26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Informasi, Panglima Sejahterakan Rakyat

Oleh:Chairil Huda

Pada 15 April 2012 mendatang, usia Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) genap 64 tahun. Jika diibaratkan manusia, di usia tersebut sudah tergolong ‘senja’. Karenanya, untuk meningkatkan dan mengembangkan pembangunan di seluruh daerah, dibutuhkan komunikasi yang intens sebagai penyampai informasi antar kabupaten/kota.

Di era reformasi, seluruh lapisan masyarakat bebas menyampaikan pendapat, baik lisan dan tulisan. Bahkan, atas nama demokrasi, unjuk rasa dibenarkan dengan catatan; harus tertib.

Kondisi ini berbeda dengan era orde baru. Pada masa itu, sekali mengkritisi pemerintah atau berkumpul menyuarakan atas nama masyarakat menuntut pemerintah berbuat, ujung-ujungnya berdampak buruk, dipenajara atau hilang.

Dua era yang berbeda, tentu memiliki satu prihal baik dan buruk. Di era orde baru, masyarakat lebih tertib. Namun tidak bisa mengkritisi segala kebijakan pemerintah. Sedangkan di era reformasi, masyarakat bebas meminta, mengkritisi dan memberi saran. Bahkan, pola pembangunan satu wilayah sifatnya, dari masyarakat ke pemerintah.

Perbedaan pola itu, berujung kepada tata kelola pemerintahan. Pegawai negeri sipil (PNS) tak bisa menjadi seorang yang berkuasa atau dilayani, tapi dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik. Bahkan, harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat lewat penjelasan yang sesuai aturan, prosedural, etika dan sopan.

Ditambah dengan munculnya UU No.14/2008 tentang keterbukaan informasi publik, maka peran pemerintah sebagai pengayom dan mengatur satu wilayah menjadi posisi yang paling disorot publik. Apalagi, ketika informasi dibungkam, dampaknya kepada tindakan hukum yang bersifat pidana.

Bukan itu saja, setiap pelayanan yang bersifat untuk pengurusan izin hingga kepada pungutan retribusi, diwajibkan menggelar sosialisasi yang luwes, sehingga masyarakat memahami aturan dan proseduralnya.

Hal lainnya, seiring tingginya intensitas sebaran informasi melalui televisi, radio, surat kabar, majalah, hingga media online. Tentunya, sekecil apapun, atas nama informasi tentang satu aturan ataupun kebijakan pemerintah tak bisa dibungkam. Jika hal itu dilakukan, dampaknya akan ada sanksi aturan yang disebut polisi informasi atau Komisi Informasi Publik (KIP).

Berseliwerannya informasi yang bersifat fakta, provokasi dan kepentingan kelompok, cendrung memperkeruh suasana, apalagi dipancing dari sikap diam pemerintah. Hal inilah yang sudah semestinya dikawal melalui lembaga KIP. Sehingga, masyarakat dan lembaga terlayani di jalur tengah.

Kelanjutan dari adanya pengawalan lembaga informasi, bisa terlaksana dengan munculnya komitmen antara kedua belah pihak. Sehingga ketidakpuasan yang dilampiaskan dengan cara unjuk rasa bisa berubah ke satu wadah pelaporan ke KIP.
Menyampaikan informasi, bukan hal mudah.

Dikarenakan, informasi itu sifatnya jamak, bisa menyinggung pembangunan, pembukaan kawasan perkebunan, industri dan perumahan serta hal lainnya masuknya investor. Hal itu menunjukkan informasi menjadi satu kepentingan banyak pihak, mulai masyarakat umum, pengusaha, politikus hingga mahasiswa. Artinya, semua masyarakat memiliki kepentingan yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan.

Ditambah lagi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumut tahun 2011, jumlah penduduk di Sumut mencapai 13.103.596 jiwa, diantaranya 6.544.092 jiwa berjenis kelami laki-laki dan perempuan sebanyak 6.559.504 jiwa. Kesemuanya berada didaratan Sumut seluas, 71.680 kilometer per segi.

Di antara masyarakat yang menghuni daratan Sumut, penduduk Sumut berasal dari 12 etnis, antara lain Melayu, Batak Karo, Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Angkola, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Nias, Minangkabau, Aceh, Jawa dan Tionghoa.

