25.6 C
Medan
Friday, May 17, 2024

Kopi Sidikalang, Nasi Briani, dan Soto

Bukan rahasia kalau Medan adalah kota yang multietnis. Beragam suku bangsa berbaur indah di setiap sudutnya. Warga dari berbagai latar belakang budaya bercengkerama di ruang yang tak berbatas. Dan, Kedai Kopi Apek adalah salahsatu ruang yang dimaksud. Diperkirakan berdiri sejak 1923, kedai ini pun menjadi saksi bisu interaksi tersebut.

Puput Julianti Damanik, Medan

Berada di Kopi Apek, terasa terlempar kembali ke masa lalu.

TUA: Suasana  Kedai Kopi Apek  masih menggunakan meja  kursi tua.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
TUA: Suasana di Kedai Kopi Apek yang masih menggunakan meja dan kursi tua.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Bahkan saat memasuki Jalan menuju Kedai kopi Apek, tepat di Jalan Hindu, Nomor 37 Medan, bangunan-bangunan tua yang masih berdiri tegak membuktikan bahwa Medan adalah kota tua yang pernah jaya di bawah jajahan Belanda.

Setelah berada di Kedai kopi Apek, bayangan tentang kapan bangunan dibangun akan muncul dengan sendirinya. Suasana vintage pun semakin terasa. Gedung ini berlantai dua, lantai atas digunakan untuk tempat tinggal keluarga. Lantai dasar yang digunakan sebagai kedai kopi tidak begitu luas, sekitar 5×6 meter. Meja, kursi, lemari, dan peralatan ngopi yang digunakan tampak sudah tua. Warna asli kayu dibiarkan mendominasi meja kedai kopi tersebut.  Di salah satu sudut warung ada tempat pemujaan berikut makanan persembahan, khas Tionghoa.

Namun sayang, The Legend of Kedai Kopi Apek, sang pemilik, Thaia Tjo Lie sudah tiada. Anaknya, Suyenti (37) juga mengaku tidak banyak tahu tentang sejarah berdirinya kedai ini. Hanya saja ia memperkirakan bahwa kedai itu telah berdiri sejak 90 tahun yang lalu didirikan oleh kakeknya.

“Jujur saya kurang mengerti kalau ditanya sejarahnya, namun satahu saya warung ini sudah ada sejak 90 tahun lalu. Didirikan oleh orangtua bapak saya, Thia A Kee dan Khi Lang Kiao,” kata Suyenti saat ditemui Sumut Pos, Selasa (26/3) lalu.

Meskipun tidak mengetahui banyak tentang sejarah berdirinya kedai kopi Apek, Suyenti bersama keluarga selalu berusaha mempertahankan ‘keaslian’ kedai kopi tersebut. Hal ini juga karena banyaknya pengunjung yang merasa senang pada suasana tempoe doeloe. “Melalui kesepakatan dan karena banyak pengunjung yang merasa senang dengan suasana tempo dulu di sini, kita tetap berusaha mempertahankan keaslian kedai kopi ini,” ujar Suyenti yang saat ini menjadi pengelolah Kedai Kopi Apek.

Kedai kopi ini, kata Suyenti, memang sengaja dibuka pada pagi hari sebagai tempat untuk sarapan bersama keluarga dan sahabat. Namun sesekali, ada juga paengunjung yang datang hanya sendirian, khususnya bagi mereka yang memang memiliki kenangan tersendiri di Kota Medan. “Kadang ada juga orang datang sendiri sambil merenung. Ternyata ketika ditanya, dulu ia sering sarapan sama ayahnya di warung ini. Jadi banyak sejarah di sini,” katanya.
Kedai ini dikunjungi oleh beragam warga Medan yang multikultur. Setiap harinya, masyarakat dari berbagai etnis duduk sambil menikmati kopi. Ada etnis Cina, Jawa, Tamil, Nias, Mandailing, Toba, Karo, Simalungun, Melayu, dan bahkan bule dari luar negeri.

Soal hidangan, sejak lama kedai kopi ini menyajikan kopi hitam yang berasal dari Sidikalang dan Lintong Hasundutan. Orang sering menyebutnya dengan kopi O, kopi hitam tanpa gula. Ini pula menjadi satu kebanggaan bagi Apek saat masih hidup dulu. Suyenti bertekad meneruskan apa yang sudah dilakukan ayahnya dulu, hanya menyediakan kopi terbaik dari Sidikalang bagi pelanggan mereka. “Resepnya itu rahasia dong, namun semua hasil racikan kita sendiri dan asli kopi Sumatera, karena kata bapak, kopi Sumatera itu adalah kopi ternikmat di dunia,” ujarnya.

