29 C
Medan
Sunday, October 20, 2024
spot_img

Gali Keterangan Tim Dokkes Polri, Komnas HAM Sudah Tahu Kapan Brigadir J Tewas

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mendapatkan informasi terkait waktu kematian Brigadir Yosua atau J dalam baku tembak yang terjadi di rumah Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.

“Salah satu yang terkonfirmasi dalam pertemuan dokter forensik adalah temuan yang kami temukan. Itu terkonfirmasi. Peristiwanya jadi lebih terang benderang, khususnya soal skema waktu kematian,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Senin (25/7).

Hal tersebut didapatkan Komnas HAM setelah menggali keterangan dari tim Dokkes Polri, kemarin. Komnas HAM meminta keterangan lengkap terkait kondisi tubuh jenazah sebelum hingga selesai autopsi. “Karena, bahasa lukanya itu menentukan kapan waktu meninggal, kami punya informasi yang rigid akibat tadi itu. Terus kami juga punya informasi lain soal karakter dasar kronologi ini, nyambung dengan ini kalau kita sesuaikan kami punya waktu yang semakin rigid kapan Brigadir J ini meninggal dan di mana meninggalnya,” jelas Anam.

Selain kondisi tubuh jenazah secara umum, Komnas HAM juga mengonfirmasi terkait karakteristik tiap luka di tubuh Brigadir J. “Kami juga ngecek karakter dan jenis luka, kami juga mendapatkan keterangan sangat komprehensif karakter dan jenis luka. Kami juga mengecek posisi luka itu dengan karakter sudut tembak kayak apa. Itu juga kami diberi keterangan sangat komprehensif. Termasuk misalnya kalau dalam publik ditanya kenapa kok ada beberapa luka di wajah, itu juga kami telusuri dengan sangat detail kami juga minta pembuktiannya kayak apa. Ada penilaian soal jerat pada kaki, kami juga cek soal itu,” urai dia.

Ia juga mengatakan, pendalaman terkait luka dinyatakan cukup dan tinggal menunggu proses ekshumasi. Mulai besok Komnas HAM akan melakukan penyelidikan kasus dari aspek lain seperti aspek siber dan digital forensik. “Soal luka berhenti di sini kecuali ada informasi yang lain, dan kami tunggu juga hasil ekshumasi. Mulai besok kami sudah mengembangkan agendanya kepada teman-teman lain, bisa siber, digital forensik, macam-macam,” jelas Anam.

 

Diancam Bunuh Sejak Juni

Sebelumnya, tim kuasa hukum keluarga almarhum Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, terus melacak bukti-bukti baru. Kemarin (24/7), mereka mengaku menemukan bukti kuat bahwa Brigadir Yosua adalah korban pembunuhan berencana. Bukan korban baku tembak seperti yang selama ini disampaikan Polri.

Temuan bukti baru itu disampaikan anggota tim kuasa hukum keluarga Yosua, Martin Lukas Simanjuntak. Menurut dia, pihaknya berhasil melacak jejak digital tentang adanya ancaman pembunuhan terhadap Brigadir Yosua pada 19 Juni lalu. Ancaman pembunuhan itu disebut muncul dari rekan Yosua sendiri. “Belum bisa disebutkan ancaman ini dari rekan apa, sesama polisi atau siapa,” ujarnya.

Yang jelas, ada kalimat bahwa Brigadir Yosua tidak boleh dekat-dekat atau naik ke atas. “Kalau dekat-dekat atau naik ke atas, dibunuh kau,” ujar Martin menirukan kalimat yang tertulis dalam jejak digital tersebut. Namun, dia enggan menjelaskan secara detail maksud kalimat itu.

Sejak mendapat ancaman dan intimidasi itu, Brigadir Yosua disebut menunjukkan perubahan sikap yang tidak menentu. Menurut Martin, Yosua merasa lingkungan kerjanya sudah tidak sehat. Tidak ada orang yang bisa dipercaya. “Dalam bukti petunjuk itu, Brigadir Yosua mengaku tidak lagi bisa berteman,” ujarnya.

Martin juga menyebutkan, pihaknya menemukan bukti lain bahwa pada 2 Juli atau 3 Juli, Brigadir Yosua tiba-tiba meminta maaf kepada keluarganya. Namun, belum jelas kenapa Yosua meminta maaf. “Pasti ada sesuatu hal,” terangnya. Apakah itu pertanda bahwa Yosua merasa nyawanya dalam bahaya? “Bisa jadi semacam itu,” katanya.

