30.6 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Menanti Kampus Antikorupsi

Oleh: Misbahul Ulum

Persoalan korupsi bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan sudah seperti lingkaran setan yang tak pernah menemukan titik akhir. Korupsi telah mendarah daging dan menyerang kesemua lapisan masyarakat. Mulai dari pejabat, birokrat, pengusaha, bahkan sampai kalangan akademisi-pun ikut terlibat dalam jaringan terlarang ini.

Akhir-akhir ini banyak diwartakan di media massa, beberepa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) di Indonesia terindikasi kuat melakukan tindakan korupsi. Sungguh ironis, perguruan tinggi yang seharusnya berperan sebagai laboratorium negara, media transformasi nilai-nilai kebajikan serta tempat memupuk nilai-nilai keluhuran telah ternodai oleh praktik kotor korupsi.

Berbagai kasus korupsi di kampus-kampus yang belakangan marak terjadi umumnya disebabkan oleh penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat dan penyelenggara perguruan tinggi (Rektor, Staff). Akan tetapi, jika dilakukan analisis yang lebih dalam, korupsi di kampus sebenarnya memiliki varian yang sangat beragam.

korupsi tidak hanya sebatas penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pengelola perguruan tinggi semata. Akan tetapi lebih jauh, perilaku korup juga telah menjangkiti para mahasiswa yang menimba ilmu di perguruan tinggi. Hanya saja dilakukan dalam level yang lebih kecil.

Dari fenomena ini, dapat dilihat bahwa korupsi adalah penyakit laten yang sudah mendarah daging yang terkadang jarang sekali disadari oleh pelakukanya. Guna menanggulangi penyakit ini, diperlukan penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Khususnya bagi kalangan mahasiswa yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.

Pendidikan Antikorupsi

Cita-cita menjadikan kampus terbebas dari praktik korupsi ini sebentar lagi akan terjawab. Kemendikbud bersama dengan KPK resmi menerapkan pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan jenjang perguruan tinggi, sejak tahun ajaran baru 2012 ini.

Kebijakan baru itu setidaknya mampu menjawab persoalan korupsi di kampus yang belakangan mulai marak terjadi. Hal ini juga sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat luas akan bahaya korupsi. Khususnya di dunia kampus yang sudah begitu memprihatinkan.

Barangkali prkatik korupsi di kampus ini telah menjadi kekhawatiran semua orang. Oleh karenanya, penerapan pendidkan antikorupsi harus mendapat apresiasi serta dukungan dari semua kalangan. Terlebih kalangan akademisi dan perguruan tinggi sebagai penjaga moral dan etika bangsa.
Melalui pendidikan antikorupsi ini, diharapkan praktik-prkatik kotor korupsi akan segera terberantas. Lebih jauh, sekaligus uapaya untuk melakukan pemotongan generasi sejak dini dan menyelamatkan generasi muda (pelajar dan mahasiswa) dari praktik-praktik terlarang korupsi.

Kampus dan korupsi

Sesungguhnya kampus adalah miniatur dan cerminan negara. Didalamnya tidak hanya terdapat struktur kepemimpinan yang menyerupai negara saja. Tetapi  juga terdapat calon-calon pemimpin bangsa yang ditempa dengan nilai-nilai luhur guna menjadi pemimpin yang kuat di masa mendatang.
Praktik korupsi sebenarnya bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Bahkan di kampus yang dianggap sebagai tempat paling suci dan sakral juga tidak luput dari tindakan korup. Tidak hanya pejabat kampus saja. Bahkan oknum-oknum kampus seperti mahasiswa dan dosen juga terbiasa dengan praktik haram ini.

Misalnya saja adalah kebiasaan korupsi jam mengajar yang dilakukan dosen serta korupsi biaya SPP dari orang tua yang sering dilakukan oleh mahasiswa. Maka dari itu, tidaklah berlebihan jika pendidikan antikorupsi menjadi harga mati. Khususnya di perguruan tinggi.

Pemicu Korupsi

Perilaku korup biasanya diawali dengan kebiasaan berperilaku tidak jujur. Tindakan ini memang terkesan biasa saja. Bahkan telah menjadi hal yang legal. Perilaku ini dapat dijumpai dari kebiasaan contek menyontek mahasiswa saat UTS dan UAS, nitip absen disaat tidak berangkat kuliah, menggunakana jasa ghostwriter saat mengerjakan tugas, sampai membeli skripsi sebagai syarat kelulusan.

Itu semua adalah perilaku-perilaku kecil yang secara tidak sadar selalu dilakukan oleh mahasiswa hingga akhirnya menjadi sebuah konsensus dan seolah telah dilegalkan. Nah, Jika kebohongan-kebohongan kecil ini telah menjadi kebiasaan sejak dini, tentu tidak mengherankan jika kelak, mereka menjadi pemimpin yang tidak jujur.

