28.9 C
Medan
Wednesday, May 8, 2024

Demokrat Penentu Langkah Anies, Ganjar Lebih Tepat Jika Didampingi Tokoh NU

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tiga koalisi yang sudah terbentuk sampai sekarang belum memutuskan calon wakil presiden (Cawapres) yang akan mendampingi calon presiden (Capres) yang sudah ditetapkan. Penentuan nama cawapres memang rumit, dan diprediksi akan diputuskan jelang pendaftaran ke KPU.

PENGAMAT politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati mengatakan, dinamika cawapres di setiap poros koalisi masih akan panjang. Berkaca dari pengalaman, penentuan cawapres selalu terjadi jelang pendaftaran. Posisi cawapres, rumit untuk ditetapkan karena menyangkut banyak pertimbangan. Selain menaikkan ceruk suara capres, cawapres harus punya titik keseimbangan baik dari sisi partai maupun latar belakang. “Misalnya, kalau capres nasionalis, cawapresnya religius. Kalau militer, mungkin sipil,” ujarnya.

Pertimbangan atas kebutuhan keseimbangan itu, biasanya akan disesuaikan dengan dinamika terakhir. Di 2019 lalu misalnya, keputusan Jokowi memilih Ma’ruf Amin di detik-detik akhir dipengaruhi isu identitas.

Untuk 2024, lanjut dia, basis pertimbangannya tidak akan jauh berbeda. “Harus menyesuaikan momen, karena keadaan politik penuh dinamika,” tuturnya.

Lantas, bagaimana kans masing-masing? Untuk cawapres Ganjar, Wasisto menilai PDIP masih menunggu momentum. Terlebih, komposisi partai koalisinya juga belum fiks. Kans Erick Thohir sekalipun, masih menunggu kebutuhan PDIP dan pendapat rekan koalisi. “Mereka mesti melihat titik temunya di mana,” imbuhnya.

Sementara Prabowo, lanjut dia, akan sangat hati-hati. Kegagalan dalam dua pilpres sebelumnya memaksanya untuk lebih cermat. “Supaya nggak mengalami hal serupa (kalah),” jelasnya.

Jika berkaca dari latar belakang militernya, Wasisto memprediksi Prabowo akan memilih tokoh teknokratis ataupun agamis. Soal nama Erick maupun Muhaimin Iskandar yang saat ini digadang-gadang, punya peluang sama.

Sementara penentuan cawapres Anies, lanjut dia, relatif lebih berat. Di satu sisi, harus bisa menambah ceruk pemilih yang besar. Mengingat elektabilitas Anies yang hanya posisi ketiga. “Cawapres harus bisa mengimbangi di daerah yang belum terjamah, kedua bisa merebut ceruk lain,” terangnya. Tantangan selanjutnya, bagi Wasisto terdapat pada kemampuan menghadirkan sosok yang mencerminkan perubahan secara meyakinkan. Diakuinya, dengan tingkat kepuasan publik pada Jokowi yang relatif tinggi di banyak survei, maka ide perubahan yang diusung harus berstandar tinggi. “Masalahnya Pak Jokowi menerapkan standar (kerja) tinggi. Tentu harus bisa melebihi ekspektasi itu,” terangnya.

Sementara itu, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mempunyai analisis dan penilaian sendiri terkait kans para cawapres. PDI Perjuangan (PDIP) yang mengusung Ganjar sebagai capres misalnya, lebih menginginkan sosok cawapres dari kalangan NU. “Maka, belakangan muncul nama Nasaruddin Umar. Nama yang sebelumnya tidak pernah muncul,” terangnya.

Hal itu menunjukkan bahwa suasana hati PDIP condong ke tokoh NU. Tentu bukan sembarang tokoh, tapi tokoh NU yang mempunyai elektabilitas yang bisa mendongkrak Ganjar. Sebab, elektabilitas Ganjar sendiri fluktuatif. Jadi, butuh tokoh NU yang memiliki elektabilitas kuat.