Selain sukuisme, penduduk Sumut berasal dari ragam keyakinan, antara lain didominasi beragama Islam sebanyak 65.5 persen, Kristen (Protestan/Katolik) sebanyak 31,4 persen, Buddha 2,8 persen, Hindu 0,2 persen serta ada Parmalim dan Konghucu.

Namun, latar belakang etnis itu sudah pernah dilakoni 17 nama yang pernah memimpin Sumut. Kesemuanya menitiskan pengetahuan keberagaman latar belakang etnis. Bahkan, banyak pemimpin menyebutkan dirinya adalah sahabat semua suku. Simbol ketokohan yang menyatakan ragam etnis, digunakan untuk memudahkan menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan santun, sopan dan demi memberikan informasi pelayanan beretika ke masyarakat.

Plt Gubsu H Gatot Pujo Nugroho ST secara gamblang menyatakan, Sumut harus diwujudkan menjadi luar biasa, karena memiliki alam yang kaya dan dihuni ragam etnis. Penataan wilayah merata di setiap kabupaten/kota, tanpa menghilangkan satu tata kelola yang berbeda-beda.

Bukti itu, diwujudkannya Sumut sebagai pintu gerbang ekonomi di wilayah Barat Indonesia. Demi mencapainya sebagai langkah mendorong sektor industri, hulu dan hilir dari sumber daya alam (SDA) asal Sumut.
“Mewujudkan kesejahteraan itu diperlukan komitmen bersama, seperti menciptakan, menata, mengelola dan melaksanakan,” tegasnya.

Komitmen yang dimaksudkannya, seperti kebersamaan para pemangku kepentingan di Sumut untuk menemukan hal terbaru dari SDA beragam, menata wilayah sesuai pendekatan pembangunan, menjaga kewilayahan dari cengkraman atau kepentingan menyimpang serta melaksanakan komitmen bersama sesuai aturan perundang-undangan.

Isyarat itu, sebaiknya diserap Pemerintah Daerah (Pemda) di kabupaten/kota. Hal itu perlu diseleraskan tujuan bersama untuk para pemangku kepentingan demi mensejahterakan rakyat. Bukan sebaliknya, kepentingan keuntungan kelompok sehingga memperbesar pos subsidi.

Keputusan untuk menyamakan komitmen, sebenarnya sudah dibungkus dalam master plan Sumut, yang telah menyelaraskan dengan master plan nasional. Hanya saja, master plan kabupaten/kota bisa berubah dengan mudah hanya melalui satu rapat paripurna. Hal inilah yang akhirnya mengacaukan hubungan komunikasi vertikal dengan propinsi dan kabupaten/kota.

Kendala itu, sebaiknya diputuskan bersama bukan atas nama keinginan atau kepentingan kepentingan kelompok. Tapi, kebijakan kepala daerah kabupaten/kota seminimalnya melaporkan ke pemerintah setingkat di atasnya. Komunikasi itu penting dilakukan, demi mencegah terjadinya dampak disharmonisasi umat.

Ketika konflik fisik tak muncul di masyarakat Sumut, namun konflik penataan wilayah sering muncul antar daerah. Hal tersebut berdampak buruk kepada pelaksanaan program Pemerintah Pusat dan provinsi. Kondisi itu semestinya tak terjadi, ketika komunikasi antar tingkatan pemerintahan saling mendukung, demi mewujudkan masyarakat mandiri dan sejahtera.

Prihal konflik tata wilayah itu, sebenarnya bisa diselesaikan bila pemerintah berkomitmen menciptakan informasi yang luwes dari rencana wilayah, baik dibangun, ditutup atau diubah. Prihal itu perlu disosialisasikan agar masyarakat mengetahui. Ketika masyarakat merespon kebijakan dan mendukung untuk kepentingan perekonomian, itulah bukti informasi sebagai panglima sejahterakan umat. (*)

Penulis adalah wartawan Sumut Pos
(Tulisan ini sebagai bahan untuk Lomba Karya Tulis Pers Dinas Komunikasi dan
Informatika Provinsi Sumatera Utara).