Thomas Jefferson pernah berkata bahwa intisari dari seluruh pemerintahan adalah kejujuran. Jika kejujuran telah menjadi barang yang langka maka tidak heran jika perilaku-perilaku korup, curang selalu terjadi dan terulang. Lebih jauh, Thomas Lickona (1992) perbendapat bahwa budaya tidak jujur adalah salah satu tanda bangsa menuju jurang kehancuran. Dan harus dicatat “ketidakjujuran sekali akan menuntut ketidakjujuran lanjutan guna menutup ketidakjujuran pertama, dan begitu seterusnya”. Jika tindakan tidak jujur ini telah menjadi budaya generasi saat ini, merujuk pendapat Thomas Lickona, maka tinggal menunggu saat-saat kehancuran bangsa.

Kampus Antikorupsi

Pendidikan anti-korupsi seharusnya tak perlu ada manakala setiap mahasiswa memiliki integritas yang baik, dan kampus benar-benar menjadikan integritas dan kejujuran sebagai landasan. Dan harus disadari juga jika pendidikan antikorupsi sejatinya hanyalah alat untuk meminimalisir tindakan korup secara formal melalui jalur pendidikan semata. Keberhasilannya-pun hanya dapat dilihat dipermukaan saja. Belum tentu seseorang yang telah menempuh pendidikan antikorupsi lantas tidak korup. Sebab tindakan ini adalah tindakan laten yang disebabkan oleh kebiasaan tidak jujur.

Untuk itu, selain pengajaran pendidikan antikorupsi melalui jalur pendidikan formal, hal yang tak lebih kalah penting adalah menciptakan kampus antikorupsi, yakni penanaman budaya jujur pada diri mahasiwa serta seluruh elemen perguruan tinggi sejak dini. Ini adalah sebagai tindak lanjut dari pendidikan antikorupsi yang didapatkan di bangku perkuliahan.

Guna menyambut dan menerapkan pendidikan antikorupsi ini, seluruh komponen lembaga pendidikan harus bekerjasama dan saling bahu membahu. Seluruh civitas akademica juga berkewajiban menciptakan iklim lembaga pendidikan yang penuh dengan kejujuran. Jika kejujuran telah menjadi kebiasaan, maka secara otomatis praktik harap korupsi akan hilang dengan sendirinya.  Wallahu a’lam bi al-shawab.(*)

Penulis Pegiat AntiKorupsi di IAIN
Walisongo Semarang.

Oleh: Misbahul Ulum

Persoalan korupsi bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan sudah seperti lingkaran setan yang tak pernah menemukan titik akhir. Korupsi telah mendarah daging dan menyerang kesemua lapisan masyarakat. Mulai dari pejabat, birokrat, pengusaha, bahkan sampai kalangan akademisi-pun ikut terlibat dalam jaringan terlarang ini.

Akhir-akhir ini banyak diwartakan di media massa, beberepa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) di Indonesia terindikasi kuat melakukan tindakan korupsi. Sungguh ironis, perguruan tinggi yang seharusnya berperan sebagai laboratorium negara, media transformasi nilai-nilai kebajikan serta tempat memupuk nilai-nilai keluhuran telah ternodai oleh praktik kotor korupsi.

Berbagai kasus korupsi di kampus-kampus yang belakangan marak terjadi umumnya disebabkan oleh penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat dan penyelenggara perguruan tinggi (Rektor, Staff). Akan tetapi, jika dilakukan analisis yang lebih dalam, korupsi di kampus sebenarnya memiliki varian yang sangat beragam.

korupsi tidak hanya sebatas penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pengelola perguruan tinggi semata. Akan tetapi lebih jauh, perilaku korup juga telah menjangkiti para mahasiswa yang menimba ilmu di perguruan tinggi. Hanya saja dilakukan dalam level yang lebih kecil.

Dari fenomena ini, dapat dilihat bahwa korupsi adalah penyakit laten yang sudah mendarah daging yang terkadang jarang sekali disadari oleh pelakukanya. Guna menanggulangi penyakit ini, diperlukan penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini. Khususnya bagi kalangan mahasiswa yang kelak akan menjadi generasi penerus bangsa.

Pendidikan Antikorupsi

Cita-cita menjadikan kampus terbebas dari praktik korupsi ini sebentar lagi akan terjawab. Kemendikbud bersama dengan KPK resmi menerapkan pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai dengan jenjang perguruan tinggi, sejak tahun ajaran baru 2012 ini.

Kebijakan baru itu setidaknya mampu menjawab persoalan korupsi di kampus yang belakangan mulai marak terjadi. Hal ini juga sekaligus menjawab kekhawatiran masyarakat luas akan bahaya korupsi. Khususnya di dunia kampus yang sudah begitu memprihatinkan.

