26.7 C
Medan
Saturday, May 18, 2024

Menyongsong Pemilu Serentak 2024, Ragam Inovasi Antisipasi Tragedi

SUMUTPOS.CO – Tidak lama lagi rakyat Indonesia kembali berpesta demokrasi. Pemilu yang dihelat 14 Februari 2024 itu menjadi pertaruhan bagi bangsa. Pergantian kepemimpinan. Namun, tragedi Pemilu 2019 masih membayangi. Yakni, kematian ratusan petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Pada Pemilu 2019, KPU menyebut, ada 894 petugas kehilangan nyawa. Selain itu, sebanyak 5.175 orang lainnya sempat sakit akibat menjalankan tugas di tempat pemungutan suara (TPS). Beban kerja tinggi. Kala itu menjadi pengalaman kali pertama bagi bangsa Indonesia menggelar pemungutan dan rekapitulasi suara dengan lima kotak suara.

Nah, pada Pemilu 2024, semua tentu tidak ingin tragedi itu terulang. KPU mengaku sudah menyiapkan sejumlah inovasi. Tujuannya, mengantisipasi tragedi kelam tersebut. Sejatinya, regulasi masih sama. Namun, KPU berupaya mendesain pada tataran teknis.

Beberapa inovasi itu, pertama, menambah sentuhan teknologi di TPS. Yakni, penggunaan mesin scanner yang memiliki kemampuan printer. Cara itu diambil untuk mengurangi beban petugas ketika membuat salinan rekapitulasi suara. Sebelumnya, petugas diwajibkan menulis salinan hasil rekapitulasi kepada para pihak yang hadir di TPS. Problemnya, para pihak yang hadir cukup banyak. Mulai dari saksi perwakilan partai, calon presiden, hingga caleg dan senator.

Dalam satu TPS, petugas bisa menyalin hingga 30 salinan. Aktivitas itu menjadi salah satu penyebab kelelahan. Pada 2024, potensi beban kerja makin tinggi. Pasalnya, jumlah partai peserta Pemilu lebih banyak. Jika 2019 ada 16 parpol, 2024 bertambah menjadi 18 parpol.

Namun, pada 2024 nanti, kerja salinan tidak dilakukan petugas secara manual. KPU mengubahnya dengan menggunakan sistem scanner. Salinan yang di-scan dapat dikopi sebanyak yang dibutuhkan. “Tapi, tanda tangannya tetap harus menggunakan tanda tangan basah,” kata Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos.

Inovasi ini juga telah dituangkan dalam regulasi. Termasuk penganggarannya. Nanti, dalam anggaran pendirian TPS, sewa alat scanner menjadi satu item baru yang ditambahkan. “Kami ingin menyisihkan sedikit untuk sewa,” imbuhnya.

Selain menambah sentuhan teknologi, inovasi lain yang disiapkan adalah mendesain sistem panel ketika penghitungan di TPS. Berbeda dengan sebelumnya yang digarap ramai-ramai, pada 2024 penghitungan akan dilakukan dua kelompok. Panel satu menghitung surat suara Pilpres dan DPD. Panel kedua khusus menghitung surat suara DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. “Di setiap TPS kan kita punya tujuh anggota KPPS. Nah, nantinya KPPS bisa kita bagi dua,” ujarnya.

Sistem baru tersebut, lanjut dia, sudah dicoba dalam simulasi di sejumlah daerah. Sejauh ini cukup efektif untuk mempercepat kerja petugas. Desain itu telah tertuang dalam rancangan peraturan KPU tentang pemungutan dan penghitungan suara. Sebelum disahkan, KPU akan lebih dulu berkonsultasi dengan pemerintah, DPR, serta stakeholder kepemiluan lainnya.

Sebab, lanjut Betty, perubahan itu memberikan sejumlah implikasi. Misalnya, apakah menyulitkan para saksi dan pengawas atau tidak. “Biasanya kan saksi-saksi antara parpol dan presiden sama. Nah, tentu ini akan kami komunikasikan. Tapi, kami optimistis bisa diterapkan,” paparnya.

