23.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

TKI Dipancung di Arab Saudi

JAKARTA- Seorang TKI bernama Ruyati binti Satubi (54) meregang nyawa di tangan algojo pemerintah Arab Saudi Sabtu lalu (18/6). Ruyati dijatuhi hukuman pancung setelah ia divonis bersalah membunuh Khairiya Hamid binti Mijlid majikannya.

Ironisnya, hukuman pancung itu dilakukan hanya empat hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato tentang perlindungan pemerintah terhadap TKI di luar negeri, di sidang ILO (International Labour Organization) ke-100, 14 Juni lalu. Dalam pidatonya SBY bertutur tentang perlindungan TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Kasus pembunuhan yang akhirnya menjerat Ruyati sebagai tervonis itu dimulai pada 10 Januari 2010. Ruyati, dituduh membunuh majikannya dengan menggunakan sebilah pisau dapur. Persidangan perdana kasus pembunuhan tersebut digelar pada Mei 2010. Selanjutnya, sidang pembacaan vonis digelar pada Mei 2011.

Hakim pengadilan setempat menjatuhkan hukuman qisas kepada Ruyati sesuai dengan kejahatan yang telah diperbuat. Ruyati dijatuhi vonis hukuman mati karena dia telah membunuh. Sebenarnya, Ruyati bisa mendapatkan pengampunan.

Syaratnya, ia memperoleh ampunan dari keluarga yang telah ia bunuh. Sayang, hingga pembacaan vonis, pihak keluarga belum mau memafkan Ruyati.

Ruyati sebelumnya pernah bekerja di Arab Saudi sebanyak dua kali. Pada September 2008 lalu, dia berangkat lagi ke Arab Saudi menggunakan jasa Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) PT Dana Graha Utama
Sejatinya, pada waktu itu secara syarat administrasi Ruyati sudah tidak bisa bekerja sebagai TKI. Tapi, oleh pihak PPTKIS, keterangan umur dalam paspor Ruyati dimudakan sembilan tahun. Sejatinya ia lahir pada 7 Juli 1957 kemudian dirubah menjadi 12 Juli 1968.

Dalam laporannya ke Migrant Care, Een Nuraeni, anak sulung Ruyati, mengatakan jika pada awal-awal bekerja ibunya tidak pernah mengeluh. Gaji sering dikirim setelah dirapel beberapa bulan.
Tapi akhirnya muncul keluhan jika pembayaran gaji kerap telat hingga tujuh bulan. “Kalaupun mau bayar gaji, harus direbut dulu,” aku perempuan 36 tahun itu.

Selain itu, Een juga mengatakan ibunya kerap dipukuli majikannya. Sejak penghujung Desember 2009, komunikasi Ruyati dengan keluarga di Bekasi terputus. Kabar Ruyati tersangkut pidana pembunuhan dan terancam hukuman pancung sampai juga ke keluarga. Pihak keluarga diwakili Een melapor ke pemirintah. Mulai dari Kementerian Luar Negeri hingga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dia juga melapor kasus ini ke Migrant Care.
Een mengatakan mendapatkan kabar kematian ibunya akibat divonis pancung kemarin (19/6). “Kabar itu resmi, diberitahukan Kementerian Luar Negeri,” tandasnya.

Een mengatakan, pihak keluarga berharap jenazah Ruyati bisa dimakamkan di kampung halaman. Untuk proses ini, Een menyerahkan ke Migrant Care. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengaku cukup terpukul dengan eksekusi yang dijatuhkan kepada Ruyati. Dia menilai, kasus ini merupakan keteledoran diplomasi antara pemerintah RI dengan Arab Saudi. “Keteledoran ini harus diusut tuntas,” tandasnya.

Kasus yang dialami Ruyati menodai pidato Presiden SBY di sidang ILO (International Labour Organization) ke-100 (14/6). Anis menuturkan, saat itu, dalam pidatonya SBY bertutur tentang perlindungan TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Rekaman Migrant Care, isi pidato itu diantaranya, Presiden SBY menyatakan bahwa di Indonesia mekanisme perlindungan teradap TKI yang bekerja sebagai PRT sudah berjalan. Bahkan, sudah tersedia institusi lengkap dengan regulasinya. “Tentu pidato ini saat itu menyejukkan dan menjanjikan,” paparnya.