Barangkali prkatik korupsi di kampus ini telah menjadi kekhawatiran semua orang. Oleh karenanya, penerapan pendidkan antikorupsi harus mendapat apresiasi serta dukungan dari semua kalangan. Terlebih kalangan akademisi dan perguruan tinggi sebagai penjaga moral dan etika bangsa.
Melalui pendidikan antikorupsi ini, diharapkan praktik-prkatik kotor korupsi akan segera terberantas. Lebih jauh, sekaligus uapaya untuk melakukan pemotongan generasi sejak dini dan menyelamatkan generasi muda (pelajar dan mahasiswa) dari praktik-praktik terlarang korupsi.

Kampus dan korupsi

Sesungguhnya kampus adalah miniatur dan cerminan negara. Didalamnya tidak hanya terdapat struktur kepemimpinan yang menyerupai negara saja. Tetapi  juga terdapat calon-calon pemimpin bangsa yang ditempa dengan nilai-nilai luhur guna menjadi pemimpin yang kuat di masa mendatang.
Praktik korupsi sebenarnya bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Bahkan di kampus yang dianggap sebagai tempat paling suci dan sakral juga tidak luput dari tindakan korup. Tidak hanya pejabat kampus saja. Bahkan oknum-oknum kampus seperti mahasiswa dan dosen juga terbiasa dengan praktik haram ini.

Misalnya saja adalah kebiasaan korupsi jam mengajar yang dilakukan dosen serta korupsi biaya SPP dari orang tua yang sering dilakukan oleh mahasiswa. Maka dari itu, tidaklah berlebihan jika pendidikan antikorupsi menjadi harga mati. Khususnya di perguruan tinggi.

Pemicu Korupsi

Perilaku korup biasanya diawali dengan kebiasaan berperilaku tidak jujur. Tindakan ini memang terkesan biasa saja. Bahkan telah menjadi hal yang legal. Perilaku ini dapat dijumpai dari kebiasaan contek menyontek mahasiswa saat UTS dan UAS, nitip absen disaat tidak berangkat kuliah, menggunakana jasa ghostwriter saat mengerjakan tugas, sampai membeli skripsi sebagai syarat kelulusan.

Itu semua adalah perilaku-perilaku kecil yang secara tidak sadar selalu dilakukan oleh mahasiswa hingga akhirnya menjadi sebuah konsensus dan seolah telah dilegalkan. Nah, Jika kebohongan-kebohongan kecil ini telah menjadi kebiasaan sejak dini, tentu tidak mengherankan jika kelak, mereka menjadi pemimpin yang tidak jujur.

Thomas Jefferson pernah berkata bahwa intisari dari seluruh pemerintahan adalah kejujuran. Jika kejujuran telah menjadi barang yang langka maka tidak heran jika perilaku-perilaku korup, curang selalu terjadi dan terulang. Lebih jauh, Thomas Lickona (1992) perbendapat bahwa budaya tidak jujur adalah salah satu tanda bangsa menuju jurang kehancuran. Dan harus dicatat “ketidakjujuran sekali akan menuntut ketidakjujuran lanjutan guna menutup ketidakjujuran pertama, dan begitu seterusnya”. Jika tindakan tidak jujur ini telah menjadi budaya generasi saat ini, merujuk pendapat Thomas Lickona, maka tinggal menunggu saat-saat kehancuran bangsa.

Kampus Antikorupsi

Pendidikan anti-korupsi seharusnya tak perlu ada manakala setiap mahasiswa memiliki integritas yang baik, dan kampus benar-benar menjadikan integritas dan kejujuran sebagai landasan. Dan harus disadari juga jika pendidikan antikorupsi sejatinya hanyalah alat untuk meminimalisir tindakan korup secara formal melalui jalur pendidikan semata. Keberhasilannya-pun hanya dapat dilihat dipermukaan saja. Belum tentu seseorang yang telah menempuh pendidikan antikorupsi lantas tidak korup. Sebab tindakan ini adalah tindakan laten yang disebabkan oleh kebiasaan tidak jujur.

Untuk itu, selain pengajaran pendidikan antikorupsi melalui jalur pendidikan formal, hal yang tak lebih kalah penting adalah menciptakan kampus antikorupsi, yakni penanaman budaya jujur pada diri mahasiwa serta seluruh elemen perguruan tinggi sejak dini. Ini adalah sebagai tindak lanjut dari pendidikan antikorupsi yang didapatkan di bangku perkuliahan.

Guna menyambut dan menerapkan pendidikan antikorupsi ini, seluruh komponen lembaga pendidikan harus bekerjasama dan saling bahu membahu. Seluruh civitas akademica juga berkewajiban menciptakan iklim lembaga pendidikan yang penuh dengan kejujuran. Jika kejujuran telah menjadi kebiasaan, maka secara otomatis praktik harap korupsi akan hilang dengan sendirinya.  Wallahu a’lam bi al-shawab.(*)

Penulis Pegiat AntiKorupsi di IAIN
Walisongo Semarang.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/