JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Kebijakan pemerintah membuka pintu bagi kampus asing membuka cabang atau kelas di Indonesia, mendapat penolakan dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi).
Ketua Umum Aptisi Budi Djatmiko mengatakan dilihat dari niatnya, sudah ada yang tidak pas.
’’Tujuannya untuk meningkatkan mutu. Kalau seperti itu bukan caranya,’’ katanya saat dihubungi, Senin (29/1).
Budi menjelaskan jika tujuannya untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi nasional, tidak perlu sampai mengizinkan kampus asing membuka kelas di Indonesia.
Cukup mengambil sistem pendidikan atau kurikulum mereka untuk diadopsi. Kemudian juga bisa mengundang dosen-dosen atau ahli dari kampus ternama luar negeri untuk menjadi dosen tamu di Indonesia.
Dia menegaskan, tidak benar bahwa keberadaan kampus asing itu tidak menggerus atau mematikan PTS lokal.
Budi mengatakan pada tahap awal, kampus-kampus asing ini bakal merebut pasar calon mahasiswa dari keluarga menengah ke atas.
Kemudian, PTS yang biasanya menyasar calon mahasiswa dari keluarga menengah ke atas, akan menurunkan ’’standar pasarnya
Mereka mulai sedikit menurunkan biaya kuliahnya supaya bisa menyasar calon mahasiswa dari kelas ekonomi menengah.
Berikutnya, kampus swasta yang biasanya menyasar calon mahasiswa dari kelas ekonomi menengah, menurunkan biayanya untuk menyasar kelas ekonomi menengah ke bawah.
Ujungnya, PTS yang yang paling bawah kesulitan mendapatkan mahasiswa. ’’Akhirnya (PTS, red) yang bawah mati,’’ tegasnya.
Sebelum memberikan izin kampus asing membuka kelas di Indonesia, Budi berharap pemerintah mengaca terlebih dahulu. ’’Sudahkan memberikan yang terbaik buat PTS? Belum,’’ tuturnya.
Budi menyayangkan kenapa Kemenristekdikti tidak mengajak bicara terlebih dahulu Aptisi terkait akses untuk kampus asing itu. Apalagi nantinya kampus asing harus bekerjasama dengan kampus swasta nasional.
Budi menjelaskan kampus asing diizinkan masuk ke Indonesia ketika angka partisipasi pendidikan tinggi sudah di angka 70 persen atau lebih. Layaknya di Malaysia atau Singapura.
Sedangkan untuk Indonesia saat ini, angka partisipasi pendidikan tinggi masih 29 persen sampai 30 persen.
Dia membantah jika minimnya angka partisipasi itu disebabkan karena akses atau bangku kuliah yang tersedia sedikit. ’’Ada 4.000 lebih kampus di Indonesia masak kurang,’’ jelasnya.