30 C
Medan
Thursday, May 2, 2024

Balada Pemain PSMS Tanpa Gaji

“Kami sangat, sangat terpaksa menjual mas kawin itu. Tapi, aku dan istri nggak punya pilihan lain. Mau ngutang, sulitnya minta ampun. Akhirnya kami jual supaya bisa makan,” tutur wing back PSMS PT Liga Indonesia (LI) Susanto, lirih berkisah barang pribadinya paling berharga yang terpaksa lenyap untuk biaya hidup.

Ya, Susanto tak punya pilihan lain. Ketika itu istrinya tengah hamil tua. Namun dirinya harus berjuang menjalani laga away ke Tembilahan menghadapi Persih. Berbekal janji dari manajemen jika gaji akan dibayarkan pascalaga, Susanto tak menyangka bakal berakhir dengan terjualnya tanda ikatan pernikahannya dengan istri tercinta.

Emas seberat 40 gram itulah harta tersisa Susanto untuk membiayai persalinan istrinya di Rambung Sialang kampungnya. Dengan satu gram dihargai Rp100 ribu secara bertahap perhiasan itu ludes dan praktis ia kini tak punya apa-apa lagi untuk membiayai keluarganya.

“Waktu ke Tembilahan istriku memang mau melahirkan. Aku ditelepon saudara kalau sedang proses persalinan, tapi uangnya belum ada. Gaji yang mereka janjikan sehabis lawan Persih dan Persisko tak ada. Sisa perhiasan itulah yang aku jual. Sudah 40 gram ludes terjual untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya melahirkan. Sekarang aku nggak punya apa-apa lagi,” katanya.

Menjual barang berharga memang jadi satu-satunya opsi demi bisa menjalani kehidupan sehari-hari. Sejak berkostum PSMS musim ini, cerita pilu memang enggan beranjak. Pasca tanda tangan kontrak dengan pembayaran tak penuh, praktis tak ada lagi duit yang mengalir ke kocek mereka.
Aidun Sastra Utami, pemain muda PSMS tak pernah menyangka jika karir profesional pertamanya harus diwarnai dengan kisah pilu ini. Meski masih lajang, pemain jebolan PON Sumut ini merupakan perantau sehingga menetap di Mess Kebun Bunga menjadi pilihan. Selain gaji tertunggak, dapur pun kini tak lagi mengepul.

Aidun hanya punya sepeda motor Suzuki Satria F dengan nomor polisi BK 4061 MAF yang dibelinya dua tahun silam dengan uang tabungannya. Terpaksa ia menggadaikannya dengan sejumlah uang untuk biaya sehari-hari. “Sebelumnya masih ada sisa uang dari bonus selama di PON. Tapi lama kelamaan itu habis. Terpaksa aku gadaikan kereta (sepeda motor) ku. Untuk biaya selama di Medan juga untuk memperjuangkan gaji di Jakarta biar ada pegangan untuk makan. Ini pun bingung bagaimana menebusnya,” ujar pemain 23 tahun itu.

Aidun dan Susanto merupakan dua dari 11 pemain yang tengah berjuang di Jakarta sejak Senin (10/6) lalu. Cerita pilu Aidun pun tak berhenti sampai disitu. Saat dirinya berada di Ibukota, sang nenek tercinta menghembuskan nafas terakhirnya. Apa daya, Aidun masih berjuang di Jakarta dan tak punya ongkos pulang. “Aku sedih sekali saat nenek meninggal, aku masih di Jakarta. Tapi bagaimana bisa pulang kalau untuk makan sehari-hari di sini saja pas pasan. Bagaimana bisa beli tiket pesawat,” ujarnya.

Kisah itu melengkapi cerita pilu dari para punggawa PSMS baik di putaran pertama maupun putaran kedua. Sebelumnya Herman Batak, kiper yang sudah dicoret pascaputaran pertama usai juga sudah menjual barang pribadinya berupa mobil. Selain itu beberapa pemain lainnya seperti Dede Ariandi sudah menghilang sebelum putaran pertama untuk bekerja di tempat yang lebih jelas. Meskipun itu sekadar kuli bangunan. Sementara pemain lain memilih mencari uang dari biaya tarkam (laga antar kampung). Tak terkecuali tim pelatih Suharto, Coly Misrun, dan Mardianto yang tak lepas dari kisah pilu. Dari dikejar-kejar debt collector sampai kebingungan mencari biaya anak masuk sekolah turut mewarnai kisah PSMS musim ini. “Anak saya wisuda TK saja ngutang. Makanya ini sudah ‘mumet’ kali kepala. Banyak tawaran melatih dan main oldcrack pun belum bisa saya ambil karena memikirkan nasib pemain-pemain di Jakarta,” ujar Coly.