Dengan inovasi itu, diharapkan beban kerja menjadi berkurang. Kendati begitu, hak para petugas akan dinaikkan menjadi dua kali lipat. Untuk ketua KPPS misalnya. Ada kenaikan dari Rp550 ribu menjadi Rp1,2 juta. Lalu, untuk anggota KPPS naik dari Rp500 ribu menjadi Rp1,1 juta dan petugas linmas naik dari Rp400 ribu menjadi Rp700 ribu.

Selain itu, untuk mengantisipasi tragedi seperti 2019, sistem seleksi petugas juga bakal diperbaiki. Selain dibatasi usia 55 tahun, masyarakat penderita komorbid dilarang mengajukan diri sebagai petugas.

 

Opsi dari Masyarakat Sipil

Elemen masyarakat sipil juga menggagas inovasi. Tujuannya meringankan kerja petugas. Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), misalnya. Bersama The International IDEA, Netgrit memperkenalkan sistem aplikasi yang bisa digunakan petugas TPS.

Hadar Nafis Gumay, pendiri Netgrit yang juga mantan komisioner KPU RI, mengatakan, tawaran solusi KPU dengan menggunakan scanner memang bisa jadi alternatif. Namun, cara itu terbilang tidak efisien dari sisi anggaran. Jika hanya satu alat, memang terlihat murah. “Tapi, kan kita ada sebanyak 800 ribuan TPS,” ungkapnya.

Aplikasi yang dibangun Netgrit sendiri, lanjut Hadar, memiliki sistem kerja mudah. Petugas cukup menginput hasil rekapitulasi suara yang ada pada C1 ke aplikasi. Data itu nanti terkonsolidasi dan dapat diubah menjadi pdf yang dapat dengan mudah dibagikan kepada para saksi. “Tanda tangan bisa gunakan digital,” imbuhnya.

Tantangannya tinggal pada modifikasi regulasi. Dia mengakui UU Pemilu sekarang mewajibkan salinan dibagikan dalam bentuk eksemplar. Namun, Hadar mengungkapkan bahwa eksemplar dalam situasi sekarang tidak mesti dimaknai fisik.

Hadar menuturkan, pihaknya akan mengusulkan desain tersebut kepada KPU RI. Dia berharap KPU dapat memikirkan inovasi tersebut. “Jadi, kami berupaya untuk ikut mencari jalan agar proses di TPS itu menjadi lebih ringan, lebih cepat, lebih akurat,” jelasnya.

Secara sistem, aktivis kepemiluan itu menyebut cukup kompatibel digunakan di berbagai merek handphone yang familier di Indonesia dengan spesifikasi yang tidak terlalu berat. Dengan begitu, dapat terjangkau para petugas TPS. Teknologinya pun dibuat sepenuhnya oleh ahli dari dalam negeri.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan, inovasi KPU terkait sistem panel memiliki tujuan baik. Yakni, meringankan beban petugas. Namun, dari sisi pengawasan, bisa jadi persoalan bagi Bawaslu. Sebagaimana ketentuan, pengawas TPS hanya dijatah satu sesuai UU. “Kalau panelnya dibagi dua, akan ada satu panel yang tidak mampu diawasi secara melekat,” terangnya.

Saat ini, pihaknya tengah melakukan kajian terkait metode tersebut. Salah satu opsi yang muncul adalah dengan menambahkan staf bawah kendali operasi (BKO) ke TPS. “Sehingga tidak melanggar UU,” ujarnya.