Tidak hanya kopi, teh dan berbagai aneka camilan seperti roti tawar bakar atau kukus rasa srikaya, martabak telur, telur setengah matang bahkan sampai makanan berat seperti nasi soto, mie tiauw goreng ada disediakan di Kopi Apek. Harganya variatif, mulai Rp4.000 sampai Rp25.000. Untuk kopi hanya Rp11.000 per gelasnya. Bahkan bagi pengunjung yang ingin membawa makanan dari luar juga diperbolehkan. “Siapapun yang masuk ke warung juga boleh pesan makanan ke pedagang di sekeliling warung,” katanya.

Untuk hidangan seperti roti cane, nasi soto, martabak dijual oleh pedagang lain yang juga menempati kedai kopi tersebut. Satu hal yang patut diapresiasi. Bukti bahwa Kota Medan terbentuk dari komunitas berbagai kebudayaan. “Ada Pak Ane, pria keturunan Tamil dan Pak Somo orang Jawa juga berjualan di sini. Di gerobak Pak Ane tertulis ‘Nasi Briani, hari Jumat’. Ia memang khusus menjual nasi briani khas India pada hari Jumat. Pak Somo khusus soto,” katanya.

Kedai Kopi Apek dibuka setiap hari, mulai pukul 06.00 sampai pukul 14.00 WIB. Khusus hari Sabtu dan Minggu, hanya sampai pukul 12.00 WIB. Untuk hari Minggu, biasanya setelah jam 12.00 WIB, pihaknya selalu melakukan perbaikan kepada kursi-kursi. “Maklum sudah sangat tua, jadi setiap pekan kita cek mana kursi yang sudah goyang-goyang baru kita perbaiki. Kursi dan meja di sini juga sudah tua,” katanya.

Mengingat sedikit cerita ayahnya, pengunjung Kedai Kopi Apek adalah para direktur perusahaan dan  perkebunan seperti London Sumatera (Lonsum), Tentara Belanda, Jepang bahkan pahlawan Djamin Ginting. “Kata ayah saya, dahulu yang sering kemari itu para pekerja di Lonsum, tentara Belanda dan Jepang bahkan pahlawan Djamin Ginting,” katanya.

Seorang pengunjung asal Malaysia, David (49), mengatakan, 4 tahun setelah ia datang ke Medan, ia menjadi pecinta Kopi Apek. “Saya suka rasa kopinya, rasanya lain. Biasanya kalau ke Medan, saya lebih baik sarapan di Kopi Apek dari pada di hotel,” ucapnya.(*)

Bukan rahasia kalau Medan adalah kota yang multietnis. Beragam suku bangsa berbaur indah di setiap sudutnya. Warga dari berbagai latar belakang budaya bercengkerama di ruang yang tak berbatas. Dan, Kedai Kopi Apek adalah salahsatu ruang yang dimaksud. Diperkirakan berdiri sejak 1923, kedai ini pun menjadi saksi bisu interaksi tersebut.

Puput Julianti Damanik, Medan

Berada di Kopi Apek, terasa terlempar kembali ke masa lalu.

TUA: Suasana  Kedai Kopi Apek  masih menggunakan meja  kursi tua.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
TUA: Suasana di Kedai Kopi Apek yang masih menggunakan meja dan kursi tua.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Bahkan saat memasuki Jalan menuju Kedai kopi Apek, tepat di Jalan Hindu, Nomor 37 Medan, bangunan-bangunan tua yang masih berdiri tegak membuktikan bahwa Medan adalah kota tua yang pernah jaya di bawah jajahan Belanda.

Setelah berada di Kedai kopi Apek, bayangan tentang kapan bangunan dibangun akan muncul dengan sendirinya. Suasana vintage pun semakin terasa. Gedung ini berlantai dua, lantai atas digunakan untuk tempat tinggal keluarga. Lantai dasar yang digunakan sebagai kedai kopi tidak begitu luas, sekitar 5×6 meter. Meja, kursi, lemari, dan peralatan ngopi yang digunakan tampak sudah tua. Warna asli kayu dibiarkan mendominasi meja kedai kopi tersebut.  Di salah satu sudut warung ada tempat pemujaan berikut makanan persembahan, khas Tionghoa.

Namun sayang, The Legend of Kedai Kopi Apek, sang pemilik, Thaia Tjo Lie sudah tiada. Anaknya, Suyenti (37) juga mengaku tidak banyak tahu tentang sejarah berdirinya kedai ini. Hanya saja ia memperkirakan bahwa kedai itu telah berdiri sejak 90 tahun yang lalu didirikan oleh kakeknya.

“Jujur saya kurang mengerti kalau ditanya sejarahnya, namun satahu saya warung ini sudah ada sejak 90 tahun lalu. Didirikan oleh orangtua bapak saya, Thia A Kee dan Khi Lang Kiao,” kata Suyenti saat ditemui Sumut Pos, Selasa (26/3) lalu.

