26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Karakter Kuat Pembentuk Brand

MARKETING SERIES (54)

Bobroknya lembaga keuangan Amerika yang memiliki tingkat kerumitan dan skala begitu besar dipaparkan dengan apik dalam Too Big to Fail. Lembaga-lembaga keuangan itu melakukan segala cara untuk merayu para customer. Tujuannya, bonus besar bila target penjualan terpenuhi.

Produk finansialnya juga sangat complicated dan susah dimengerti karena merupakan turunan dari produk-produk lain yang dikembangkan. Customer bahkan sudah tidak bisa lagi mengenali value dan risk yang ada di dalamnya. Akhirnya, masyarakat hanya melihat brand perusahaan yang menjualnya. Mereka juga mengandalkan para penjual yang sudah lama mereka kenal.

Selain itu, masyarakat di AS akhirnya berpegang pada perusahaan rating yang melaporkan apakah suatu produk finansial itu bagus atau tidak. Ketika mendadak subprime mortgage meledak, terjadilah suatu dampak yang berantai. Nasabah yang mestinya tidak qualified untuk diberi kredit properti, misalnya, justru lolos dan bahkan pengeluaran pinjamannya cenderung dipermudah.

Akibatnya, demand properti seperti booming besar-besaran. Hal itu terjadi karena bank-bank bersaing untuk menyalurkan kredit. Situasi tersebut pada gilirannya menyebabkan para pengembang berlomba-lomba terus menambah supply. Seperti koloni semut berebut gula, mereka seolah tak mau ketinggalan dalam merebut peluang.

Piutang berisiko tinggi itulah yang dibeli lembaga keuangan yang punya nama besar dengan harga relatif murah. Piutang-piutang yang sebenarnya merupakan aset berisiko tinggi itu lantas dikemas lagi jadi suatu produk baru dengan corporate brand yang bagus.

Produk-produk berisiko tinggi tersebut lantas dijual kepada para investor lewat berbagai kanal. Karena diberi label bagus, dilindungi corporate brand bagus, dan bahkan diberi rating bagus oleh lembaga rating terkenal, produk itu pun laku keras. Tapi, si pembeli rumah tersebut punya kemampuan mengangsur. Episode selanjutnya adalah kepanikan!

Mata rantai “malaikat” jadi mata rantai “setan”. Investor pun melakukan rush untuk menyelamatkan uangnya. Nah, dalam keadaan panik seperti itulah, pemerintah Obama pada 2008 menghadapi dilema: di-bailout atau tidak?

Kalau tidak ditolong, pasti akan ambruk dan banyak investor yang dirugikan. Kalau ditolong, terjadilah moral hazard. Akan jadi preseden buruk yang potensial memancing kejadian serupa di saat mendatang.

Dengan berbagai pertimbangan, Lehman Brothers dibiarkan bangkrut dan tutup. Wall Street serta seluruh dunia tercengang dan geger. Kok bisa Lehman Brothers yang merupakan brand besar lebih dari 100 tahun itu bangkrut? Jawabannya sederhana, yakni mereka tidak punya karakter!

Mentang-mentang sudah punya brand besar dan dipercaya, malah menyalahgunakan kepercayaan. Biangnya adalah para eksekutif itu, yang tega menciptakan produk baru dari piutang yang sesungguhnya berisiko tinggi. Selain itu, para eksekutif penjualan walaupun tahu bahwa produk tersebut sebenarnya tidak aman masih terus menjualnya kepada customer setianya. Ketika ingat bonus dari hasil penjualan, lupalah segalanya.

Pada era yang serbatransparan ini orang dengan gampang mengetahui siapa yang punya karakter baik dan kurang baik. Pada skala yang lebih kecil, di Indonesia ada Bank Century yang akhirnya di-bail out pemerintah supaya tidak merugikan nasabahnya. Sampai sekarang pun, masalah itu belum selesai karena orang masih mempersoalkan kenapa Century mesti ditolong. Padahal, Lehman Brothers saja, yang begitu besar, dibiarkan jatuh.
Kita tidak kunjung tahu kapan masalah itu akan selesai. Tapi, yang jelas, Bank Century sekarang sudah tak ada karena ganti nama menjadi Bank Mutiara. Bagaimana kalangan eksekutifnya? Beberapa di antara mereka kini menjadi penghuni penjara. Dari aspek marketing, situasi seperti itu adalah perubahan 180 derajat alias posisi jungkir balik.

Dulu, asal sebuah brand sudah dibangun jadi besar dan kuat, segalanya akan beres. Sekarang kondisi telah berubah. Justru kekuatan karakterlah yang akan membentuk brand.

