Akhir-akhir ini, isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) mudah menyebar di masyarakat. Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), ini bukan hanya karena situasi politik yang menghangat saat Pilkada saja. Tapi, pemantik utamanya adalah ketimpangan sosial.
Rasio Gini yang menjadi ukuran ketimpangan pun sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Kepada tim Jawa Pos yang mewawancarainya Kamis (22/12) lalu, JK mengungkapkan agenda besar pemerintah untuk meredam ketimpangan yang kian menganga, terutama dalam bidang kepemilikan lahan. Berikut petikan wawancaranya.
Saat ini, isu SARA mudah merebak di media sosial dan kehidupan sehari-hari. Ada juga kecenderungan meningkatnya fundamentalisme dalam beragama. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Keadilan. (berhenti sejenak sambil menghela nafas). Saat ini, kami sedang pikirkan berbagai macam cara untuk bikin suatu kebijakan ekonomi yang baru untuk memperbaiki keadilan itu. Karena pincang sekali. Ada yang bilang satu persen (penduduk) menguasai 50 persen aset nasional. Di situ akar masalahnya. Dan kebetulan, perbedaan itu beda pendapatan, beda suku, berbeda agama lagi. Itu yang akan memperparah.
Bapak termasuk yang paling kencang menyoroti tingginya ketimpangan. Saat ini, Rasio Gini kita masih di angka 0,397. Bagaimana menurut Bapak?
(angka) Rasio Gini itu hanya (dihitung) berdasarkan konsumsi. Kalau berdasarkan pendapatan, lebih parah lagi, maka harus segera diperbaiki.
Apa saja instrumen untuk menekan ketimpangan ini? Apakah misalnya dengan alokasi APBN?
Bukan hanya APBN. Tapi juga kesempatan, semangat, kemauan harus didorong semua. APBN itu kan terbatas. Sekarang kita harus mendorong spirit masyarakat untuk berusaha. Juga menyangkut aturan-aturan di pusat dan di daerah, harus diperbaiki. Katakanlah, jangan seenaknya satu orang punya tanah ribuan hektare. Tapi, orang lain tidak punya apa-apa. Di Surabaya contohnya, paling yang punya ribuan hektare lahan hanya beberapa perusahaan saja.
Prinsip keadilan yang Bapak sampaikan tadi sepertinya akan membawa perubahan besar. Misalnya, dalam pembatasan kepemilikan tanah. Bagaimana kongkritnya?
Saat ini sedang dirumuskan antara lain dengan BPN (Badan Pertanahan Nasional). Bagaimana mengatur agar tidak terjadi masalah seperti itu. Satu orang menguasai ribuan hektare. Kemudian ada juga yang mengambil dari (lahan milik) desa.
Ini juga ada pengaruh Pilkada sebenarnya. Waktu Pilkada, orang (calon kepala daerah, Red) mencari sponsor. Begitu menang, maka (sponsornya) meminta konsesi-konsesi. Minta tanah, lahan, atau izin. Tanah mungkin dia kan bisa beli sendiri. Tapi juga izin penguasaan sampai sawah-sawah. Jadi harus ada aturan-aturan jelas. Tidak boleh (sawah milik desa) ini dijual. Harus pertahankan.
Apakah akan ada aturan berapa batasan luas kepemilikan lahan oleh seseorang?
Pokoknya sekarang lagi dirumuskanlah teman-teman kita. Bagaimana ini sebaiknya agar tidak terjadi ketimpangan dan agar adil. (Ketimpangan) ini bahaya untuk jangka panjang. Bukan hanya yang membeli, tapi juga yang menjual (lahan) juga harus menyadarinya.
Â