Oleh:Chairil Huda

Pada 15 April 2012 mendatang, usia Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) genap 64 tahun. Jika diibaratkan manusia, di usia tersebut sudah tergolong ‘senja’. Karenanya, untuk meningkatkan dan mengembangkan pembangunan di seluruh daerah, dibutuhkan komunikasi yang intens sebagai penyampai informasi antar kabupaten/kota.

Di era reformasi, seluruh lapisan masyarakat bebas menyampaikan pendapat, baik lisan dan tulisan. Bahkan, atas nama demokrasi, unjuk rasa dibenarkan dengan catatan; harus tertib.

Kondisi ini berbeda dengan era orde baru. Pada masa itu, sekali mengkritisi pemerintah atau berkumpul menyuarakan atas nama masyarakat menuntut pemerintah berbuat, ujung-ujungnya berdampak buruk, dipenajara atau hilang.

Dua era yang berbeda, tentu memiliki satu prihal baik dan buruk. Di era orde baru, masyarakat lebih tertib. Namun tidak bisa mengkritisi segala kebijakan pemerintah. Sedangkan di era reformasi, masyarakat bebas meminta, mengkritisi dan memberi saran. Bahkan, pola pembangunan satu wilayah sifatnya, dari masyarakat ke pemerintah.

Perbedaan pola itu, berujung kepada tata kelola pemerintahan. Pegawai negeri sipil (PNS) tak bisa menjadi seorang yang berkuasa atau dilayani, tapi dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik. Bahkan, harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat lewat penjelasan yang sesuai aturan, prosedural, etika dan sopan.

Ditambah dengan munculnya UU No.14/2008 tentang keterbukaan informasi publik, maka peran pemerintah sebagai pengayom dan mengatur satu wilayah menjadi posisi yang paling disorot publik. Apalagi, ketika informasi dibungkam, dampaknya kepada tindakan hukum yang bersifat pidana.

Bukan itu saja, setiap pelayanan yang bersifat untuk pengurusan izin hingga kepada pungutan retribusi, diwajibkan menggelar sosialisasi yang luwes, sehingga masyarakat memahami aturan dan proseduralnya.

Hal lainnya, seiring tingginya intensitas sebaran informasi melalui televisi, radio, surat kabar, majalah, hingga media online. Tentunya, sekecil apapun, atas nama informasi tentang satu aturan ataupun kebijakan pemerintah tak bisa dibungkam. Jika hal itu dilakukan, dampaknya akan ada sanksi aturan yang disebut polisi informasi atau Komisi Informasi Publik (KIP).

Berseliwerannya informasi yang bersifat fakta, provokasi dan kepentingan kelompok, cendrung memperkeruh suasana, apalagi dipancing dari sikap diam pemerintah. Hal inilah yang sudah semestinya dikawal melalui lembaga KIP. Sehingga, masyarakat dan lembaga terlayani di jalur tengah.

Kelanjutan dari adanya pengawalan lembaga informasi, bisa terlaksana dengan munculnya komitmen antara kedua belah pihak. Sehingga ketidakpuasan yang dilampiaskan dengan cara unjuk rasa bisa berubah ke satu wadah pelaporan ke KIP.
Menyampaikan informasi, bukan hal mudah.

Dikarenakan, informasi itu sifatnya jamak, bisa menyinggung pembangunan, pembukaan kawasan perkebunan, industri dan perumahan serta hal lainnya masuknya investor. Hal itu menunjukkan informasi menjadi satu kepentingan banyak pihak, mulai masyarakat umum, pengusaha, politikus hingga mahasiswa. Artinya, semua masyarakat memiliki kepentingan yang sama untuk mendapatkan kesejahteraan.

Ditambah lagi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumut tahun 2011, jumlah penduduk di Sumut mencapai 13.103.596 jiwa, diantaranya 6.544.092 jiwa berjenis kelami laki-laki dan perempuan sebanyak 6.559.504 jiwa. Kesemuanya berada didaratan Sumut seluas, 71.680 kilometer per segi.

Di antara masyarakat yang menghuni daratan Sumut, penduduk Sumut berasal dari 12 etnis, antara lain Melayu, Batak Karo, Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Angkola, Batak Simalungun, Batak Pakpak, Nias, Minangkabau, Aceh, Jawa dan Tionghoa.