Anis menilai pidato SBY terkesan bualan. “Kasus ini semakin menunjukkan diplomasi luar negeri Indonesia tumpul,” ucap Anis.

Kepala Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat menilai kasus yang menimpa Ruyati ini lebih cenderung persoalan pidana. “Dibanding perselisihan perburuhan,” tandasnya. Meskipun ia tidak menampik jika Ruyati kerap dianiaya majikannya. Perlakuan itu, diduga menjadi motif Ruyati membunuh majikannya.

Jumhur juga meminta masyarakat supaya tidak mengkaitkan kasus ini kepada pidato Presiden SBY di Sidang ILO. Sebab, dalam masalah ketenagakerjaan pemerintah benar telah melakukan perbaikan. “Termasuk juga di Arab Saudi,” paparnya.

Perbaikan tersebut meliputan proses perekrutan, pelatihan, hingga penempatan. Dia juga mengatakan, pihak RI dan Arab Saudi akan meneken MoU perlindungan TKI tahun ini. Tapi, untuk sementara ia belum bisa menjabarkan poin-poin yang bakal diteken dalam MoU tersebut.

Jumhur juga tidak mau disebut jika pihaknya tidak mengadakan perlidungan dan pendampingan hukum terhadap kasus yang menimpa Ruyati. Sebelum dieksekusi, Konsulat Jendral RI di Jeddah telah berupaya keras agar Ruyati tidak dihukum mati. Caranya, dengan meminta bantuan Lajnatul Afwu atau lembaga pemaafan untuk membebaskan Ruyati dari ancaman hukuman mati.

Sayang, Lajnatul Afwu tidak berhasil mendesak keluarga korban majikan Ruyati untuk mengeluarkan pernyataan pemberian maaf. “Keluarga korban bersikeras tetap tidak mau memaafkan,” papar Jumhur.

Di sisi lain. permintaan pihak keluarga untuk mengupayakan pemulangan jenazah Ruyati ke tanah air, sepertinya bakal menemui dinding tebal. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (WNI dan BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Tatang Budie Utama Razak menjelaskan permintaan tersebut terbentur aturan hukum yang berlaku di Arab Saudi.

Pada kasus yang menimpa Ruyati ini, Tatang mengatakan jika pemerintah Arab Saudi sudah menegaskan jenazah warga asing yang divonis hukuman mati harus dikubur di Arab Saudi. “Kondisi memang seperti ini. Langsung dimakamkan,” tutur Tatang.

Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mendesak Pemerintah menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja sektor informal. “Pemerintah harus membenahi persoalan TKI di sektor hulu maupun hilir,” kata Mahfidz dalam pesan singkatnya.

Mahfudz menyatakan, dua negara penyerap TKI terbesar, Malaysia dan Arab Saudi, selama ini tidak mau membuat nota kesepakatan G to G atau antar pemerintah. Kasus tenaga kerja yang dihukum pancung ini menggambarkan kompleksitas permasalahan terkait tenaga kerja Indonesia. “Seharusnya jika tidak ada kesepakatan G to G, pengiriman TKI dihentikan,” tegasnya.

Persoalan yang menonjol di sisi hilir adalah diplomasi dan perlindungan TKI yang masih lemah. Sementara di sisi hulu, ada permasalahan pada lemahnya sistem rekrutmen dan penempatan. Lembaga pemerintah terkait selama ini tidak pernah menjadikan isu tersebut sebagai agenda utama. “Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TKI, dan Kementerian Luar Negeri, harus dievaluasi,” ujar Mahfudz. (wan/bay/jpnn)

TKI Dipancung di Arab Saudi

Nama TKI    : Ruyati binti Satubi (54 tahun)
Alamat    : Kampung Serengseng Jaya RT 01 RW 01 Desa Sakadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi.
Berangkat    : September 2008 melalui Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) PT Dasa Graha Utama, Jalan Persatuan Guru, Gambir, Jakarta Utara. Dia berangkat setelah data kelahiran paspor dirubah. Dari 7 Juli 1957 diganti menjadi 12 Juli 1968.

