25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Berimajinasilah dari Pinggir Lapangan

Selasa 31 Mei 2011, Paul Scholes memutuskan gantung sepatu dari hingar bingar sepak bola. Keputusan ini final. Dan Manchunian pun berduka.

Sejak memutuskan mundur dari Timnas Inggris 2004 silam, Scholes masih dicari sejumlah pelatih Timnas Inggris. Mulai dari zaman Sven Goran Erikson hingga Fabio Capello, nama Scholes sebenarnya masuk daftar pemain tengah tim Tiga Singa. Tapi Scholes berpendirian bulat. Sekali melangkah surut berpantang mundur.

Di zaman Erikson kabarnya Scholes mundur lantaran disiakan oleh Erikson. Scholes tak diposisikan pada tempat yang dicintainya. Namun hal itu hanya desas-desus, karena Scholes tak pernah memberikan pernyataan terbuka kepada media. Ketika Timnas Inggris dilatih suksesor Erikson, Steve Mclaren, lagi-lagi Scholes dibujuk kembali masuk timnas.

Meski Timnas Inggris sudah dipenuhi sosok bintang, namun siapapun orang di balik strategi tim itu mengaku masih membutuhkan Scholes. Tak tanggung-tanggung, Scholes dua kali dibujuk oleh Mclaren. Tapi dia kekuh tak mau kembali dengan alasan ingin lebih dekat dengan keluarga.

Yang terbaru, Don Fabio ternyata sempat juga membujuknya kembali ke The Three Lions. Fabio bahkan ingin membawa Sholes ke Piala Dunia Afrika Selatan. Perannya begitu vital di lini tengah Inggris. Meski usia telah senja, namun sejumlah pelatih top tak ingin mengesampingkannya. Tapi lagi-lagi Scholes merendah dan tak ingin memecah konsentrasi di timnas. Dia beralasan tidak enak sama pemain lain yang sudah jauh-jauh hari seleksi. Sedangkan Scholes tak butuh seleksi untuk langsung ikut ke Afrika.

Kenapa Scholes dipuja? Dari pandangan penonton sepak bola awam, tak ada yang istimewa dari sosok Scholes. Perannya di tengah lapangan tak menjadi jendral seperti peran rekannya di Manchester United: Roy Keane atau Eric Cantona.

Scholessy menjadi sosok kalem yang lebih imajiner di lini tengah. Scholes gemar melambungkan umpan unik yang tak disadari pemain lawan namun dinanti rekan satu timnya. Tak jarang Scholes akan berimajinasi sembari melancangkan tendangan keras penggetar jala lawan.

Maka itu pemain sekelas Ruud Gullit memujinya sebagai gelandang imajiner yang mudah melakuan umpan akurat, baik mendatar maupun lambung.

Scholes bisa dikatakan satu dari sedikit pemain bola yang tidak pernah mengekpresikan diri kecuali di dalam lapangan. Setelah Eric Cantona mundur dialah denyut yang menjalin permainan lini pertahanan ke garis penyerangan Man United. Permainan satu-duanya diakui para pesepakbola sebagai yang terbaik di Eropa. Umpan-umpannya baik yang menelusur tanah maupun lambung sama akuratnya dan mematikan. Imajinasinya dalam memberi umpan tidak lumrah.

Menurut Ruud Gullit, Scholes bisa melakukan semua itu dengan sangat sederhana. Sehingga yang ia lakukan seolah bukanlah sesuatu yang luar biasa. Itulah sebabnya, penonton melihatnya sebagai biasa-biasa saja, tetapi rekan maupun lawan sering terbengong-bengong atas aksinya.

Tak hanya piawai mengawal lini tengah, Scholes juga tajam. 150 gol untuk Manchester United tentu catatan bagus untuk seorang gelandang.

Tapi semua itu hanya akan jadi kenangan. Hari-hari esok aksinya mungkin hanya bisa kita nikmati dari social media semisal Youtube.

Tapi di balik kekalemannya, ada asa agar Scholes kembali tampil di lapangan hijau. Meskipun barangkali hanya akan dari pinggir lapangan. Bukankah Scholes pemilik imajinasi indah ala sepak bola masa kini. Ayolah Scholes, berimajinasilah tanpa henti! (*)

Selasa 31 Mei 2011, Paul Scholes memutuskan gantung sepatu dari hingar bingar sepak bola. Keputusan ini final. Dan Manchunian pun berduka.

