26 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Kerja Siang Malam, Pulang ‘Gak Bawa Uang

Cerita pilu yang melanda PSMS versi PT Liga Indonesia (LI) belum juga berujung happy ending. Kali ini kisah tragis keluar dari mulut Abraham, official tim, yang ikut bernasib sama dengan pelatih dan pemain. Sepuluh bulan gajinya tertunggak sesuai kontrak tanpa pembayaran sepeser pun dari pengurus.

DONI HERMAWAN, Medan

TAK BERGAJI: Abraham saat ditemui  kawasan Stadion Kebun Bunga. Hingga kemarin, Abraham belum juga digaji.//DONI HERMAWAN/SUMUT POs
TAK BERGAJI: Abraham saat ditemui di kawasan Stadion Kebun Bunga. Hingga kemarin, Abraham belum juga digaji.//DONI HERMAWAN/SUMUT POs

“Mulai dari TC pembentukan tim sampai sekarang gaji saya tidak pernah dibayar. Ya sesuai kontrak 10 bulan dengan nilai kontrak saya kurang tahu. Padahal saya kerja pagi siang malam dan tak kalah capeknya dengan pemain yang latihan. Pemasukan kadang minjam dari pelatih atau Bang Suimin (pelatih di putaran pertama,Red) kadang bantu. Juga pinjam dengan sekretaris tim ,” kisahnya saat ditemui di salah satu warung sekitar mess.

Posisi Bram, begitu dia biasa disapa, memang jauh dari sorotan publik. Diminta membantu mengurusi perlengkapan tim, peran Bram tak kalah vital dari pemain maupun pelatih di PSMS. Mulai dari mempersiapkan perlengkapan latihan tim yakni seragam latihan lengkap dengan kaos kakinya. Maupun mempersiapkan bola serta menyusun kun-kun (pembatas, Red) yang diperlukan untuk membatasi areal lapangan tergantung menu latihan dari pelatih juga menjadi tugas ayah tiga anak ini.

“Ya kebersihan mess ini juga kami yang menanggung jawabi. Mana ada petugas kebersihan disini. Ya merangkap-merangkaplah. Kadang minta bantuan anak-anak daerah sini (Kebun Bunga, Red) yang mau disuruh-suruh. Saya memang tidak bisa kasih upah, tapi rata-rata mereka senang kalau dekat dengan pemain bola PSMS,” bebernya.

Parahnya, tidak hanya gaji, dana untuk keperluan sehari-hari latihan seperti air mineral dan untuk cuci baju pemain pun tidak mengalir mulus. “Malah uang pribadiku di sini nyangkut (terpakai, Red) sampai Rp2 juta.Kalau Aqua habis sementara tidak ada dikasi duit sama ketua umum (Indra Sakti, Red). Ya sudah saya duluankan dulu. Sampai sekarang tidak dibayar sewaktu saya tagih dengan Pak Indra lengkap kwitansi dan bonnya dia hanya bilang nanti-nanti,” bebernya.

Termasuk biaya laundry (cuci) baju yang mencapai Rp6 juta masih tertunggak. “Satu hari itu nyuci dua kali ke laundry sejak seleksi berjalan. Biaya Rp100 ribu sekali nyuci. Tapi syukurnya saya naruh baju ini di usaha laundry kakak saya. Kalau dengan orang lain apa enggak dikampak. Saya yang jadinya ‘gak enak,” ujarnya.

Kesulitan itu sempat coba diselesaikan dengan pengadaan mesin cuci. Bram dengan beberapa kit man lainnya pun mencuci sendiri tak lagi ke laundry. Tentu saja tenaga mereka semakin terkuras. Sementara tak ada biaya upah tambahan.

Parahnya, untuk penyediaan sabun cuci pun sempat tersendat. Pascajeda putaran pertama, para pemain sempat latihan dengan kostum belang-belang (tak seragam, Red).”Itulah parahnya untuk uang sabun pun tak ada,” ujarnya.

Menghabiskan waktu di Mess Kebun Bunga dan sesekali pulang ke rumah tanpa membawa uang untuk keluarga membuat Bram kerap menghadapi kemarahan sang Istri. “Ya wajar istri marah. Kerja siang malam ‘gak bawa uang. Biaya sewa rumah saja Rp600 ribu saya gak mampu bayar. Untung istri saya jualan sarapan lontong di rumah. Dari situlah kami makan. Padahal kalau saya kerja serabutan di luar masih lebih mending ada penghasilan.Makanya saya sempat keluar sebulan dan cari
penghasilan lain,” katanya.

Namun Bram kembali dibujuk Indra Sakti untuk kembali bekerja. Tentu saja dengan janji-janji manis yang tak berakhir dengan realisasi. “Sewaktu itu saya jumpa dengan Indra Sakti di masjid dan dia menanyakan kenapa tidak bekerja lagi. Dia minta saya balik. ‘Sabarlah, bon dan kwitansi tunggakan gaji sudah saya pegang,’ begitu katanya. Tapi apa sampai sekarang tak ada. Padahal saya ingat betul dia janji di depan masjid. Masih juga bohong,” bilang Bram.

Lalu apa yang membuat Bram bertahan? Kecintaannya pada klub PSMS sejak kanak-kanak menjadi alasan. “Saya dari kecil tinggal di lingkungan mess Kebun Bunga. Makanya dari situ saya banyak kenal pemain dan mencintai klub ini. Makanya banyak orang bilang saya gila PSMS,” bebernya.