Yang jelas, nyawa Brigadir Yosua akhirnya benar-benar melayang pada Jumat, 8 Juli 2022. “Temuan ini semakin menguatkan bahwa tewasnya Brigadir Yosua itu karena pembunuhan berencana,” tegasnya.

Saat ini kasus penembakan Brigadir Yosua telah naik status menjadi penyidikan. Menurut dia, sesuai keterangan penyidik, sudah ada sebelas saksi yang diperiksa. “Berarti sudah ada saksi dan alat bukti,” paparnya.

Karena itu, seharusnya kini sudah ada penetapan tersangka dalam kasus tersebut. Apalagi, yang mengaku menembak Brigadir Yosua sudah diketahui, yaitu Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu. “Seharusnya sudah ada tersangkanya, dong,” tuturnya. Namun, hingga kemarin Bharada E masih menjadi saksi kunci.

Kamaruddin Simanjuntak, anggota lain tim kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua, mengatakan bahwa Bharada E seharusnya bukan saksi. Melainkan, tersangka dalam kasus penembakan Brigadir Yosua. “Salah satu di antara tersangka,” ujarnya.

Terkait status Bharada E tersebut, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo masih enggan berkomentar.

Martin menambahkan, kuasa hukum juga mempertanyakan penanganan kasus Brigadir Yosua di Polda Metro Jaya dan Bareskrim. Mereka mendapat informasi dari Bareskrim bahwa kasus di Polda Metro Jaya akan diambil alih.

Namun, hingga kemarin dua kasus dengan satu kejadian itu masih berdiri sendiri-sendiri. Dua kasus yang dimaksud itu adalah peristiwa baku tembak yang ditangani Polda Metro Jaya dan kasus pembunuhan berencana yang dilaporkan ke Bareskrim.

Dia menuturkan, pengambilalihan kasus tersebut penting karena pihaknya meragukan independensi Polda Metro Jaya dalam menangani kasus itu. “Sebab, ada kejadian pertemuan Kapolda Metro Jaya dengan Kadivpropam,” urainya. Dalam video yang beredar di media sosial beberapa waktu lalu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran memang mendatangi ruang kerja Kadivpropam (nonaktif) Irjen Ferdy Sambo. Dalam pertemuan itu, Fadil memeluk erat dan mencium kening Ferdy Sambo. Sedangkan Ferdy Sambo terlihat terisak dalam pelukan Fadil.

Pertemuan itu mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Sebab, Fadil adalah orang yang akan memeriksa Ferdy Sambo. Fadil beralasan bahwa pelukan itu hanya bukti empatinya sebagai kawan. Dia juga menegaskan bahwa pengusutan kasus penembakan Brigadir Yosua akan tetap profesional.

Sementara itu, pakar psikologi forensik Reza Indra Giri menjelaskan, seharusnya penyelidikan kasus penembakan Brigadir Yosua tidak terlalu mengandalkan keterangan saksi dan pelaku. Sebab, bila hanya itu yang diutamakan, perkembangan penyelidikan menjadi berisiko. “Sebab, keterangan saksi dan pelaku hanya mengandalkan ingatan,” terangnya. Padahal, ingatan seseorang mudah mengalami fragmentasi dan distorsi. Apalagi bila ada intervensi untuk membelokkan hasil penyelidikan. “Ingatan bisa rusak karena harus mengingat-ingat peristiwa yang tidak natural untuk disampaikan ulang,” jelasnya.

Dia mengatakan, saksi atau pelaku yang mengalami stres dan trauma bisa mengalami trauma sekunder. “Ini harus diperhatikan,” paparnya.

Pada bagian lain, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo memastikan bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menunjuk pelaksana harian untuk jabatan Karopaminal. Yakni, Brigjen Anggoro Sukartono. “Saat ini menjabat Karowabprof Divpropam Polri,” tuturnya. Penunjukan itu berdasar Surat Perintah Kapolri Nomor Sprin/2149/VII/KEP./ 2022 tertanggal 22 Juli 2022. Brigjen Anggoro Sukartono merupakan alumnus Akpol 1994, satu angkatan dengan Irjen Ferdy Sambo. (jpc/trt/adz)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mendapatkan informasi terkait waktu kematian Brigadir Yosua atau J dalam baku tembak yang terjadi di rumah Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo.

