JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi diklaim memberikan dampak positif pada perkembangan hukum di Indonesia. Pasalnya, jumlah kejahatan pada 2015 dan 2016 menurun drastis dengan presentase lebih dari 50 persen. Namun, bukan berarti tidak ada ancaman, narkotika, terorisme dan pungli masih membayangi.
Sesuai data Polri pada 2015 terdapat 373.636 kasus kejahatan. Pada 2016, hingga pertengahan Oktober ini baru ada 165.147 kasus kejahatan. Artinya, menjelang akhir tahun ini jumlah kejahatan turun hingga 208.489 kasus atau lebih dari 50 persen.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menjelaskan, penurunan angka kejahatan tersebut merupakan keberhasilan dari Kepolisian. ”Angka ini sangat signifikan,” paparnya.
Dengan penurunan angka kejahatan ini, maka reformasi hukum memang dirasakan sangat perlu. Harapannya, dengan perbaikan kinerja penegakan hukum, tentu kejahatan kian berkurang. ”Reformasi hukum sendiri yang beberapa bulan ini mulai digencarkan terus berjalan,” jelasnya.
Wiranto mengatakan, sesuai instruksi Presiden Jokowi, maka reformasi hukum dititikberatkan pada sejumlah masalah yang sangat dirasakan masyarakat. Maka, upaya sapu bersih pungli belakangan ini menjadi salah satu yang dilakukan.
”Pungli ini yang langsung jadi korban itu masyarakat. Bahkan, hampir semua orang pernah merasakan itu,” paparnya.
Tidak hanya pungli, ada sejumlah program reformasi hukum yang juga akan dijalankan. Misalnya, relokasi lapas dan perbaikan pelayanan dokumen, seperti SIM, STNK dan BPKB. ”Selain bersih dari pungli juga harus membuat terobosan agar mempermudah masyarakat,” ungkapnya.
Selain itu, dalam bidang hukum ini masih ada sejumlah ancaman dari persoalan terorisme dan narkotika. Wiranto menjelaskan, permasalahan akan ditangani dengan sangat serius. ”Narkotika dan terorisme ini masalah yang harus cepat ditanggapi,” paparnya.
Sementara Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Komjen Suhardi Alius menuturkan, rekrutmen anggota teroris memang terus berjalan. Hal tersebut dikarenakan biasanya paham radikal itu memapar anggota keluarga dari para anggota jaringan teror. Seperti, anaknya dan istrinya. ”Seperti yang terjadi pada Pelaku Bom Bali Imam Samudera. Anaknya Imam Samudera ternyata setelah dewasa juga berpaham radikal,” ujarnya.
Karena itu, deradikalisasi memang sangat diperlukan untuk mengantisipasi anggota keluarga dari orang yang berpaham radikal. Salah satu yang dilakukan dengan konter narasi. ”Kami memberikan pemahaman dan tafsir yang sebenarnya atas banyak ayat yang diterjemahkan seenaknya untuk membuat orang berpaham radikal,” tegasnya.
Bagian lain, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso mengatakan bahwa peredaran narkotika di Indonesia ini dikendalikan 72 sindikat. Sindikat itu terus berupaya meregenerasi pengguna narkotika. ”Maka, konsumen yang disasar itu makin muda,” terangnya.
Sasaran para sindikat itu bukan lagi remaja, melainkan sampai ke anak tingkat taman kanak-kanak. Hal tersebut terdeteksi dari berbagai jenis narkotika baru yang dibuat para sindikat tersebut. ”Berbagai jenis narkotika baru ini tampilannya dibuat sangat anak-anak. Ada yang mirip permen karet, perangko, dan sebagainya,” paparnya.