Selain sukuisme, penduduk Sumut berasal dari ragam keyakinan, antara lain didominasi beragama Islam sebanyak 65.5 persen, Kristen (Protestan/Katolik) sebanyak 31,4 persen, Buddha 2,8 persen, Hindu 0,2 persen serta ada Parmalim dan Konghucu.

Namun, latar belakang etnis itu sudah pernah dilakoni 17 nama yang pernah memimpin Sumut. Kesemuanya menitiskan pengetahuan keberagaman latar belakang etnis. Bahkan, banyak pemimpin menyebutkan dirinya adalah sahabat semua suku. Simbol ketokohan yang menyatakan ragam etnis, digunakan untuk memudahkan menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan santun, sopan dan demi memberikan informasi pelayanan beretika ke masyarakat.

Plt Gubsu H Gatot Pujo Nugroho ST secara gamblang menyatakan, Sumut harus diwujudkan menjadi luar biasa, karena memiliki alam yang kaya dan dihuni ragam etnis. Penataan wilayah merata di setiap kabupaten/kota, tanpa menghilangkan satu tata kelola yang berbeda-beda.

Bukti itu, diwujudkannya Sumut sebagai pintu gerbang ekonomi di wilayah Barat Indonesia. Demi mencapainya sebagai langkah mendorong sektor industri, hulu dan hilir dari sumber daya alam (SDA) asal Sumut.
“Mewujudkan kesejahteraan itu diperlukan komitmen bersama, seperti menciptakan, menata, mengelola dan melaksanakan,” tegasnya.

Komitmen yang dimaksudkannya, seperti kebersamaan para pemangku kepentingan di Sumut untuk menemukan hal terbaru dari SDA beragam, menata wilayah sesuai pendekatan pembangunan, menjaga kewilayahan dari cengkraman atau kepentingan menyimpang serta melaksanakan komitmen bersama sesuai aturan perundang-undangan.

Isyarat itu, sebaiknya diserap Pemerintah Daerah (Pemda) di kabupaten/kota. Hal itu perlu diseleraskan tujuan bersama untuk para pemangku kepentingan demi mensejahterakan rakyat. Bukan sebaliknya, kepentingan keuntungan kelompok sehingga memperbesar pos subsidi.

Keputusan untuk menyamakan komitmen, sebenarnya sudah dibungkus dalam master plan Sumut, yang telah menyelaraskan dengan master plan nasional. Hanya saja, master plan kabupaten/kota bisa berubah dengan mudah hanya melalui satu rapat paripurna. Hal inilah yang akhirnya mengacaukan hubungan komunikasi vertikal dengan propinsi dan kabupaten/kota.

Kendala itu, sebaiknya diputuskan bersama bukan atas nama keinginan atau kepentingan kepentingan kelompok. Tapi, kebijakan kepala daerah kabupaten/kota seminimalnya melaporkan ke pemerintah setingkat di atasnya. Komunikasi itu penting dilakukan, demi mencegah terjadinya dampak disharmonisasi umat.

Ketika konflik fisik tak muncul di masyarakat Sumut, namun konflik penataan wilayah sering muncul antar daerah. Hal tersebut berdampak buruk kepada pelaksanaan program Pemerintah Pusat dan provinsi. Kondisi itu semestinya tak terjadi, ketika komunikasi antar tingkatan pemerintahan saling mendukung, demi mewujudkan masyarakat mandiri dan sejahtera.

Prihal konflik tata wilayah itu, sebenarnya bisa diselesaikan bila pemerintah berkomitmen menciptakan informasi yang luwes dari rencana wilayah, baik dibangun, ditutup atau diubah. Prihal itu perlu disosialisasikan agar masyarakat mengetahui. Ketika masyarakat merespon kebijakan dan mendukung untuk kepentingan perekonomian, itulah bukti informasi sebagai panglima sejahterakan umat. (*)

Penulis adalah wartawan Sumut Pos
(Tulisan ini sebagai bahan untuk Lomba Karya Tulis Pers Dinas Komunikasi dan
Informatika Provinsi Sumatera Utara).

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/