Bagaimana pendapat Anda? (*)

MARKETING SERIES (54)

Bobroknya lembaga keuangan Amerika yang memiliki tingkat kerumitan dan skala begitu besar dipaparkan dengan apik dalam Too Big to Fail. Lembaga-lembaga keuangan itu melakukan segala cara untuk merayu para customer. Tujuannya, bonus besar bila target penjualan terpenuhi.

Produk finansialnya juga sangat complicated dan susah dimengerti karena merupakan turunan dari produk-produk lain yang dikembangkan. Customer bahkan sudah tidak bisa lagi mengenali value dan risk yang ada di dalamnya. Akhirnya, masyarakat hanya melihat brand perusahaan yang menjualnya. Mereka juga mengandalkan para penjual yang sudah lama mereka kenal.

Selain itu, masyarakat di AS akhirnya berpegang pada perusahaan rating yang melaporkan apakah suatu produk finansial itu bagus atau tidak. Ketika mendadak subprime mortgage meledak, terjadilah suatu dampak yang berantai. Nasabah yang mestinya tidak qualified untuk diberi kredit properti, misalnya, justru lolos dan bahkan pengeluaran pinjamannya cenderung dipermudah.

Akibatnya, demand properti seperti booming besar-besaran. Hal itu terjadi karena bank-bank bersaing untuk menyalurkan kredit. Situasi tersebut pada gilirannya menyebabkan para pengembang berlomba-lomba terus menambah supply. Seperti koloni semut berebut gula, mereka seolah tak mau ketinggalan dalam merebut peluang.

Piutang berisiko tinggi itulah yang dibeli lembaga keuangan yang punya nama besar dengan harga relatif murah. Piutang-piutang yang sebenarnya merupakan aset berisiko tinggi itu lantas dikemas lagi jadi suatu produk baru dengan corporate brand yang bagus.

Produk-produk berisiko tinggi tersebut lantas dijual kepada para investor lewat berbagai kanal. Karena diberi label bagus, dilindungi corporate brand bagus, dan bahkan diberi rating bagus oleh lembaga rating terkenal, produk itu pun laku keras. Tapi, si pembeli rumah tersebut punya kemampuan mengangsur. Episode selanjutnya adalah kepanikan!

Mata rantai “malaikat” jadi mata rantai “setan”. Investor pun melakukan rush untuk menyelamatkan uangnya. Nah, dalam keadaan panik seperti itulah, pemerintah Obama pada 2008 menghadapi dilema: di-bailout atau tidak?

Kalau tidak ditolong, pasti akan ambruk dan banyak investor yang dirugikan. Kalau ditolong, terjadilah moral hazard. Akan jadi preseden buruk yang potensial memancing kejadian serupa di saat mendatang.

Dengan berbagai pertimbangan, Lehman Brothers dibiarkan bangkrut dan tutup. Wall Street serta seluruh dunia tercengang dan geger. Kok bisa Lehman Brothers yang merupakan brand besar lebih dari 100 tahun itu bangkrut? Jawabannya sederhana, yakni mereka tidak punya karakter!

Mentang-mentang sudah punya brand besar dan dipercaya, malah menyalahgunakan kepercayaan. Biangnya adalah para eksekutif itu, yang tega menciptakan produk baru dari piutang yang sesungguhnya berisiko tinggi. Selain itu, para eksekutif penjualan walaupun tahu bahwa produk tersebut sebenarnya tidak aman masih terus menjualnya kepada customer setianya. Ketika ingat bonus dari hasil penjualan, lupalah segalanya.

Pada era yang serbatransparan ini orang dengan gampang mengetahui siapa yang punya karakter baik dan kurang baik. Pada skala yang lebih kecil, di Indonesia ada Bank Century yang akhirnya di-bail out pemerintah supaya tidak merugikan nasabahnya. Sampai sekarang pun, masalah itu belum selesai karena orang masih mempersoalkan kenapa Century mesti ditolong. Padahal, Lehman Brothers saja, yang begitu besar, dibiarkan jatuh.
Kita tidak kunjung tahu kapan masalah itu akan selesai. Tapi, yang jelas, Bank Century sekarang sudah tak ada karena ganti nama menjadi Bank Mutiara. Bagaimana kalangan eksekutifnya? Beberapa di antara mereka kini menjadi penghuni penjara. Dari aspek marketing, situasi seperti itu adalah perubahan 180 derajat alias posisi jungkir balik.

Dulu, asal sebuah brand sudah dibangun jadi besar dan kuat, segalanya akan beres. Sekarang kondisi telah berubah. Justru kekuatan karakterlah yang akan membentuk brand.

Bagaimana pendapat Anda? (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/