Sejak memutuskan mundur dari Timnas Inggris 2004 silam, Scholes masih dicari sejumlah pelatih Timnas Inggris. Mulai dari zaman Sven Goran Erikson hingga Fabio Capello, nama Scholes sebenarnya masuk daftar pemain tengah tim Tiga Singa. Tapi Scholes berpendirian bulat. Sekali melangkah surut berpantang mundur.

Di zaman Erikson kabarnya Scholes mundur lantaran disiakan oleh Erikson. Scholes tak diposisikan pada tempat yang dicintainya. Namun hal itu hanya desas-desus, karena Scholes tak pernah memberikan pernyataan terbuka kepada media. Ketika Timnas Inggris dilatih suksesor Erikson, Steve Mclaren, lagi-lagi Scholes dibujuk kembali masuk timnas.

Meski Timnas Inggris sudah dipenuhi sosok bintang, namun siapapun orang di balik strategi tim itu mengaku masih membutuhkan Scholes. Tak tanggung-tanggung, Scholes dua kali dibujuk oleh Mclaren. Tapi dia kekuh tak mau kembali dengan alasan ingin lebih dekat dengan keluarga.

Yang terbaru, Don Fabio ternyata sempat juga membujuknya kembali ke The Three Lions. Fabio bahkan ingin membawa Sholes ke Piala Dunia Afrika Selatan. Perannya begitu vital di lini tengah Inggris. Meski usia telah senja, namun sejumlah pelatih top tak ingin mengesampingkannya. Tapi lagi-lagi Scholes merendah dan tak ingin memecah konsentrasi di timnas. Dia beralasan tidak enak sama pemain lain yang sudah jauh-jauh hari seleksi. Sedangkan Scholes tak butuh seleksi untuk langsung ikut ke Afrika.

Kenapa Scholes dipuja? Dari pandangan penonton sepak bola awam, tak ada yang istimewa dari sosok Scholes. Perannya di tengah lapangan tak menjadi jendral seperti peran rekannya di Manchester United: Roy Keane atau Eric Cantona.

Scholessy menjadi sosok kalem yang lebih imajiner di lini tengah. Scholes gemar melambungkan umpan unik yang tak disadari pemain lawan namun dinanti rekan satu timnya. Tak jarang Scholes akan berimajinasi sembari melancangkan tendangan keras penggetar jala lawan.

Maka itu pemain sekelas Ruud Gullit memujinya sebagai gelandang imajiner yang mudah melakuan umpan akurat, baik mendatar maupun lambung.

Scholes bisa dikatakan satu dari sedikit pemain bola yang tidak pernah mengekpresikan diri kecuali di dalam lapangan. Setelah Eric Cantona mundur dialah denyut yang menjalin permainan lini pertahanan ke garis penyerangan Man United. Permainan satu-duanya diakui para pesepakbola sebagai yang terbaik di Eropa. Umpan-umpannya baik yang menelusur tanah maupun lambung sama akuratnya dan mematikan. Imajinasinya dalam memberi umpan tidak lumrah.

Menurut Ruud Gullit, Scholes bisa melakukan semua itu dengan sangat sederhana. Sehingga yang ia lakukan seolah bukanlah sesuatu yang luar biasa. Itulah sebabnya, penonton melihatnya sebagai biasa-biasa saja, tetapi rekan maupun lawan sering terbengong-bengong atas aksinya.

Tak hanya piawai mengawal lini tengah, Scholes juga tajam. 150 gol untuk Manchester United tentu catatan bagus untuk seorang gelandang.

Tapi semua itu hanya akan jadi kenangan. Hari-hari esok aksinya mungkin hanya bisa kita nikmati dari social media semisal Youtube.

Tapi di balik kekalemannya, ada asa agar Scholes kembali tampil di lapangan hijau. Meskipun barangkali hanya akan dari pinggir lapangan. Bukankah Scholes pemilik imajinasi indah ala sepak bola masa kini. Ayolah Scholes, berimajinasilah tanpa henti! (*)

Artikel Terkait

Die Werkself Lolos dengan Agregat 4-1

Sevilla ke Perempat Final Liga Europa

Bayern Munchen di Atas Angin

The Red Devils Lolos Mudah

Nerazzurri ke 8 Besar Liga Europa

Terpopuler

Artikel Terbaru

/