24 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Saudi Ganti Pancung Menjadi Tembak di Sel

Tujuh Vonis Mati WNI Dapat Ampunan

JAKARTA – Kasus pemancungan Ruyati binti Satubi bisa menjadi yang terakhir dialami TKI perempuan yang terancaman hukuman mati di Arab Saudi. Sebab Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlidungan TKI (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengatakan, kerajaan Saudi merubah eksekusi mati dari pancung ke tembak di sel penjara untuk terdakwa perempuan.

Pernyataan Jumhur itu diutarakan ketika dia menjemput kepulangan Bayanah (bukan Buyanah) binti Banhawi, di bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang kemarin (28/12). Bayanah sendiri, sebelumnya sudah divonis hukuman mati karena dilaporkan membunuh anak majikannya yang berumur empat tahun. Bayanah berhasil dibebaskan setelah mendapatkan pemaafan keluarga korban.

Jumhur mengatakan, perubahan sistem eksekusi mati untuk terdakwa perempuan di Saudi itu tentu lebih baik. Dia menjelaskan, dengan perubahan ini maka harga diri terdakwa perempuan bisa terjaga.

Meskipun begitu, tidak mengurangi nilai dalam sistem hukumam qisas (nyawa dibalas dengan nyawa). “Sebelumnya kan eksekusi di lakukan di lapangan terbuka,” katanya. Namun, eksekusi mati dengan cara ditembak di dalam sel penjara ini tidak berlu untuk terdakwa laki-laki. Jumhur juga berpesan, alangkah baiknya jika Presiden SBY tetap mempertahankan posisi satgas TKI.

Beberapa saat kemudian, Bayanah mendarat dan langsung disambut Banhawi (ayah), Indri Irawan (anak), dan Aswati (ibu). Bayanah langsung dikerubung keluarganya. Tangis haru pecah dalam momen pertemuan ini.
Bayanah sendiri di Saudi lebih banyak menghabiskan waktunya di balik jeruji besi ketimbang jadi pembantu. Dia mengatakan, kejadian yang berujung tuduhan pembunuhan itu terjadi sekitar tiga bulan sejak dia bekerja pada akhir 2005 silam. Sejak 2006 hingga 2011, Bayanah menghabiskan waktunya di penjara. “Saya kapok, tidak pergi lagi (bekerja, Red) ke luar negeri,” ucapnya.

Dia menjelaskan, peran satgas penanganan TKI yang terancam hukuman mati cukup membantu. Diantaranya mengupayakan permohonan maaf dari keluarga korban. Selain itu, pengadilan setempat juga menyatakan meninggalnya anak majikan Bayanah bukan atas dasar kesengajaan.

Bayanah menceritakan, saat itu dia sedang memandikan anak majikannya. Anak ini tidak bisa mandi sendiri karena cacat di bagian kaki. “Saya tidak sengaja waktu itu kran air panas terbuka. Terus mengenai tubuh majikan saya,” tutur Bayanah. Dia berharap, seluruh TKI yang terancam maupun yang sudah divonis mati bisa dibebaskan.

Banwahi yang mengenakan songkok hitam tak kalah seru ketika menangis. Dia terlihat cukup erat memeluk anak pertamanya itu. “Saya tahu kabar Bayanah terancam hukuman mati dari Darsem di tv,” ucapnya.  Banhawi langsung meminta bantuan pemerintah.

Selama bekerja anaknya tak pernah mengirim uang. Setelah tahu Bayanah dihukum dan terancam hukuman mati, dia tak mempersoalkan gaji. “Saya ingin Bayanah selamat,” ujarnya.

“Keluarga di rumah inginnya anak saya bebas seperti Darsem. Alhamudulillah sekali bisa pulang dengan selamat,” tutur Banhawi.

Sementara itu, Ketua Satgas penaganan TKI yang terancam hukuman mati Maftuh Basyuni yang ikut prosesi serah terima Bayanah memaparkan perkembangan kinerja satgas. “Sebelumnya, pembebasan Bayanan dan rekan-rekannya ini adalah hadiah tahun baru dari satgas dan pemerintah,” ucap mantan Menteri Agama itu.
Maftuh mengatakan, saat ini ada tujuh TKI di Saudi yang berhasil mendapatkan pemaafan dari keluarga korban. Selain Bayanah, ada Jamilah binti Abidin Rofi?i alias Juariyah binti Idin Ropi?i (Cianjur), Neneng Sunengsih binti Mamih (Sukabumi), dan Emi binti Katma Mumu (Sukabumi). Selain itu ada Sulaimah, Ahmad Fauzi, dan Hafidz bin Kholil Sulam, ketiganya dari Madura.

Selanjutnya, Maftuh mengatakan hukuman qisas masih belum dicabut untuk Tuti Tursilawati (Majalengka, Jawa Barat), Siti Zaenab binti Duhri Rupa (Bangkalan, Jawa Timur), dan Satinah binti Jumaidi (Semarang, Jawa Tengah).

Untuk kasus yang menimpa Tuti, Maftuh mengatakan upaya meminta permohonan maaf masih alot. Sedangkan upaya permaafan Satinah sudah keluarga tetapi terkendala permintaan diyat dari keluarga korban sekitar Rp 25 miliar. Sementara untuk permohonan maaf atas kasus Siti Zaenab, baru bisa dilakukan sekitar empat tahun lagi setelah anak korban sebagai satu-satunya ahli waris sudah dewasa. “Intinya satgas terus bekerja keras,” tandas Maftuh. (wan/jpnn)

Tujuh Vonis Mati WNI Dapat Ampunan

JAKARTA – Kasus pemancungan Ruyati binti Satubi bisa menjadi yang terakhir dialami TKI perempuan yang terancaman hukuman mati di Arab Saudi. Sebab Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlidungan TKI (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengatakan, kerajaan Saudi merubah eksekusi mati dari pancung ke tembak di sel penjara untuk terdakwa perempuan.