Kronologi Hukuman Pancung

31 Desember 2009:
Terakhir kali Ruyati menghubungi keluarga di Bekasi dengan menggunakan nomor HP 00996656227696. Kepada keluarga dia mengeluh majikannya susah mencairkan gaji. Gaji tujuh bulan sempat menunggak. Selain itu juga keluhan sering dipukuli majikannya yang bernama Khairiya Hamid binti Mijlid.

10 Januari 2010
Ruyati menjadi tersangka kasus pembunuhan. Dia dituduh membunuh Khairiya Hamid binti Mijlid dengan pisau dapur.

Mei 2010
Sidang perdana kasus pembunuhan dengan terdakwa Ruyati. Dia terancam hukuman qisas atau hukumam sesuai dengan yang diperbuat. Karena Ruyati tersandung pembunuhan, maka dia diancam hukuman dibunuh.

Maret 2011
Migrant Care melaporkan kasus yang dialami Ruyati dan beberapa TKI lainnya yang terancam hukuman mati kepada pemerintah Indonesia.

Mei 2011
Sidang Ruyati kembali digelar dengan agenda vonis. Hakim menjatuhkan vonis Ruyati dengan hukuman di pancung. Hukuman itu tidak berubah karena pihak keluarga korban tidak mau memaafkan Ruyati.

Sabtu 18 Juni 2011
Ruyati dieksekusi oleh algojo di Kota Makkah. Pemerintah setempat berencana langsung menguburkan jenazah Ruyati di Arab Saudi.

Minggu 10 Juni 2011
Keluarga yang diwakili anak sulung Ruyati yang bernama Een Nuraeni (36) memberi kuasa kepada Migrant Care untuk memulangkan jenazah Ruyati.

Sumber: Diolah dari Migrant Care

JAKARTA- Seorang TKI bernama Ruyati binti Satubi (54) meregang nyawa di tangan algojo pemerintah Arab Saudi Sabtu lalu (18/6). Ruyati dijatuhi hukuman pancung setelah ia divonis bersalah membunuh Khairiya Hamid binti Mijlid majikannya.

Ironisnya, hukuman pancung itu dilakukan hanya empat hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato tentang perlindungan pemerintah terhadap TKI di luar negeri, di sidang ILO (International Labour Organization) ke-100, 14 Juni lalu. Dalam pidatonya SBY bertutur tentang perlindungan TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Kasus pembunuhan yang akhirnya menjerat Ruyati sebagai tervonis itu dimulai pada 10 Januari 2010. Ruyati, dituduh membunuh majikannya dengan menggunakan sebilah pisau dapur. Persidangan perdana kasus pembunuhan tersebut digelar pada Mei 2010. Selanjutnya, sidang pembacaan vonis digelar pada Mei 2011.

Hakim pengadilan setempat menjatuhkan hukuman qisas kepada Ruyati sesuai dengan kejahatan yang telah diperbuat. Ruyati dijatuhi vonis hukuman mati karena dia telah membunuh. Sebenarnya, Ruyati bisa mendapatkan pengampunan.

Syaratnya, ia memperoleh ampunan dari keluarga yang telah ia bunuh. Sayang, hingga pembacaan vonis, pihak keluarga belum mau memafkan Ruyati.

Ruyati sebelumnya pernah bekerja di Arab Saudi sebanyak dua kali. Pada September 2008 lalu, dia berangkat lagi ke Arab Saudi menggunakan jasa Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) PT Dana Graha Utama
Sejatinya, pada waktu itu secara syarat administrasi Ruyati sudah tidak bisa bekerja sebagai TKI. Tapi, oleh pihak PPTKIS, keterangan umur dalam paspor Ruyati dimudakan sembilan tahun. Sejatinya ia lahir pada 7 Juli 1957 kemudian dirubah menjadi 12 Juli 1968.