Karena itu para pemain kali ini tak main-main dengan perjuangannya di Jakarta. Ketua Umum PSMS Indra Sakti Harahap, masih juga tak peduli. Pemain pun pantang pulang sebelum ada titik terang. Syukur mereka masih mendapat simpati dengan bantuan keuangan dari rekan-rekan pesepak bola di Medan, Jawa, termasuk striker senior Bambang Pamungkas. Termasuk tempat menginap di rumah Ali Gultom, warga Medan di Jakarta Timur.

APPI Gelar Doa Bersama

Perjuangan PSMS di Jakarta memasuki hitungan delapan hari. Namun titik terang yang belum mereka dapat mengundang simpati yang kian deras. Para pemain yang tergabung dalam Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), Rabu (19/6) malam menggelar doa bersama.
Kemarin malam sehabis magrib, doa bersama pun dipanjatkan di depan kantor PSSI Senayan dengan Ustadz M Iqbal Siregar. “Ini inisiatif kawan-kawan APPI yang telah banyak membantu kami di sini. Mereka memang cukup banyak membanu kami,” ujar Kiper PSMS Irwin Ramadhana.
Selain itu dari APPI, mantan kapten tim nasional Indonesia, Bambang ‘Bepe’ Pamungkas yang ditemani Leo Saputra ikut mendukung perjuangan PSMS. Mereka terlihat berfoto bersama para pemain PSMS di depan Kantor PSSI dengan beragam spanduk.

Mantan-mantan pemain Timnas Garuda seperti Rokcy Putiray, Budi Sudarsono, dan Kurniawan Dwi Yulianto yang kemarin memper-kuat Jakarta All Star pada laga kontra Timnas U-23 juga turut memberi dukungan. Mereka berpose bersama sebuah kertas bertulis ‘Kami Dukung Aksi 11 Pemain PSMS’. (*)

“Kami sangat, sangat terpaksa menjual mas kawin itu. Tapi, aku dan istri nggak punya pilihan lain. Mau ngutang, sulitnya minta ampun. Akhirnya kami jual supaya bisa makan,” tutur wing back PSMS PT Liga Indonesia (LI) Susanto, lirih berkisah barang pribadinya paling berharga yang terpaksa lenyap untuk biaya hidup.

Ya, Susanto tak punya pilihan lain. Ketika itu istrinya tengah hamil tua. Namun dirinya harus berjuang menjalani laga away ke Tembilahan menghadapi Persih. Berbekal janji dari manajemen jika gaji akan dibayarkan pascalaga, Susanto tak menyangka bakal berakhir dengan terjualnya tanda ikatan pernikahannya dengan istri tercinta.

Emas seberat 40 gram itulah harta tersisa Susanto untuk membiayai persalinan istrinya di Rambung Sialang kampungnya. Dengan satu gram dihargai Rp100 ribu secara bertahap perhiasan itu ludes dan praktis ia kini tak punya apa-apa lagi untuk membiayai keluarganya.

“Waktu ke Tembilahan istriku memang mau melahirkan. Aku ditelepon saudara kalau sedang proses persalinan, tapi uangnya belum ada. Gaji yang mereka janjikan sehabis lawan Persih dan Persisko tak ada. Sisa perhiasan itulah yang aku jual. Sudah 40 gram ludes terjual untuk biaya hidup sehari-hari dan biaya melahirkan. Sekarang aku nggak punya apa-apa lagi,” katanya.

Menjual barang berharga memang jadi satu-satunya opsi demi bisa menjalani kehidupan sehari-hari. Sejak berkostum PSMS musim ini, cerita pilu memang enggan beranjak. Pasca tanda tangan kontrak dengan pembayaran tak penuh, praktis tak ada lagi duit yang mengalir ke kocek mereka.
Aidun Sastra Utami, pemain muda PSMS tak pernah menyangka jika karir profesional pertamanya harus diwarnai dengan kisah pilu ini. Meski masih lajang, pemain jebolan PON Sumut ini merupakan perantau sehingga menetap di Mess Kebun Bunga menjadi pilihan. Selain gaji tertunggak, dapur pun kini tak lagi mengepul.

