25.2 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Razia Anak Punk Jadi Sorotan Dunia

Aparat Sewenang-wenang, Dianggap Melanggar HAM

Tak boleh ada anak punk di Aceh. Para punker berambut mohawk dicukur paksa, tindikan dicopot. Tak hanya itu, mereka juga harus menjalani pelatihan militer.

Penertiban anak punk itu bermula dari penertiban konser musik di Taman Budaya Banda Aceh yang ditengarai tak mengantongi izin, akhir pekan lalu. Dari situlah terjaring sebanyak 65 anak punk yang berasal dari Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Tamiang, Takengon, Sumatera Utara, Lampung, Palembang, Jambi, Batam, Riau, Sumatera Barat, Jakarta dan Jawa Barat.

Razia dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh bekerjasama dengan Kepolisian Aceh. Para punker lalu dibina di Aceh di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah. Pembinaan selama 10 hari itu bertujuan untuk mengubah gaya hidup dan penampilan anak punk yang dinilai bertentangan dengan norma dan mengganggu penerapan syariat Islam di kota Banda Aceh.

Pembinaan itu mendapat reaksi dari kalangan aktivis sipil di Aceh. Penangkapan anak punk dinilai cacat hukum dan dianggap over-reaktif.

“Atas dasar apa mereka ditahan dan dibina dengan cara-cara militer, kenapa tidak di panti sosial atau lembaga lain saja. Konstitusi kita menjamin kebebasan berekspresi sejauh tidak melanggar aturan yang ada,” kata Koordinator Komisi orang hilang dan tindak kekerasan (Kontras) Aceh, Hendra Fadli, Kamis 15 Desember 2011.

Hendra menyebutkan, jika memang dalam konser itu terdapat beberapa anak punk yang melanggar hukum, maka hanya beberapa saja yang ditahan. Pembinaan dengan dalih syariat sama sekali tak mendasar.

“Kalau memang terbukti ada yang melanggar hukum seperti menggunakan narkoba atau melanggar hukum syariat, maka harusnya hanya individunya saja  yang ditangkap bukan semuanya,” ujarnya.

Kontras bersama lembaga lainnya akan melakukan upaya advokasi terhadap anak punk yang ditangkap itu. Dia juga mendesak Komnas Perlindungan Anak untuk menginvestigasi kasus penangkapan ini.

“Komnas Perlindungan Anak harus menyelidiki apakah ada anak di bawah umur yang ditahan dan dididik dengan cara militer seperti itu. Karena itu melanggar hak anak,” katanya.

Sementara itu Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, penertiban anak punk itu karena mereka dinilai meresahkan dan mempengaruhi generasi muda di Banda Aceh untuk mengikuti gaya hidup mereka.
“Ini untuk meminimalisasi ajaran sesat dan perilaku yang menyimpang dari norma dan agama. Jika kita biarkan, perilaku mereka akan mempengaruhi generasi muda Aceh,” katanya.

Razia anak punk juga jadi perhatian dunia. Sejumlah media massa internasional, Daily Mail, Washington Post, Strait Times memberitakan kejadian tersebut. (net/jpnn)

Kapolda: Itu Bukan Melanggar HAM

PEMERINTAH Daerah Kota Banda Aceh dan polisi menilai keberadaan anak punk sangat meresahkan masyarakat. Ini bisa dibuktikan pada saat punker mengadakan konser di Taman Budaya, Banda Aceh, mereka mengatasnamakan organisasi lain mengelabui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk mendapatkan izin konser. Mereka juga melakukan pemalsuan surat.

Saat konser diadakan, pihak polisi melakukan razia kemudian menangkap mereka bersama beberapa barang bukti, narkoba, dan minuman keras. “Tindakan mereka sangat bertentangan dengan aturan syariat Islam di Aceh,” ujarnya.
Kapolda NAD, Irjen Pol Iskandar Hasan juga mengakui keberadaan anak-anak punk di Aceh memang sangat meresahkan masyarakat. Mereka ditangkap karena dinilai telah menyimpang dari moral-moral yang dianut masyarakat Aceh yang kental nuansa keagamaan. “Kita ingin mengembalikan mental mereka, kita bina di SPN Seulawah,” beber Iskandar.

Di Sekolah Polisi , semua anak-anak punk digunduli rambutnya dan ditempa mental. “Ini untuk kepentingan mereka dan ini bukanlah melanggar HAM,” tandas mantan Dir Reskrim Polda Sumut ini.

Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh Hospi Novizal Sabri mengatakan akan mendampingi anak punk yang ditangkap polisi. Menurutnya, LBH sejauh ini belum mendapat laporan maupun pengaduan dari komunitas punk di Aceh. “Kami tidak setuju dengan penangkapan itu,” katanya.

Alasan ketidaksetujuan LBH didasarkan pada penilaian kesalahan apa sebenarnya yang dilakukan oleh anak-anak punk itu. “Kalau buat acara tak ada izin, acara dibubarkan, bukan ditangkap. Kalau ada narkoba dalam acara itu, yang ditangkap person, bukan secara komunal,” ujar Hospi.

LBH akan mempertanyakan sikap kepolisian melakukan penangkapan dan pembinaan terhadap anak-anak punk di Aceh. “Kita baru akan melakukan koordinasi dengan polisi terkait hal tersebut,” ujarnya.(net/jpnn)

 

Aparat Sewenang-wenang, Dianggap Melanggar HAM

Tak boleh ada anak punk di Aceh. Para punker berambut mohawk dicukur paksa, tindikan dicopot. Tak hanya itu, mereka juga harus menjalani pelatihan militer.