“Salah satu yang terkonfirmasi dalam pertemuan dokter forensik adalah temuan yang kami temukan. Itu terkonfirmasi. Peristiwanya jadi lebih terang benderang, khususnya soal skema waktu kematian,” kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Senin (25/7).

Hal tersebut didapatkan Komnas HAM setelah menggali keterangan dari tim Dokkes Polri, kemarin. Komnas HAM meminta keterangan lengkap terkait kondisi tubuh jenazah sebelum hingga selesai autopsi. “Karena, bahasa lukanya itu menentukan kapan waktu meninggal, kami punya informasi yang rigid akibat tadi itu. Terus kami juga punya informasi lain soal karakter dasar kronologi ini, nyambung dengan ini kalau kita sesuaikan kami punya waktu yang semakin rigid kapan Brigadir J ini meninggal dan di mana meninggalnya,” jelas Anam.

Selain kondisi tubuh jenazah secara umum, Komnas HAM juga mengonfirmasi terkait karakteristik tiap luka di tubuh Brigadir J. “Kami juga ngecek karakter dan jenis luka, kami juga mendapatkan keterangan sangat komprehensif karakter dan jenis luka. Kami juga mengecek posisi luka itu dengan karakter sudut tembak kayak apa. Itu juga kami diberi keterangan sangat komprehensif. Termasuk misalnya kalau dalam publik ditanya kenapa kok ada beberapa luka di wajah, itu juga kami telusuri dengan sangat detail kami juga minta pembuktiannya kayak apa. Ada penilaian soal jerat pada kaki, kami juga cek soal itu,” urai dia.

Ia juga mengatakan, pendalaman terkait luka dinyatakan cukup dan tinggal menunggu proses ekshumasi. Mulai besok Komnas HAM akan melakukan penyelidikan kasus dari aspek lain seperti aspek siber dan digital forensik. “Soal luka berhenti di sini kecuali ada informasi yang lain, dan kami tunggu juga hasil ekshumasi. Mulai besok kami sudah mengembangkan agendanya kepada teman-teman lain, bisa siber, digital forensik, macam-macam,” jelas Anam.

 

Diancam Bunuh Sejak Juni

Sebelumnya, tim kuasa hukum keluarga almarhum Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, terus melacak bukti-bukti baru. Kemarin (24/7), mereka mengaku menemukan bukti kuat bahwa Brigadir Yosua adalah korban pembunuhan berencana. Bukan korban baku tembak seperti yang selama ini disampaikan Polri.

Temuan bukti baru itu disampaikan anggota tim kuasa hukum keluarga Yosua, Martin Lukas Simanjuntak. Menurut dia, pihaknya berhasil melacak jejak digital tentang adanya ancaman pembunuhan terhadap Brigadir Yosua pada 19 Juni lalu. Ancaman pembunuhan itu disebut muncul dari rekan Yosua sendiri. “Belum bisa disebutkan ancaman ini dari rekan apa, sesama polisi atau siapa,” ujarnya.

Yang jelas, ada kalimat bahwa Brigadir Yosua tidak boleh dekat-dekat atau naik ke atas. “Kalau dekat-dekat atau naik ke atas, dibunuh kau,” ujar Martin menirukan kalimat yang tertulis dalam jejak digital tersebut. Namun, dia enggan menjelaskan secara detail maksud kalimat itu.

Sejak mendapat ancaman dan intimidasi itu, Brigadir Yosua disebut menunjukkan perubahan sikap yang tidak menentu. Menurut Martin, Yosua merasa lingkungan kerjanya sudah tidak sehat. Tidak ada orang yang bisa dipercaya. “Dalam bukti petunjuk itu, Brigadir Yosua mengaku tidak lagi bisa berteman,” ujarnya.

Martin juga menyebutkan, pihaknya menemukan bukti lain bahwa pada 2 Juli atau 3 Juli, Brigadir Yosua tiba-tiba meminta maaf kepada keluarganya. Namun, belum jelas kenapa Yosua meminta maaf. “Pasti ada sesuatu hal,” terangnya. Apakah itu pertanda bahwa Yosua merasa nyawanya dalam bahaya? “Bisa jadi semacam itu,” katanya.