Selain nama Nasaruddin, Mahfud MD juga perlu diperhitungkan, karena dia adalah tokoh NU. Mahfud NU sejak lahir dan pendukung Gus Dur. Nama Menko Polhukam itu juga sering disebut-sebut layak menjadi pendamping Ganjar. Di tataran grasroot, suara Mahfud juga kuat.

Ada juga nama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Menurut Adi, dari sisi penguasaan teretori, Khofifah kuat, karena menjabat sebagai gubernur. Dia juga tokoh perempuan NU yang memiliki dukungan kuat dari masyarakat, terutama warga nahdliyin. “Jadi, kalau mau gampang, ya Khofifah, karena secara teretori, khususnya di Jatim, dia kuat,” paparnya.

Sedangkan untuk kans cawapres Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Adi mengatakan, paling rasional menurut kalkulasi politik adalah AHY. Sebab, AHY merupakan ketua umum partai. Anies tidak mungkin bisa maju tanpa dukungan dari Partai Demokrat, karena tidak bisa memenuhi ambang batas pencalonan presiden 20 persen.

Jadi, ada kemungkinan, jika AHY tidak menjadi cawapres Anies, Partai Demokrat bisa saja menarik dukungan dari KPP. Posisi Demokrat sangat menentukan dalam langkah pengusungan Anies. Selain itu, AHY juga bisa melengkapi wajah oposisi Anies yang tidak kuat. “Wajar kalau Anies di survei lemah,” ujarnya.

Sebab, Anies hanya mantan gubernur DKI Jakarta, bukan ketua umum partai. Selain itu, partai yang mengusung Anies adalah partai menengah. Maka, cawapres yang diusung harus bisa memperkuat wajah oposisi Anies. AHY menjadi pilihan realistis sebagai cawapres Anies. Apalagi AHY memiliki elektabilitas kuat sebagai cawapres.

Hanya saja, kata Adi, AHY lemah dalam pengalaman politik. Dia belum pernah menjadi anggota DPR RI, kepala daerah, atau menteri. Dia terlampau cepat menjadi ketum partai, hanya karena anaknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “AHY juga tidak mampun mengkonsolidasikan basis politik NU,” ucapnya.

Bagaimana dengan Khofifah? Akademisi asal Madura itu mengatakan, Khofifah memang menguasai teretori di Jawa Timur dan bisa mengaet suara NU, tapi gestur Khofifah terlihat tidak nyaman jika disandingkan dengan Anies. Membuang-buang waktu, jika harus melobi Khofifah. Jadi peluang cawapres Anies hanya dua, AHY dan Ahmad Heryawan alias Aher. Tapi nama Aher tidak muncul di survei. “Jadi, AHY lah paket komplit dan paket hemat cawapres Anies,” paparnya.

Selanjutnya kans cawapres Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra. Adi menjelaskan bahwa Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, dan Erick Thohir memiliki peluang sebagai pendamping Prabowo. Namun, Prabowo tentu mengetahui siapa sosok yang cocok menjadi pendampingnya.

Prabowo sudah beberapakali maju pilpres, sehingga mengetahui bahwa kekalahannya ada di Jawa Timur. Jadi, dia membutuhkan cawapres yang bisa menarik suara di Jawa Timur. Airlangga dan Erick tidak mampu mengaet pemilih di Jatim. Walaupun Erick sudah didukung PB NU, tapi Erick belum mampu mengkonsolidasi suara NU. Secara statistik, suara NU bukan ke Erick.

Begitu juga Muhaimin Iskandar yang dinilai gagal mengkonversikan dukungan PKB menjadi dukungan kepada Muhaimin. Meskipun banyak warga NU yang menjadi pemilih PKB, tapi suara NU yang memilih PKB, tidak otomatis memilih Muhaimin sebagai cawapres. Jadi, tidak berbanding lurus.

Namun, lanjut Adi, kunci cawapres Prabowo berada di tangan Muhaimin, karena Gerindra sudah terikat kontrak kerja sama dengan PKB. Dia yakin, jika ada pihak bisa meyakinkan Muhaimin, maka nama cawapres bisa dinegoisasikan. “PKB akan tetap dengan Gerindra, walaupun Muhaimin tidak jadi cawapres,” tandasnya. (lum/jpg)

 

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tiga koalisi yang sudah terbentuk sampai sekarang belum memutuskan calon wakil presiden (Cawapres) yang akan mendampingi calon presiden (Capres) yang sudah ditetapkan. Penentuan nama cawapres memang rumit, dan diprediksi akan diputuskan jelang pendaftaran ke KPU.