Dalam laporannya ke Migrant Care, Een Nuraeni, anak sulung Ruyati, mengatakan jika pada awal-awal bekerja ibunya tidak pernah mengeluh. Gaji sering dikirim setelah dirapel beberapa bulan.
Tapi akhirnya muncul keluhan jika pembayaran gaji kerap telat hingga tujuh bulan. “Kalaupun mau bayar gaji, harus direbut dulu,” aku perempuan 36 tahun itu.

Selain itu, Een juga mengatakan ibunya kerap dipukuli majikannya. Sejak penghujung Desember 2009, komunikasi Ruyati dengan keluarga di Bekasi terputus. Kabar Ruyati tersangkut pidana pembunuhan dan terancam hukuman pancung sampai juga ke keluarga. Pihak keluarga diwakili Een melapor ke pemirintah. Mulai dari Kementerian Luar Negeri hingga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dia juga melapor kasus ini ke Migrant Care.
Een mengatakan mendapatkan kabar kematian ibunya akibat divonis pancung kemarin (19/6). “Kabar itu resmi, diberitahukan Kementerian Luar Negeri,” tandasnya.

Een mengatakan, pihak keluarga berharap jenazah Ruyati bisa dimakamkan di kampung halaman. Untuk proses ini, Een menyerahkan ke Migrant Care. Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengaku cukup terpukul dengan eksekusi yang dijatuhkan kepada Ruyati. Dia menilai, kasus ini merupakan keteledoran diplomasi antara pemerintah RI dengan Arab Saudi. “Keteledoran ini harus diusut tuntas,” tandasnya.

Kasus yang dialami Ruyati menodai pidato Presiden SBY di sidang ILO (International Labour Organization) ke-100 (14/6). Anis menuturkan, saat itu, dalam pidatonya SBY bertutur tentang perlindungan TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Rekaman Migrant Care, isi pidato itu diantaranya, Presiden SBY menyatakan bahwa di Indonesia mekanisme perlindungan teradap TKI yang bekerja sebagai PRT sudah berjalan. Bahkan, sudah tersedia institusi lengkap dengan regulasinya. “Tentu pidato ini saat itu menyejukkan dan menjanjikan,” paparnya.

Anis menilai pidato SBY terkesan bualan. “Kasus ini semakin menunjukkan diplomasi luar negeri Indonesia tumpul,” ucap Anis.

Kepala Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat menilai kasus yang menimpa Ruyati ini lebih cenderung persoalan pidana. “Dibanding perselisihan perburuhan,” tandasnya. Meskipun ia tidak menampik jika Ruyati kerap dianiaya majikannya. Perlakuan itu, diduga menjadi motif Ruyati membunuh majikannya.

Jumhur juga meminta masyarakat supaya tidak mengkaitkan kasus ini kepada pidato Presiden SBY di Sidang ILO. Sebab, dalam masalah ketenagakerjaan pemerintah benar telah melakukan perbaikan. “Termasuk juga di Arab Saudi,” paparnya.

Perbaikan tersebut meliputan proses perekrutan, pelatihan, hingga penempatan. Dia juga mengatakan, pihak RI dan Arab Saudi akan meneken MoU perlindungan TKI tahun ini. Tapi, untuk sementara ia belum bisa menjabarkan poin-poin yang bakal diteken dalam MoU tersebut.

Jumhur juga tidak mau disebut jika pihaknya tidak mengadakan perlidungan dan pendampingan hukum terhadap kasus yang menimpa Ruyati. Sebelum dieksekusi, Konsulat Jendral RI di Jeddah telah berupaya keras agar Ruyati tidak dihukum mati. Caranya, dengan meminta bantuan Lajnatul Afwu atau lembaga pemaafan untuk membebaskan Ruyati dari ancaman hukuman mati.

Sayang, Lajnatul Afwu tidak berhasil mendesak keluarga korban majikan Ruyati untuk mengeluarkan pernyataan pemberian maaf. “Keluarga korban bersikeras tetap tidak mau memaafkan,” papar Jumhur.