Yang jelas, nyawa Brigadir Yosua akhirnya benar-benar melayang pada Jumat, 8 Juli 2022. “Temuan ini semakin menguatkan bahwa tewasnya Brigadir Yosua itu karena pembunuhan berencana,” tegasnya.

Saat ini kasus penembakan Brigadir Yosua telah naik status menjadi penyidikan. Menurut dia, sesuai keterangan penyidik, sudah ada sebelas saksi yang diperiksa. “Berarti sudah ada saksi dan alat bukti,” paparnya.

Karena itu, seharusnya kini sudah ada penetapan tersangka dalam kasus tersebut. Apalagi, yang mengaku menembak Brigadir Yosua sudah diketahui, yaitu Bharada E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu. “Seharusnya sudah ada tersangkanya, dong,” tuturnya. Namun, hingga kemarin Bharada E masih menjadi saksi kunci.

Kamaruddin Simanjuntak, anggota lain tim kuasa hukum keluarga Brigadir Yosua, mengatakan bahwa Bharada E seharusnya bukan saksi. Melainkan, tersangka dalam kasus penembakan Brigadir Yosua. “Salah satu di antara tersangka,” ujarnya.

Terkait status Bharada E tersebut, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo masih enggan berkomentar.

Martin menambahkan, kuasa hukum juga mempertanyakan penanganan kasus Brigadir Yosua di Polda Metro Jaya dan Bareskrim. Mereka mendapat informasi dari Bareskrim bahwa kasus di Polda Metro Jaya akan diambil alih.

Namun, hingga kemarin dua kasus dengan satu kejadian itu masih berdiri sendiri-sendiri. Dua kasus yang dimaksud itu adalah peristiwa baku tembak yang ditangani Polda Metro Jaya dan kasus pembunuhan berencana yang dilaporkan ke Bareskrim.

Dia menuturkan, pengambilalihan kasus tersebut penting karena pihaknya meragukan independensi Polda Metro Jaya dalam menangani kasus itu. “Sebab, ada kejadian pertemuan Kapolda Metro Jaya dengan Kadivpropam,” urainya. Dalam video yang beredar di media sosial beberapa waktu lalu, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran memang mendatangi ruang kerja Kadivpropam (nonaktif) Irjen Ferdy Sambo. Dalam pertemuan itu, Fadil memeluk erat dan mencium kening Ferdy Sambo. Sedangkan Ferdy Sambo terlihat terisak dalam pelukan Fadil.

Pertemuan itu mendapat sorotan dari berbagai kalangan. Sebab, Fadil adalah orang yang akan memeriksa Ferdy Sambo. Fadil beralasan bahwa pelukan itu hanya bukti empatinya sebagai kawan. Dia juga menegaskan bahwa pengusutan kasus penembakan Brigadir Yosua akan tetap profesional.

Sementara itu, pakar psikologi forensik Reza Indra Giri menjelaskan, seharusnya penyelidikan kasus penembakan Brigadir Yosua tidak terlalu mengandalkan keterangan saksi dan pelaku. Sebab, bila hanya itu yang diutamakan, perkembangan penyelidikan menjadi berisiko. “Sebab, keterangan saksi dan pelaku hanya mengandalkan ingatan,” terangnya. Padahal, ingatan seseorang mudah mengalami fragmentasi dan distorsi. Apalagi bila ada intervensi untuk membelokkan hasil penyelidikan. “Ingatan bisa rusak karena harus mengingat-ingat peristiwa yang tidak natural untuk disampaikan ulang,” jelasnya.

Dia mengatakan, saksi atau pelaku yang mengalami stres dan trauma bisa mengalami trauma sekunder. “Ini harus diperhatikan,” paparnya.

Pada bagian lain, Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo memastikan bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menunjuk pelaksana harian untuk jabatan Karopaminal. Yakni, Brigjen Anggoro Sukartono. “Saat ini menjabat Karowabprof Divpropam Polri,” tuturnya. Penunjukan itu berdasar Surat Perintah Kapolri Nomor Sprin/2149/VII/KEP./ 2022 tertanggal 22 Juli 2022. Brigjen Anggoro Sukartono merupakan alumnus Akpol 1994, satu angkatan dengan Irjen Ferdy Sambo. (jpc/trt/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru