengatakan, tiga produk yang telah diuji dan dinyatakan mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Ketiga produk itu sebelumnya sudah dilaporkan BPOM telah mengandung cemaran EG dan DEG.

Obat yang telah dinyatakan aman oleh BPOM adalah Alerfed Syrup, Amoxan, Amoxicilinm, Azithromycin Syrup, Cazetin, Cefacef Syrup, Cefspan syrup, Cetirizin, Devosix drop 15 ml, Domperidon Sirup, Etamox syrup, Interzinc, Nytex, Omemox, Rhinos Neo drop, Vestein (Erdostein), Yusimox, Zinc Syrup, Zincpro syrup, Zibramax, Renalyte, Amoksisilin, dan Eritromisin.

Termorex yang Tercemar Hanya Batch Tertentu

Sebelumnya, BPOM mengumumkan obat Termorex produksi Konimex masuk dalam daftar obat yang melebihi ambang batas cemaran Etilen Glikol dan Dietilen Glikol (EG dan DEG). Kali ini, dari hasil pengujian, BPOM menegaskan, obat Termorex yang tercemar senyawa yang memicu terjadinya gangguan ginjal akut itu hanya terjadi pada satu batch atau satu produksi obat tertentu.

“Kami melakukan pengawasan pre-market dan post-market. Terkait kajian EG dan DEG yang mungkin ada. Kami terus menelusuri kandungan dr cemaran bahan lain yang digunakan sebagai pelarut tambahan, dimungkinkan ada proses senyawa sintetis sehingga muncul sebagai pencemar,” kata Penny.

Pelarut pada obat tersebut seperti Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol. Jika digunakan pada obat, bisa memicu terjadinya cemaran EG dan DEG. Cemaran senyawa tersebut sebetulnya aman, asal tidak melebihi ambang batas aman.

“Termorex kami tambahkan perkembangan yang terbaru. Sebelumnya dinyatakan tidak aman. Kami tambahkan pengujian dari batch yang lain dari lokasi sampel yang berbeda dan batch yang berbeda. Ternyata batch lain aman,” kata Penny.

“Penarikan hanya untuk batch tertentu. Didapatkan di batch lainnya, dari batch yang berbeda. Hanya batch tertentu (yang tak aman),” ungkapnya.

69 Obat Masih Diuji

Penny menambahkan sejauh ini masih ada 69 obat sirop yang masih diteliti atau diuji. Penelitian dilakukan untuk mengecek ambang batas EG dan DEG aman atau tak melebihi ambang batas. “Masih ada 69 obat lagi saat ini dalam proses sampling dan pengujian. Secepatnya secara bertahap kami umumkan. Ini sudah bertambah yang aman untuk dikonsumsi,” katanya.

Pihaknya juga melakukan patroli siber atas maraknya penjualan obat sirop online di e-commerce. Sebanyak 4.922 link terdiri dari penjualan sirup obat tak aman dihapus atau blokir. (tyo/dee/mia/c17/oni)

SUMUTPOS.CO – Pemberian obat penawar (antidotum) menjadi salah satu langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menekan peningkatan angka kematian anak-anak yang teridentifikasi penyakit gagal ginjal akut. Obat penawar yang diimpor dari Singapura itu sejauh ini cukup ampuh memulihkan anak-anak dari penyakit misterius tersebut.

JURU Bicara Kemenkes, dr Mohammad Syahril mengatakan, antidotum itu sudah didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang merawat pasien acute kidney injury (AKI) tersebut. Seluruh biaya terkait antidotum itu gratis. “Biaya akan ditanggung Kementerian Kesehatan,” ujarnya dalam diskusi dalam jaringan (daring), kemarin (22/10).

Syahril menerangkan, obat penawar itu merupakan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sejauh ini, antidotum telah diberikan kepada anak-anak pengidap AKI yang dirawat di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Dari laporan Kemenkes, kondisi anak yang mendapat obat penawar itu cenderung membaik. “Ada perubahan yang bagus dari pasien (setelah diberi antidotum, Red). Mulai keluar air kencingnya, keadaannya juga membaik,” ungkap Syahril.

Meski begitu, Syahril menyebut, tak semua pasien AKI mengalami reaksi positif setelah diberi antidotum. Ada yang tidak mengalami perubahan setelah mendapat obat penawar.

Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Prof Keri Lestari mengungkapkan, langkah pemulihan menggunakan antidotum pernah dilakukan terhadap pasien-pasien AKI di Amerika Serikat sekitar 1990 silam. Saat itu, ada anak-anak yang menjadi korban cemaran senyawa etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG), atau EG monometil eter tersebut.

Syahril menambahkan, selain melakukan pemulihan menggunakan antidotum, Kemenkes saat ini terus menyisir anak-anak yang terjangkit penyakit gagal ginjal akut. Dari pendataan terakhir, baru 22 provinsi yang disisir. Totalnya, ditemukan 241 anak mayoritas usia di bawah 5 tahun (balita) yang teridentifikasi penyakit AKI. Sebanyak 133 di antaranya meninggal dunia. “Ini kami sedang sisir seluruh provinsi,” ujarnya.

Menurut dia, dokter anak punya peran penting untuk membantu pendataan. Khususnya pendataan di luar rumah sakit. “Memang harus ada pendataan yang akurat dari dokter anak,” ungkapnya.

Terpisah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang menegaskan, setiap produk obat yang dihasilkan oleh industri farmasi dalam negeri sudah mengikuti standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB) dan memenuhi persyaratan mutu sesuai farmakope Indonesia atau kompendial lainnya. “Kasus ditemukannya etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas pada obat sirup merupakan kejadian yang tidak diharapkan oleh industri farmasi,” jelasnya di Jakarta. Kemenperin terus mendorong perusahaan-perusahaan industri farmasi untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap produk-produk yang dihasilkan. ’’Serta terus memantau perkembangan informasi dari kementerian dan lembaga terkait,” imbuhnya.