Karena itu Bram kini berharap Indra Sakti mau membuka hatinya untuk membayarkan haknya. “Dia memang tidak punya hati nurani kalau tidak juga mau bayar gaji saya yang tidak seberapa,” pungkasnya. (*)

Cerita pilu yang melanda PSMS versi PT Liga Indonesia (LI) belum juga berujung happy ending. Kali ini kisah tragis keluar dari mulut Abraham, official tim, yang ikut bernasib sama dengan pelatih dan pemain. Sepuluh bulan gajinya tertunggak sesuai kontrak tanpa pembayaran sepeser pun dari pengurus.

DONI HERMAWAN, Medan

TAK BERGAJI: Abraham saat ditemui  kawasan Stadion Kebun Bunga. Hingga kemarin, Abraham belum juga digaji.//DONI HERMAWAN/SUMUT POs
TAK BERGAJI: Abraham saat ditemui di kawasan Stadion Kebun Bunga. Hingga kemarin, Abraham belum juga digaji.//DONI HERMAWAN/SUMUT POs

“Mulai dari TC pembentukan tim sampai sekarang gaji saya tidak pernah dibayar. Ya sesuai kontrak 10 bulan dengan nilai kontrak saya kurang tahu. Padahal saya kerja pagi siang malam dan tak kalah capeknya dengan pemain yang latihan. Pemasukan kadang minjam dari pelatih atau Bang Suimin (pelatih di putaran pertama,Red) kadang bantu. Juga pinjam dengan sekretaris tim ,” kisahnya saat ditemui di salah satu warung sekitar mess.

Posisi Bram, begitu dia biasa disapa, memang jauh dari sorotan publik. Diminta membantu mengurusi perlengkapan tim, peran Bram tak kalah vital dari pemain maupun pelatih di PSMS. Mulai dari mempersiapkan perlengkapan latihan tim yakni seragam latihan lengkap dengan kaos kakinya. Maupun mempersiapkan bola serta menyusun kun-kun (pembatas, Red) yang diperlukan untuk membatasi areal lapangan tergantung menu latihan dari pelatih juga menjadi tugas ayah tiga anak ini.

“Ya kebersihan mess ini juga kami yang menanggung jawabi. Mana ada petugas kebersihan disini. Ya merangkap-merangkaplah. Kadang minta bantuan anak-anak daerah sini (Kebun Bunga, Red) yang mau disuruh-suruh. Saya memang tidak bisa kasih upah, tapi rata-rata mereka senang kalau dekat dengan pemain bola PSMS,” bebernya.

Parahnya, tidak hanya gaji, dana untuk keperluan sehari-hari latihan seperti air mineral dan untuk cuci baju pemain pun tidak mengalir mulus. “Malah uang pribadiku di sini nyangkut (terpakai, Red) sampai Rp2 juta.Kalau Aqua habis sementara tidak ada dikasi duit sama ketua umum (Indra Sakti, Red). Ya sudah saya duluankan dulu. Sampai sekarang tidak dibayar sewaktu saya tagih dengan Pak Indra lengkap kwitansi dan bonnya dia hanya bilang nanti-nanti,” bebernya.

Termasuk biaya laundry (cuci) baju yang mencapai Rp6 juta masih tertunggak. “Satu hari itu nyuci dua kali ke laundry sejak seleksi berjalan. Biaya Rp100 ribu sekali nyuci. Tapi syukurnya saya naruh baju ini di usaha laundry kakak saya. Kalau dengan orang lain apa enggak dikampak. Saya yang jadinya ‘gak enak,” ujarnya.

Kesulitan itu sempat coba diselesaikan dengan pengadaan mesin cuci. Bram dengan beberapa kit man lainnya pun mencuci sendiri tak lagi ke laundry. Tentu saja tenaga mereka semakin terkuras. Sementara tak ada biaya upah tambahan.

Parahnya, untuk penyediaan sabun cuci pun sempat tersendat. Pascajeda putaran pertama, para pemain sempat latihan dengan kostum belang-belang (tak seragam, Red).”Itulah parahnya untuk uang sabun pun tak ada,” ujarnya.

Menghabiskan waktu di Mess Kebun Bunga dan sesekali pulang ke rumah tanpa membawa uang untuk keluarga membuat Bram kerap menghadapi kemarahan sang Istri. “Ya wajar istri marah. Kerja siang malam ‘gak bawa uang. Biaya sewa rumah saja Rp600 ribu saya gak mampu bayar. Untung istri saya jualan sarapan lontong di rumah. Dari situlah kami makan. Padahal kalau saya kerja serabutan di luar masih lebih mending ada penghasilan.Makanya saya sempat keluar sebulan dan cari
penghasilan lain,” katanya.

Namun Bram kembali dibujuk Indra Sakti untuk kembali bekerja. Tentu saja dengan janji-janji manis yang tak berakhir dengan realisasi. “Sewaktu itu saya jumpa dengan Indra Sakti di masjid dan dia menanyakan kenapa tidak bekerja lagi. Dia minta saya balik. ‘Sabarlah, bon dan kwitansi tunggakan gaji sudah saya pegang,’ begitu katanya. Tapi apa sampai sekarang tak ada. Padahal saya ingat betul dia janji di depan masjid. Masih juga bohong,” bilang Bram.

Lalu apa yang membuat Bram bertahan? Kecintaannya pada klub PSMS sejak kanak-kanak menjadi alasan. “Saya dari kecil tinggal di lingkungan mess Kebun Bunga. Makanya dari situ saya banyak kenal pemain dan mencintai klub ini. Makanya banyak orang bilang saya gila PSMS,” bebernya.

Karena itu Bram kini berharap Indra Sakti mau membuka hatinya untuk membayarkan haknya. “Dia memang tidak punya hati nurani kalau tidak juga mau bayar gaji saya yang tidak seberapa,” pungkasnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/