Di sisi lain. permintaan pihak keluarga untuk mengupayakan pemulangan jenazah Ruyati ke tanah air, sepertinya bakal menemui dinding tebal. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (WNI dan BHI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Tatang Budie Utama Razak menjelaskan permintaan tersebut terbentur aturan hukum yang berlaku di Arab Saudi.

Pada kasus yang menimpa Ruyati ini, Tatang mengatakan jika pemerintah Arab Saudi sudah menegaskan jenazah warga asing yang divonis hukuman mati harus dikubur di Arab Saudi. “Kondisi memang seperti ini. Langsung dimakamkan,” tutur Tatang.

Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mendesak Pemerintah menghentikan sementara pengiriman tenaga kerja sektor informal. “Pemerintah harus membenahi persoalan TKI di sektor hulu maupun hilir,” kata Mahfidz dalam pesan singkatnya.

Mahfudz menyatakan, dua negara penyerap TKI terbesar, Malaysia dan Arab Saudi, selama ini tidak mau membuat nota kesepakatan G to G atau antar pemerintah. Kasus tenaga kerja yang dihukum pancung ini menggambarkan kompleksitas permasalahan terkait tenaga kerja Indonesia. “Seharusnya jika tidak ada kesepakatan G to G, pengiriman TKI dihentikan,” tegasnya.

Persoalan yang menonjol di sisi hilir adalah diplomasi dan perlindungan TKI yang masih lemah. Sementara di sisi hulu, ada permasalahan pada lemahnya sistem rekrutmen dan penempatan. Lembaga pemerintah terkait selama ini tidak pernah menjadikan isu tersebut sebagai agenda utama. “Kementerian Tenaga Kerja, BNP2TKI, dan Kementerian Luar Negeri, harus dievaluasi,” ujar Mahfudz. (wan/bay/jpnn)

TKI Dipancung di Arab Saudi

Nama TKI    : Ruyati binti Satubi (54 tahun)
Alamat    : Kampung Serengseng Jaya RT 01 RW 01 Desa Sakadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi.
Berangkat    : September 2008 melalui Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) PT Dasa Graha Utama, Jalan Persatuan Guru, Gambir, Jakarta Utara. Dia berangkat setelah data kelahiran paspor dirubah. Dari 7 Juli 1957 diganti menjadi 12 Juli 1968.

Kronologi Hukuman Pancung

31 Desember 2009:
Terakhir kali Ruyati menghubungi keluarga di Bekasi dengan menggunakan nomor HP 00996656227696. Kepada keluarga dia mengeluh majikannya susah mencairkan gaji. Gaji tujuh bulan sempat menunggak. Selain itu juga keluhan sering dipukuli majikannya yang bernama Khairiya Hamid binti Mijlid.

10 Januari 2010
Ruyati menjadi tersangka kasus pembunuhan. Dia dituduh membunuh Khairiya Hamid binti Mijlid dengan pisau dapur.

Mei 2010
Sidang perdana kasus pembunuhan dengan terdakwa Ruyati. Dia terancam hukuman qisas atau hukumam sesuai dengan yang diperbuat. Karena Ruyati tersandung pembunuhan, maka dia diancam hukuman dibunuh.

Maret 2011
Migrant Care melaporkan kasus yang dialami Ruyati dan beberapa TKI lainnya yang terancam hukuman mati kepada pemerintah Indonesia.

Mei 2011
Sidang Ruyati kembali digelar dengan agenda vonis. Hakim menjatuhkan vonis Ruyati dengan hukuman di pancung. Hukuman itu tidak berubah karena pihak keluarga korban tidak mau memaafkan Ruyati.

Sabtu 18 Juni 2011
Ruyati dieksekusi oleh algojo di Kota Makkah. Pemerintah setempat berencana langsung menguburkan jenazah Ruyati di Arab Saudi.

Minggu 10 Juni 2011
Keluarga yang diwakili anak sulung Ruyati yang bernama Een Nuraeni (36) memberi kuasa kepada Migrant Care untuk memulangkan jenazah Ruyati.

Sumber: Diolah dari Migrant Care

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/