Penertiban anak punk itu bermula dari penertiban konser musik di Taman Budaya Banda Aceh yang ditengarai tak mengantongi izin, akhir pekan lalu. Dari situlah terjaring sebanyak 65 anak punk yang berasal dari Kota Banda Aceh, Lhokseumawe, Tamiang, Takengon, Sumatera Utara, Lampung, Palembang, Jambi, Batam, Riau, Sumatera Barat, Jakarta dan Jawa Barat.

Razia dilakukan Pemerintah Kota Banda Aceh bekerjasama dengan Kepolisian Aceh. Para punker lalu dibina di Aceh di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah. Pembinaan selama 10 hari itu bertujuan untuk mengubah gaya hidup dan penampilan anak punk yang dinilai bertentangan dengan norma dan mengganggu penerapan syariat Islam di kota Banda Aceh.

Pembinaan itu mendapat reaksi dari kalangan aktivis sipil di Aceh. Penangkapan anak punk dinilai cacat hukum dan dianggap over-reaktif.

“Atas dasar apa mereka ditahan dan dibina dengan cara-cara militer, kenapa tidak di panti sosial atau lembaga lain saja. Konstitusi kita menjamin kebebasan berekspresi sejauh tidak melanggar aturan yang ada,” kata Koordinator Komisi orang hilang dan tindak kekerasan (Kontras) Aceh, Hendra Fadli, Kamis 15 Desember 2011.

Hendra menyebutkan, jika memang dalam konser itu terdapat beberapa anak punk yang melanggar hukum, maka hanya beberapa saja yang ditahan. Pembinaan dengan dalih syariat sama sekali tak mendasar.

“Kalau memang terbukti ada yang melanggar hukum seperti menggunakan narkoba atau melanggar hukum syariat, maka harusnya hanya individunya saja  yang ditangkap bukan semuanya,” ujarnya.

Kontras bersama lembaga lainnya akan melakukan upaya advokasi terhadap anak punk yang ditangkap itu. Dia juga mendesak Komnas Perlindungan Anak untuk menginvestigasi kasus penangkapan ini.

“Komnas Perlindungan Anak harus menyelidiki apakah ada anak di bawah umur yang ditahan dan dididik dengan cara militer seperti itu. Karena itu melanggar hak anak,” katanya.

Sementara itu Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, penertiban anak punk itu karena mereka dinilai meresahkan dan mempengaruhi generasi muda di Banda Aceh untuk mengikuti gaya hidup mereka.
“Ini untuk meminimalisasi ajaran sesat dan perilaku yang menyimpang dari norma dan agama. Jika kita biarkan, perilaku mereka akan mempengaruhi generasi muda Aceh,” katanya.

Razia anak punk juga jadi perhatian dunia. Sejumlah media massa internasional, Daily Mail, Washington Post, Strait Times memberitakan kejadian tersebut. (net/jpnn)

Kapolda: Itu Bukan Melanggar HAM

PEMERINTAH Daerah Kota Banda Aceh dan polisi menilai keberadaan anak punk sangat meresahkan masyarakat. Ini bisa dibuktikan pada saat punker mengadakan konser di Taman Budaya, Banda Aceh, mereka mengatasnamakan organisasi lain mengelabui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh untuk mendapatkan izin konser. Mereka juga melakukan pemalsuan surat.

Saat konser diadakan, pihak polisi melakukan razia kemudian menangkap mereka bersama beberapa barang bukti, narkoba, dan minuman keras. “Tindakan mereka sangat bertentangan dengan aturan syariat Islam di Aceh,” ujarnya.
Kapolda NAD, Irjen Pol Iskandar Hasan juga mengakui keberadaan anak-anak punk di Aceh memang sangat meresahkan masyarakat. Mereka ditangkap karena dinilai telah menyimpang dari moral-moral yang dianut masyarakat Aceh yang kental nuansa keagamaan. “Kita ingin mengembalikan mental mereka, kita bina di SPN Seulawah,” beber Iskandar.

Di Sekolah Polisi , semua anak-anak punk digunduli rambutnya dan ditempa mental. “Ini untuk kepentingan mereka dan ini bukanlah melanggar HAM,” tandas mantan Dir Reskrim Polda Sumut ini.

Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh Hospi Novizal Sabri mengatakan akan mendampingi anak punk yang ditangkap polisi. Menurutnya, LBH sejauh ini belum mendapat laporan maupun pengaduan dari komunitas punk di Aceh. “Kami tidak setuju dengan penangkapan itu,” katanya.

Alasan ketidaksetujuan LBH didasarkan pada penilaian kesalahan apa sebenarnya yang dilakukan oleh anak-anak punk itu. “Kalau buat acara tak ada izin, acara dibubarkan, bukan ditangkap. Kalau ada narkoba dalam acara itu, yang ditangkap person, bukan secara komunal,” ujar Hospi.

LBH akan mempertanyakan sikap kepolisian melakukan penangkapan dan pembinaan terhadap anak-anak punk di Aceh. “Kita baru akan melakukan koordinasi dengan polisi terkait hal tersebut,” ujarnya.(net/jpnn)

 

Artikel Terkait

Gatot Ligat Permulus Jalan Sumut

Gatot-Sutias Saling Setia

Erry Nuradi Minta PNS Profesional

Terpopuler

Artikel Terbaru

/