Tapi, bukan bayaran dan durasi tersebut yang membuat pengalaman pertama itu tak terlupakan. Melainkan karena dia sempat ditolak para orang tua yang anak-anaknya berlaga. ”Mereka enggak mau pertandingan dipimpin wasit cewek. Ngomongnya pakai bahasa Sunda yang kasar lagi,” ucapnya. Nyali Deli sebagai wasit debutan pun langsung ciut. ”Jadi, di laga-laga awal saya memilih jadi wasit cadangan saja,” katanya lalu tergelak.
Untung, di laga-laga selanjutnya yang dia pimpin, tak ada penolakan serupa. Tak ada pula pemain atau ofisial lain yang sampai menggoda, apalagi melecehkan. ”Tapi, kalau terkesan diremehkan sih sering. Enggak apa-apa, Deli bisa jawab keraguan mereka di lapangan,” katanya.
Jam terbang Deli selama ini lebih sering berjalan di pertandingan kelompok umur. Tapi, memimpin turnamen tarkam juga sering dia lakoni. Biasanya atas permintaan teman.
Kendati di lapangan selalu tampil gagah dan tegas, sisi girlie Deli tetap ada. Gincu, kuteks, dan parfum aroma floral tidak pernah ketinggalan dia kenakan. ”Kadang teman wasit yang lain suka minta parfum juga. Jadi, begitu kami keluar ke lapangan, wanginya sama semua. Wangi bunga, hehehe,” kata Deli, lalu tertawa geli.
Kalau yang dia pimpin laga tim perempuan, yang tak pernah lupa dicek sebelum pertandingan dimulai adalah kuku. Yang panjang harus dipotong lebih dulu. ”Tapi, kalau mau pakai kuteks, boleh. Sambil Deli tunjukin kuku. Mereka langsung ketawa,” terangnya.
Kini Deli berkejaran dengan waktu untuk segera memulihkan cederanya. Sebab, dia ingin sekali merasakan memimpin laga internasional pertamanya sebagai wasit FIFA di akhir tahun nanti. Meski sebenarnya, bagi dia, memimpin laga di level mana pun menyenangkan. ”Jadi wasit itu seperti artis, jadi pusat perhatian. Semua orang di lapangan dan tribun bisa patuh hanya dengan modal peluit,” tuturnya. (*/c9/ttg)