Aidun hanya punya sepeda motor Suzuki Satria F dengan nomor polisi BK 4061 MAF yang dibelinya dua tahun silam dengan uang tabungannya. Terpaksa ia menggadaikannya dengan sejumlah uang untuk biaya sehari-hari. “Sebelumnya masih ada sisa uang dari bonus selama di PON. Tapi lama kelamaan itu habis. Terpaksa aku gadaikan kereta (sepeda motor) ku. Untuk biaya selama di Medan juga untuk memperjuangkan gaji di Jakarta biar ada pegangan untuk makan. Ini pun bingung bagaimana menebusnya,” ujar pemain 23 tahun itu.

Aidun dan Susanto merupakan dua dari 11 pemain yang tengah berjuang di Jakarta sejak Senin (10/6) lalu. Cerita pilu Aidun pun tak berhenti sampai disitu. Saat dirinya berada di Ibukota, sang nenek tercinta menghembuskan nafas terakhirnya. Apa daya, Aidun masih berjuang di Jakarta dan tak punya ongkos pulang. “Aku sedih sekali saat nenek meninggal, aku masih di Jakarta. Tapi bagaimana bisa pulang kalau untuk makan sehari-hari di sini saja pas pasan. Bagaimana bisa beli tiket pesawat,” ujarnya.

Kisah itu melengkapi cerita pilu dari para punggawa PSMS baik di putaran pertama maupun putaran kedua. Sebelumnya Herman Batak, kiper yang sudah dicoret pascaputaran pertama usai juga sudah menjual barang pribadinya berupa mobil. Selain itu beberapa pemain lainnya seperti Dede Ariandi sudah menghilang sebelum putaran pertama untuk bekerja di tempat yang lebih jelas. Meskipun itu sekadar kuli bangunan. Sementara pemain lain memilih mencari uang dari biaya tarkam (laga antar kampung). Tak terkecuali tim pelatih Suharto, Coly Misrun, dan Mardianto yang tak lepas dari kisah pilu. Dari dikejar-kejar debt collector sampai kebingungan mencari biaya anak masuk sekolah turut mewarnai kisah PSMS musim ini. “Anak saya wisuda TK saja ngutang. Makanya ini sudah ‘mumet’ kali kepala. Banyak tawaran melatih dan main oldcrack pun belum bisa saya ambil karena memikirkan nasib pemain-pemain di Jakarta,” ujar Coly.

Karena itu para pemain kali ini tak main-main dengan perjuangannya di Jakarta. Ketua Umum PSMS Indra Sakti Harahap, masih juga tak peduli. Pemain pun pantang pulang sebelum ada titik terang. Syukur mereka masih mendapat simpati dengan bantuan keuangan dari rekan-rekan pesepak bola di Medan, Jawa, termasuk striker senior Bambang Pamungkas. Termasuk tempat menginap di rumah Ali Gultom, warga Medan di Jakarta Timur.

APPI Gelar Doa Bersama

Perjuangan PSMS di Jakarta memasuki hitungan delapan hari. Namun titik terang yang belum mereka dapat mengundang simpati yang kian deras. Para pemain yang tergabung dalam Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia (APPI), Rabu (19/6) malam menggelar doa bersama.
Kemarin malam sehabis magrib, doa bersama pun dipanjatkan di depan kantor PSSI Senayan dengan Ustadz M Iqbal Siregar. “Ini inisiatif kawan-kawan APPI yang telah banyak membantu kami di sini. Mereka memang cukup banyak membanu kami,” ujar Kiper PSMS Irwin Ramadhana.
Selain itu dari APPI, mantan kapten tim nasional Indonesia, Bambang ‘Bepe’ Pamungkas yang ditemani Leo Saputra ikut mendukung perjuangan PSMS. Mereka terlihat berfoto bersama para pemain PSMS di depan Kantor PSSI dengan beragam spanduk.

Mantan-mantan pemain Timnas Garuda seperti Rokcy Putiray, Budi Sudarsono, dan Kurniawan Dwi Yulianto yang kemarin memper-kuat Jakarta All Star pada laga kontra Timnas U-23 juga turut memberi dukungan. Mereka berpose bersama sebuah kertas bertulis ‘Kami Dukung Aksi 11 Pemain PSMS’. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/