 

Mesti Gandeng Ahli Buat Konten Kreatif

Diketahui, pemilih Pemilu 2024 didominasi anak muda. Karena itu, penyelenggara harus menggencarkan sosialisasi. Baik melalui media arus utama maupun media sosial. Bahkan, bila perlu menggandeng ahli untuk dapat membuat konten kreatif. Harapannya, partisipasi pemilih muda menjadi tinggi.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. Pertama, profesionalitas dan integritas harus dimiliki penyelenggara pemilu. Mulai pusat sampai daerah. “Dari proses rekrutmen penyelenggara di daerah harus dilakukan dengan benar. Yang dari awal sudah bermasalah, bagaimana mereka mau menyelenggarakan pemilu dengan baik?” ucap Yanuar.

Berikutnya, lanjut politikus PKB itu, pemerintah dan penyelenggara harus menyiapkan antisipasi dan jaminan sosial. Yaitu, antisipasi jika terjadi yang tidak diinginkan. Misalnya, petugas yang sakit atau meninggalkan dunia. “Jangan sampai kejadian pada Pemilu 2019 terulang lagi. Ada ratusan petugas meninggal dunia,” tegasnya.

Kedua, pelaksanaan pemilu. Mulai kampanye, pencoblosan, hingga penghitungan. Penyelenggara harus memastikan tiga hal itu bisa berjalan baik. Menurut Yanuar, KPU harus sudah melakukan simulasi-simulasi. “Jangan sampai proses penghitungan terlalu lama, karena akan bahaya bagi petugas,” ujarnya.

Kampanye juga harus diatur dengan baik. Dengan demikian, tidak terjadi gesekan antar pendukung. Selain itu, aksi saling menghujat dan menyerang perlu diantisipasi. Para kandidat harus mengampanyekan gagasan, bukan kebencian.

Yang tak kalah pentingnya adalah sosialisasi. Yanuar mengatakan, sosialisasi harus secara masif sehingga masyarakat antusias menyambut dan ikut serta dalam pemilu. Anak-anak muda, baik generasi Z maupun milenial, akan mendominasi pemilih. Karena itu, sosialisasi harus digencarkan.

Legislator asal dapil Jawa Barat itu menambahkan, generasi muda akrab dengan media sosial. Karena itu, sosialisasi melalui media digital harus dimasifkan. Penyelenggara bisa menggandeng ahli dalam menyusun rencana sosialisasi dan pembuatan konten kreatif. “Sekarang konten menjadi raja,” ungkapnya.

Dengan konten menarik dan kreatif, anak-anak muda akan menjadi tertarik untuk melihat dan mengikutinya. Mereka pun akan gampang dipengaruhi untuk aktif menjadi pemilih pada pesta demokrasi lima tahunan itu. Sosialisasi juga penting melibatkan media mainstream yang memiliki trust. (lum/c17/hud)

SUMUTPOS.CO – Tidak lama lagi rakyat Indonesia kembali berpesta demokrasi. Pemilu yang dihelat 14 Februari 2024 itu menjadi pertaruhan bagi bangsa. Pergantian kepemimpinan. Namun, tragedi Pemilu 2019 masih membayangi. Yakni, kematian ratusan petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Pada Pemilu 2019, KPU menyebut, ada 894 petugas kehilangan nyawa. Selain itu, sebanyak 5.175 orang lainnya sempat sakit akibat menjalankan tugas di tempat pemungutan suara (TPS). Beban kerja tinggi. Kala itu menjadi pengalaman kali pertama bagi bangsa Indonesia menggelar pemungutan dan rekapitulasi suara dengan lima kotak suara.

Nah, pada Pemilu 2024, semua tentu tidak ingin tragedi itu terulang. KPU mengaku sudah menyiapkan sejumlah inovasi. Tujuannya, mengantisipasi tragedi kelam tersebut. Sejatinya, regulasi masih sama. Namun, KPU berupaya mendesain pada tataran teknis.

Beberapa inovasi itu, pertama, menambah sentuhan teknologi di TPS. Yakni, penggunaan mesin scanner yang memiliki kemampuan printer. Cara itu diambil untuk mengurangi beban petugas ketika membuat salinan rekapitulasi suara. Sebelumnya, petugas diwajibkan menulis salinan hasil rekapitulasi kepada para pihak yang hadir di TPS. Problemnya, para pihak yang hadir cukup banyak. Mulai dari saksi perwakilan partai, calon presiden, hingga caleg dan senator.