PENGAMAT politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati mengatakan, dinamika cawapres di setiap poros koalisi masih akan panjang. Berkaca dari pengalaman, penentuan cawapres selalu terjadi jelang pendaftaran. Posisi cawapres, rumit untuk ditetapkan karena menyangkut banyak pertimbangan. Selain menaikkan ceruk suara capres, cawapres harus punya titik keseimbangan baik dari sisi partai maupun latar belakang. “Misalnya, kalau capres nasionalis, cawapresnya religius. Kalau militer, mungkin sipil,” ujarnya.

Pertimbangan atas kebutuhan keseimbangan itu, biasanya akan disesuaikan dengan dinamika terakhir. Di 2019 lalu misalnya, keputusan Jokowi memilih Ma’ruf Amin di detik-detik akhir dipengaruhi isu identitas.

Untuk 2024, lanjut dia, basis pertimbangannya tidak akan jauh berbeda. “Harus menyesuaikan momen, karena keadaan politik penuh dinamika,” tuturnya.

Lantas, bagaimana kans masing-masing? Untuk cawapres Ganjar, Wasisto menilai PDIP masih menunggu momentum. Terlebih, komposisi partai koalisinya juga belum fiks. Kans Erick Thohir sekalipun, masih menunggu kebutuhan PDIP dan pendapat rekan koalisi. “Mereka mesti melihat titik temunya di mana,” imbuhnya.

Sementara Prabowo, lanjut dia, akan sangat hati-hati. Kegagalan dalam dua pilpres sebelumnya memaksanya untuk lebih cermat. “Supaya nggak mengalami hal serupa (kalah),” jelasnya.

Jika berkaca dari latar belakang militernya, Wasisto memprediksi Prabowo akan memilih tokoh teknokratis ataupun agamis. Soal nama Erick maupun Muhaimin Iskandar yang saat ini digadang-gadang, punya peluang sama.

Sementara penentuan cawapres Anies, lanjut dia, relatif lebih berat. Di satu sisi, harus bisa menambah ceruk pemilih yang besar. Mengingat elektabilitas Anies yang hanya posisi ketiga. “Cawapres harus bisa mengimbangi di daerah yang belum terjamah, kedua bisa merebut ceruk lain,” terangnya. Tantangan selanjutnya, bagi Wasisto terdapat pada kemampuan menghadirkan sosok yang mencerminkan perubahan secara meyakinkan. Diakuinya, dengan tingkat kepuasan publik pada Jokowi yang relatif tinggi di banyak survei, maka ide perubahan yang diusung harus berstandar tinggi. “Masalahnya Pak Jokowi menerapkan standar (kerja) tinggi. Tentu harus bisa melebihi ekspektasi itu,” terangnya.

Sementara itu, Pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno mempunyai analisis dan penilaian sendiri terkait kans para cawapres. PDI Perjuangan (PDIP) yang mengusung Ganjar sebagai capres misalnya, lebih menginginkan sosok cawapres dari kalangan NU. “Maka, belakangan muncul nama Nasaruddin Umar. Nama yang sebelumnya tidak pernah muncul,” terangnya.

Hal itu menunjukkan bahwa suasana hati PDIP condong ke tokoh NU. Tentu bukan sembarang tokoh, tapi tokoh NU yang mempunyai elektabilitas yang bisa mendongkrak Ganjar. Sebab, elektabilitas Ganjar sendiri fluktuatif. Jadi, butuh tokoh NU yang memiliki elektabilitas kuat.

Selain nama Nasaruddin, Mahfud MD juga perlu diperhitungkan, karena dia adalah tokoh NU. Mahfud NU sejak lahir dan pendukung Gus Dur. Nama Menko Polhukam itu juga sering disebut-sebut layak menjadi pendamping Ganjar. Di tataran grasroot, suara Mahfud juga kuat.

