Kontroversi pesawat Ma-60 buatan China
JAKARTA- Kabar bahwa MA-60 tidak disertifikasi FAA (Federal Aviation Administration) juga menjadi pembahasan dalam kesempatan audiensi antara Xian Aircraft International Corporation (XAIC) dan rombongan dari Indonesia.
XAIC membenarkan bahwa pesawat produk mereka yang lebih banyak dimanfaatkan maskapai lokal Tiongkok itu tidak disertifikasi oleh lembaga otoritas penerbangan Amerika tersebut.
Menurut Presiden Direktur XAIC Gang Shao Hua Gang, pihaknya merasa tidak perlu melakukannya. “Kami (Tiongkok) mempunyai standardisasi keselamatan penerbangan dan otoritas sertifikasi sendiri (CCAR). MA-60 juga telah didaftarkan untuk diuji oleh otoritas Indonesia (DKU PPU) sebelum meneken kontrak dengan Merpati.
Hasilnya, pesawat tersebut layak terbang dan” beroperasi sesuai dengan standar keamanan Indonesia,” tegasnya.
Menurut Gang, sebuah pesawat perlu disertifikasi oleh FAA”hanya ketika akan memasuki pasar Amerika. Sedangkan MA-60 belum memasuki pasar negeri adidaya itu. Selain konsumen dalam negeri, peminat pesawat yang diproduksi sejak 1997 tersebut kebanyakan negara berkembang, seperti Indonesia, Laos, Filipina, Bolivia, dan Zimbabwe.
“Kami belum menjual produk tersebut (MA-60) ke Eropa dan Amerika. Ketika masuk pasar di sana, pasti kami menyertifikasikannya ke FAA. Ini karena mereka otoritasnya,” tegasnya.
XAIC juga menjelaskan, sebagian besar komponen MA-60 diimpor dari Barat, yang notabene perusahaan-perusahaan tersebut telah mengantongi sertifikat FAA. Misalnya, mesin MA-60 menggunakan PW-127 J turbo propeller buatan Pratt & Whitney, Kanada.
Baling-balingnya menggunakan 247F-3 buatan Hamilton Sundstrand, Amerika. Tugas pabrikan XAIC “hanya” membuat badan pesawat yang diadaptasi dari pesawat tempur Antonov buatan Rusia.
Pernyataan tersebut diamini Dirut Merpati Sardjono Jhony Tjitrokusumo. Menurut dia, yang perlu disertifikasi FAA adalah pesawat yang akan digunakan di Amerika. “Coba saya tanya, apa ada pesawat Rusia yang disertifikasi FAA,” katanya.
Meski demikian, mantan Presiden B.J. Jusuf Habibie kukuh menilai bahwa pesawat MA-60 yang jatuh di Teluk Kaimana tidak layak terbang dan tetap mengimbau agar mendapatkan sertifikasi FAA.
Pesawat yang digunakan Merpati Nusantara itu diyakini tidak lolos uji sertifikasi yang mensyaratkan bebas retak struktural setelah digunakan 100 ribu kali penerbangan. “Pesawat (MA-60) itu ada yang baru beberapa kali terbang sudah retak. Anda sendiri bisa menyimpulkan layak terbang atau tidak,” ujar pakar keretakan pesawat yang dijuluki Mr Crack itu ketika mengunjungi pabrik tekstil PT Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat lalu (27/5).
Satu kali penerbangan diukur dari pesawat lepas landas hingga mendarat. Dengan asumsi pesawat terbang empat kali sehari, pesawat harus terbang dengan selamat tanpa keretakan selama 25 ribu hari. “Jika seribu hari dihitung sama dengan tiga tahun, pesawat tersebut harus terbang setara dengan 75 tahun tanpa keretakan,” papar Habibie.
seperti dilansir Jawa Pos (28/5).
Dua unit pesawat MA-60 yang didatangkan Merpati pada 8 Mei dan 12 Agustus 2009 diketahui mengalami keretakan di bagian rudder atau ekor vertikal pesawat. Merpati mengklaim keretakan tersebut sebagai baby sickness atau sekadar rewel, bukan kerusakan yang membahayakan. Material dua unit pesawat tersebut juga telah diganti oleh pabrikan.
Sebenarnya, pentingnya sertifikasi FAA tidak hanya terkait dengan kelaikan pesawat. Sertifikasi oleh lembaga Amerika Serikat tersebut juga terkait dengan asuransi terhadap semua penumpang dan awak pesawat jika terjadi kecelakaan.
Untuk pesawat yang disertifikasi FAA, korbannya mendapat santunan sampai Rp 6 miliar. Misalnya, ketika terjadi kecelakaan Silk Air di Palembang pada 19 Desember 1997. Kapten pilot setidaknya akan menerima USD 200 ribu, kopilot USD 150.000, sedangkan pramugari USD 100 ribu atau lebih. Jumlah yang diterima penumpang sama dengan pramugari.
Karena tekanan kuat dari berbagai pihak tentang pentingnya sertifikasi itulah, Merpati akhirnya mengupayakan agar MA-60 mendapatkannya dari otoritas penerbangan Eropa, IOSA. Sardjono menjelaskan, Merpati dalam proses mengurus IATA Operational Safety Audit (IOSA) untuk MA-60 agar mendapatkan sertifikasi layak terbang.
“IOSA pada saat ini baru sekitar 80 persen prosesnya dan diperkirakan Desember tahun ini selesai,” jelasnya kepada wartawan Kamis (1/6).
Sardjono merencanakan, setelah MA-60 mendapatkan sertifikasi dari IOSA, Merpati akan mengurus sertifikasi dari FAA. “IOSA dulu karena dia yang paling dekat di Eropa, baru setelah itu FAA dari Amerika,” rencananya. (cak/c2/ttg)
Pengadaannya pun Sudah Bermasalah
BUKAN hanya laik-tidaknya MA-60 yang menjadi sorotan luas menyusul kecelakaan di Kaimana. Tapi, juga pengadaannya yang terbilang berbelit dan kontroversial.
Pengadaan 15 unit MA-60 dari Tiongkok itu berawal dari kebutuhan PT Merpati Nusantara menggantikan armada Fokker F-27 yang sudah uzur. Beberapa jenis pesawat pengganti sudah”dijajaki. Termasuk, ATR 42, Bombardier, dan pesawat lokal produksi PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Sayang, kesulitan keuangan membuat Merpati tak mempunyai banyak pilihan. Selain itu, tidak ada perbankan dari dalam dan luar negeri yang mau mendanai pengadaan pesawat tersebut. Kemudian, muncul penawaran menarik dari XAIC, yaitu MA-60 yang cocok dengan kebutuhan Merpati menerbangi banyak rute perintis di Indonesia Timur.
Burung besi berkapasitas 60 orang itu bisa dimodifikasi menjadi 52, 54, atau 56 seater (penumpang). Sistem pembayarannya pun ringan. Bank Exim Tiongkok menawarkan bunga ringan 3 persen per tahun, selama 15 tahun.(cak/jpnn)g)