Pernyataan Jumhur itu diutarakan ketika dia menjemput kepulangan Bayanah (bukan Buyanah) binti Banhawi, di bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Tangerang kemarin (28/12). Bayanah sendiri, sebelumnya sudah divonis hukuman mati karena dilaporkan membunuh anak majikannya yang berumur empat tahun. Bayanah berhasil dibebaskan setelah mendapatkan pemaafan keluarga korban.

Jumhur mengatakan, perubahan sistem eksekusi mati untuk terdakwa perempuan di Saudi itu tentu lebih baik. Dia menjelaskan, dengan perubahan ini maka harga diri terdakwa perempuan bisa terjaga.

Meskipun begitu, tidak mengurangi nilai dalam sistem hukumam qisas (nyawa dibalas dengan nyawa). “Sebelumnya kan eksekusi di lakukan di lapangan terbuka,” katanya. Namun, eksekusi mati dengan cara ditembak di dalam sel penjara ini tidak berlu untuk terdakwa laki-laki. Jumhur juga berpesan, alangkah baiknya jika Presiden SBY tetap mempertahankan posisi satgas TKI.

Beberapa saat kemudian, Bayanah mendarat dan langsung disambut Banhawi (ayah), Indri Irawan (anak), dan Aswati (ibu). Bayanah langsung dikerubung keluarganya. Tangis haru pecah dalam momen pertemuan ini.
Bayanah sendiri di Saudi lebih banyak menghabiskan waktunya di balik jeruji besi ketimbang jadi pembantu. Dia mengatakan, kejadian yang berujung tuduhan pembunuhan itu terjadi sekitar tiga bulan sejak dia bekerja pada akhir 2005 silam. Sejak 2006 hingga 2011, Bayanah menghabiskan waktunya di penjara. “Saya kapok, tidak pergi lagi (bekerja, Red) ke luar negeri,” ucapnya.

Dia menjelaskan, peran satgas penanganan TKI yang terancam hukuman mati cukup membantu. Diantaranya mengupayakan permohonan maaf dari keluarga korban. Selain itu, pengadilan setempat juga menyatakan meninggalnya anak majikan Bayanah bukan atas dasar kesengajaan.

Bayanah menceritakan, saat itu dia sedang memandikan anak majikannya. Anak ini tidak bisa mandi sendiri karena cacat di bagian kaki. “Saya tidak sengaja waktu itu kran air panas terbuka. Terus mengenai tubuh majikan saya,” tutur Bayanah. Dia berharap, seluruh TKI yang terancam maupun yang sudah divonis mati bisa dibebaskan.

Banwahi yang mengenakan songkok hitam tak kalah seru ketika menangis. Dia terlihat cukup erat memeluk anak pertamanya itu. “Saya tahu kabar Bayanah terancam hukuman mati dari Darsem di tv,” ucapnya.  Banhawi langsung meminta bantuan pemerintah.

Selama bekerja anaknya tak pernah mengirim uang. Setelah tahu Bayanah dihukum dan terancam hukuman mati, dia tak mempersoalkan gaji. “Saya ingin Bayanah selamat,” ujarnya.

“Keluarga di rumah inginnya anak saya bebas seperti Darsem. Alhamudulillah sekali bisa pulang dengan selamat,” tutur Banhawi.

Sementara itu, Ketua Satgas penaganan TKI yang terancam hukuman mati Maftuh Basyuni yang ikut prosesi serah terima Bayanah memaparkan perkembangan kinerja satgas. “Sebelumnya, pembebasan Bayanan dan rekan-rekannya ini adalah hadiah tahun baru dari satgas dan pemerintah,” ucap mantan Menteri Agama itu.
Maftuh mengatakan, saat ini ada tujuh TKI di Saudi yang berhasil mendapatkan pemaafan dari keluarga korban. Selain Bayanah, ada Jamilah binti Abidin Rofi?i alias Juariyah binti Idin Ropi?i (Cianjur), Neneng Sunengsih binti Mamih (Sukabumi), dan Emi binti Katma Mumu (Sukabumi). Selain itu ada Sulaimah, Ahmad Fauzi, dan Hafidz bin Kholil Sulam, ketiganya dari Madura.

Selanjutnya, Maftuh mengatakan hukuman qisas masih belum dicabut untuk Tuti Tursilawati (Majalengka, Jawa Barat), Siti Zaenab binti Duhri Rupa (Bangkalan, Jawa Timur), dan Satinah binti Jumaidi (Semarang, Jawa Tengah).

Untuk kasus yang menimpa Tuti, Maftuh mengatakan upaya meminta permohonan maaf masih alot. Sedangkan upaya permaafan Satinah sudah keluarga tetapi terkendala permintaan diyat dari keluarga korban sekitar Rp 25 miliar. Sementara untuk permohonan maaf atas kasus Siti Zaenab, baru bisa dilakukan sekitar empat tahun lagi setelah anak korban sebagai satu-satunya ahli waris sudah dewasa. “Intinya satgas terus bekerja keras,” tandas Maftuh. (wan/jpnn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/