Ada juga nama Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Menurut Adi, dari sisi penguasaan teretori, Khofifah kuat, karena menjabat sebagai gubernur. Dia juga tokoh perempuan NU yang memiliki dukungan kuat dari masyarakat, terutama warga nahdliyin. “Jadi, kalau mau gampang, ya Khofifah, karena secara teretori, khususnya di Jatim, dia kuat,” paparnya.

Sedangkan untuk kans cawapres Anies Baswedan yang diusung Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Adi mengatakan, paling rasional menurut kalkulasi politik adalah AHY. Sebab, AHY merupakan ketua umum partai. Anies tidak mungkin bisa maju tanpa dukungan dari Partai Demokrat, karena tidak bisa memenuhi ambang batas pencalonan presiden 20 persen.

Jadi, ada kemungkinan, jika AHY tidak menjadi cawapres Anies, Partai Demokrat bisa saja menarik dukungan dari KPP. Posisi Demokrat sangat menentukan dalam langkah pengusungan Anies. Selain itu, AHY juga bisa melengkapi wajah oposisi Anies yang tidak kuat. “Wajar kalau Anies di survei lemah,” ujarnya.

Sebab, Anies hanya mantan gubernur DKI Jakarta, bukan ketua umum partai. Selain itu, partai yang mengusung Anies adalah partai menengah. Maka, cawapres yang diusung harus bisa memperkuat wajah oposisi Anies. AHY menjadi pilihan realistis sebagai cawapres Anies. Apalagi AHY memiliki elektabilitas kuat sebagai cawapres.

Hanya saja, kata Adi, AHY lemah dalam pengalaman politik. Dia belum pernah menjadi anggota DPR RI, kepala daerah, atau menteri. Dia terlampau cepat menjadi ketum partai, hanya karena anaknya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “AHY juga tidak mampun mengkonsolidasikan basis politik NU,” ucapnya.

Bagaimana dengan Khofifah? Akademisi asal Madura itu mengatakan, Khofifah memang menguasai teretori di Jawa Timur dan bisa mengaet suara NU, tapi gestur Khofifah terlihat tidak nyaman jika disandingkan dengan Anies. Membuang-buang waktu, jika harus melobi Khofifah. Jadi peluang cawapres Anies hanya dua, AHY dan Ahmad Heryawan alias Aher. Tapi nama Aher tidak muncul di survei. “Jadi, AHY lah paket komplit dan paket hemat cawapres Anies,” paparnya.

Selanjutnya kans cawapres Prabowo Subianto, ketua umum Partai Gerindra. Adi menjelaskan bahwa Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, dan Erick Thohir memiliki peluang sebagai pendamping Prabowo. Namun, Prabowo tentu mengetahui siapa sosok yang cocok menjadi pendampingnya.

Prabowo sudah beberapakali maju pilpres, sehingga mengetahui bahwa kekalahannya ada di Jawa Timur. Jadi, dia membutuhkan cawapres yang bisa menarik suara di Jawa Timur. Airlangga dan Erick tidak mampu mengaet pemilih di Jatim. Walaupun Erick sudah didukung PB NU, tapi Erick belum mampu mengkonsolidasi suara NU. Secara statistik, suara NU bukan ke Erick.

Begitu juga Muhaimin Iskandar yang dinilai gagal mengkonversikan dukungan PKB menjadi dukungan kepada Muhaimin. Meskipun banyak warga NU yang menjadi pemilih PKB, tapi suara NU yang memilih PKB, tidak otomatis memilih Muhaimin sebagai cawapres. Jadi, tidak berbanding lurus.

Namun, lanjut Adi, kunci cawapres Prabowo berada di tangan Muhaimin, karena Gerindra sudah terikat kontrak kerja sama dengan PKB. Dia yakin, jika ada pihak bisa meyakinkan Muhaimin, maka nama cawapres bisa dinegoisasikan. “PKB akan tetap dengan Gerindra, walaupun Muhaimin tidak jadi cawapres,” tandasnya. (lum/jpg)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/