Meskipun tidak mengetahui banyak tentang sejarah berdirinya kedai kopi Apek, Suyenti bersama keluarga selalu berusaha mempertahankan ‘keaslian’ kedai kopi tersebut. Hal ini juga karena banyaknya pengunjung yang merasa senang pada suasana tempoe doeloe. “Melalui kesepakatan dan karena banyak pengunjung yang merasa senang dengan suasana tempo dulu di sini, kita tetap berusaha mempertahankan keaslian kedai kopi ini,” ujar Suyenti yang saat ini menjadi pengelolah Kedai Kopi Apek.

Kedai kopi ini, kata Suyenti, memang sengaja dibuka pada pagi hari sebagai tempat untuk sarapan bersama keluarga dan sahabat. Namun sesekali, ada juga paengunjung yang datang hanya sendirian, khususnya bagi mereka yang memang memiliki kenangan tersendiri di Kota Medan. “Kadang ada juga orang datang sendiri sambil merenung. Ternyata ketika ditanya, dulu ia sering sarapan sama ayahnya di warung ini. Jadi banyak sejarah di sini,” katanya.
Kedai ini dikunjungi oleh beragam warga Medan yang multikultur. Setiap harinya, masyarakat dari berbagai etnis duduk sambil menikmati kopi. Ada etnis Cina, Jawa, Tamil, Nias, Mandailing, Toba, Karo, Simalungun, Melayu, dan bahkan bule dari luar negeri.

Soal hidangan, sejak lama kedai kopi ini menyajikan kopi hitam yang berasal dari Sidikalang dan Lintong Hasundutan. Orang sering menyebutnya dengan kopi O, kopi hitam tanpa gula. Ini pula menjadi satu kebanggaan bagi Apek saat masih hidup dulu. Suyenti bertekad meneruskan apa yang sudah dilakukan ayahnya dulu, hanya menyediakan kopi terbaik dari Sidikalang bagi pelanggan mereka. “Resepnya itu rahasia dong, namun semua hasil racikan kita sendiri dan asli kopi Sumatera, karena kata bapak, kopi Sumatera itu adalah kopi ternikmat di dunia,” ujarnya.

Tidak hanya kopi, teh dan berbagai aneka camilan seperti roti tawar bakar atau kukus rasa srikaya, martabak telur, telur setengah matang bahkan sampai makanan berat seperti nasi soto, mie tiauw goreng ada disediakan di Kopi Apek. Harganya variatif, mulai Rp4.000 sampai Rp25.000. Untuk kopi hanya Rp11.000 per gelasnya. Bahkan bagi pengunjung yang ingin membawa makanan dari luar juga diperbolehkan. “Siapapun yang masuk ke warung juga boleh pesan makanan ke pedagang di sekeliling warung,” katanya.

Untuk hidangan seperti roti cane, nasi soto, martabak dijual oleh pedagang lain yang juga menempati kedai kopi tersebut. Satu hal yang patut diapresiasi. Bukti bahwa Kota Medan terbentuk dari komunitas berbagai kebudayaan. “Ada Pak Ane, pria keturunan Tamil dan Pak Somo orang Jawa juga berjualan di sini. Di gerobak Pak Ane tertulis ‘Nasi Briani, hari Jumat’. Ia memang khusus menjual nasi briani khas India pada hari Jumat. Pak Somo khusus soto,” katanya.

Kedai Kopi Apek dibuka setiap hari, mulai pukul 06.00 sampai pukul 14.00 WIB. Khusus hari Sabtu dan Minggu, hanya sampai pukul 12.00 WIB. Untuk hari Minggu, biasanya setelah jam 12.00 WIB, pihaknya selalu melakukan perbaikan kepada kursi-kursi. “Maklum sudah sangat tua, jadi setiap pekan kita cek mana kursi yang sudah goyang-goyang baru kita perbaiki. Kursi dan meja di sini juga sudah tua,” katanya.

Mengingat sedikit cerita ayahnya, pengunjung Kedai Kopi Apek adalah para direktur perusahaan dan  perkebunan seperti London Sumatera (Lonsum), Tentara Belanda, Jepang bahkan pahlawan Djamin Ginting. “Kata ayah saya, dahulu yang sering kemari itu para pekerja di Lonsum, tentara Belanda dan Jepang bahkan pahlawan Djamin Ginting,” katanya.

Seorang pengunjung asal Malaysia, David (49), mengatakan, 4 tahun setelah ia datang ke Medan, ia menjadi pecinta Kopi Apek. “Saya suka rasa kopinya, rasanya lain. Biasanya kalau ke Medan, saya lebih baik sarapan di Kopi Apek dari pada di hotel,” ucapnya.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/