Dari hasil investigasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ditengarai kedua zat tersebut merupakan cemaran. Bukan bahan baku tambahan yang digunakan pada formulasi dan proses produksi obat sirup. Cemaran itu diduga berasal dari empat bahan baku tambahan, yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol.

Menurut Agus, empat bahan itu bukan bahan berbahaya atau dilarang dalam pembuatan sirup obat. Empat bahan tersebut telah digunakan sejak lama. Namun, baru dua yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Yaitu, sorbitol dengan kapasitas 154.000 ton per tahun dan gliserin sebesar 883.700 ton per tahun. Sedangkan propilen glikol dan polietilen glikol belum dapat diproduksi dalam negeri sehingga harus impor.

Agus menyebut, Kemenperin telah berkoordinasi dengan industri farmasi yang produknya mengandung cemaran EG dan DEG melewati ambang batas aman. Pihak industri menyatakan bahwa tidak ada penggunaan bahan baku EG maupun DEG pada proses produksi. Karena itu, EG dan DEG diduga berasal dari cemaran bahan baku tambahan lain yang disebutkan di atas. ’’Sebagai tindak lanjutnya, industri terus melakukan evaluasi internal, pengujian kandungan cemaran bahan baku pada laboratorium independen, serta berkoordinasi untuk melakukan penarikan produk dari pasar. Hal ini sejalan dengan komitmen industri farmasi untuk memproduksi produk obat yang aman, berkhasiat, dan bermutu,” jelas Agus.

Ada 23 Merk Obat Sirup Masih Aman

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memastikan, 23 produk dari daftar 102 obat sirup yang dikonsumsi pasien gagal ginjal akut progresif atipikal (acute progresive acute kidney injury) aman setelah dilakukan pengujian. Dalam konferensi pers di Kantor BPOM di Jakarta, Minggu (23/10), Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengatakan, dari daftar tersebut 23 obat tidak menggunakan propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan/atau gliseron/gliserol yaitu bahan-bahan pelarut dalam obat sirop. “Dari 102 obat sirup itu ada 23 produk tidak menggunakan keempat pelarut tersebut, sehingga aman digunakan,” kata Penny.

Sementara itu, terdapat juga pengujian tujuh produk dari daftar 102 obat yang dirilis Kemenkes dan dinyatakan aman digunakan sepanjang sesuai aturan pakai. Penny mengatakan, tiga produk yang telah diuji dan dinyatakan mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Ketiga produk itu sebelumnya sudah dilaporkan BPOM telah mengandung cemaran EG dan DEG.

Obat yang telah dinyatakan aman oleh BPOM adalah Alerfed Syrup, Amoxan, Amoxicilinm, Azithromycin Syrup, Cazetin, Cefacef Syrup, Cefspan syrup, Cetirizin, Devosix drop 15 ml, Domperidon Sirup, Etamox syrup, Interzinc, Nytex, Omemox, Rhinos Neo drop, Vestein (Erdostein), Yusimox, Zinc Syrup, Zincpro syrup, Zibramax, Renalyte, Amoksisilin, dan Eritromisin.

Termorex yang Tercemar Hanya Batch Tertentu

Sebelumnya, BPOM mengumumkan obat Termorex produksi Konimex masuk dalam daftar obat yang melebihi ambang batas cemaran Etilen Glikol dan Dietilen Glikol (EG dan DEG). Kali ini, dari hasil pengujian, BPOM menegaskan, obat Termorex yang tercemar senyawa yang memicu terjadinya gangguan ginjal akut itu hanya terjadi pada satu batch atau satu produksi obat tertentu.

“Kami melakukan pengawasan pre-market dan post-market. Terkait kajian EG dan DEG yang mungkin ada. Kami terus menelusuri kandungan dr cemaran bahan lain yang digunakan sebagai pelarut tambahan, dimungkinkan ada proses senyawa sintetis sehingga muncul sebagai pencemar,” kata Penny.

Pelarut pada obat tersebut seperti Propilen Glikol, Polietilen Glikol, Sorbitol, dan/atau Gliserin/Gliserol. Jika digunakan pada obat, bisa memicu terjadinya cemaran EG dan DEG. Cemaran senyawa tersebut sebetulnya aman, asal tidak melebihi ambang batas aman.

“Termorex kami tambahkan perkembangan yang terbaru. Sebelumnya dinyatakan tidak aman. Kami tambahkan pengujian dari batch yang lain dari lokasi sampel yang berbeda dan batch yang berbeda. Ternyata batch lain aman,” kata Penny.

“Penarikan hanya untuk batch tertentu. Didapatkan di batch lainnya, dari batch yang berbeda. Hanya batch tertentu (yang tak aman),” ungkapnya.

69 Obat Masih Diuji

Penny menambahkan sejauh ini masih ada 69 obat sirop yang masih diteliti atau diuji. Penelitian dilakukan untuk mengecek ambang batas EG dan DEG aman atau tak melebihi ambang batas. “Masih ada 69 obat lagi saat ini dalam proses sampling dan pengujian. Secepatnya secara bertahap kami umumkan. Ini sudah bertambah yang aman untuk dikonsumsi,” katanya.

Pihaknya juga melakukan patroli siber atas maraknya penjualan obat sirop online di e-commerce. Sebanyak 4.922 link terdiri dari penjualan sirup obat tak aman dihapus atau blokir. (tyo/dee/mia/c17/oni)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/