Dalam satu TPS, petugas bisa menyalin hingga 30 salinan. Aktivitas itu menjadi salah satu penyebab kelelahan. Pada 2024, potensi beban kerja makin tinggi. Pasalnya, jumlah partai peserta Pemilu lebih banyak. Jika 2019 ada 16 parpol, 2024 bertambah menjadi 18 parpol.

Namun, pada 2024 nanti, kerja salinan tidak dilakukan petugas secara manual. KPU mengubahnya dengan menggunakan sistem scanner. Salinan yang di-scan dapat dikopi sebanyak yang dibutuhkan. “Tapi, tanda tangannya tetap harus menggunakan tanda tangan basah,” kata Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos.

Inovasi ini juga telah dituangkan dalam regulasi. Termasuk penganggarannya. Nanti, dalam anggaran pendirian TPS, sewa alat scanner menjadi satu item baru yang ditambahkan. “Kami ingin menyisihkan sedikit untuk sewa,” imbuhnya.

Selain menambah sentuhan teknologi, inovasi lain yang disiapkan adalah mendesain sistem panel ketika penghitungan di TPS. Berbeda dengan sebelumnya yang digarap ramai-ramai, pada 2024 penghitungan akan dilakukan dua kelompok. Panel satu menghitung surat suara Pilpres dan DPD. Panel kedua khusus menghitung surat suara DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. “Di setiap TPS kan kita punya tujuh anggota KPPS. Nah, nantinya KPPS bisa kita bagi dua,” ujarnya.

Sistem baru tersebut, lanjut dia, sudah dicoba dalam simulasi di sejumlah daerah. Sejauh ini cukup efektif untuk mempercepat kerja petugas. Desain itu telah tertuang dalam rancangan peraturan KPU tentang pemungutan dan penghitungan suara. Sebelum disahkan, KPU akan lebih dulu berkonsultasi dengan pemerintah, DPR, serta stakeholder kepemiluan lainnya.

Sebab, lanjut Betty, perubahan itu memberikan sejumlah implikasi. Misalnya, apakah menyulitkan para saksi dan pengawas atau tidak. “Biasanya kan saksi-saksi antara parpol dan presiden sama. Nah, tentu ini akan kami komunikasikan. Tapi, kami optimistis bisa diterapkan,” paparnya.

Dengan inovasi itu, diharapkan beban kerja menjadi berkurang. Kendati begitu, hak para petugas akan dinaikkan menjadi dua kali lipat. Untuk ketua KPPS misalnya. Ada kenaikan dari Rp550 ribu menjadi Rp1,2 juta. Lalu, untuk anggota KPPS naik dari Rp500 ribu menjadi Rp1,1 juta dan petugas linmas naik dari Rp400 ribu menjadi Rp700 ribu.

Selain itu, untuk mengantisipasi tragedi seperti 2019, sistem seleksi petugas juga bakal diperbaiki. Selain dibatasi usia 55 tahun, masyarakat penderita komorbid dilarang mengajukan diri sebagai petugas.

 

Opsi dari Masyarakat Sipil

Elemen masyarakat sipil juga menggagas inovasi. Tujuannya meringankan kerja petugas. Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), misalnya. Bersama The International IDEA, Netgrit memperkenalkan sistem aplikasi yang bisa digunakan petugas TPS.

Hadar Nafis Gumay, pendiri Netgrit yang juga mantan komisioner KPU RI, mengatakan, tawaran solusi KPU dengan menggunakan scanner memang bisa jadi alternatif. Namun, cara itu terbilang tidak efisien dari sisi anggaran. Jika hanya satu alat, memang terlihat murah. “Tapi, kan kita ada sebanyak 800 ribuan TPS,” ungkapnya.

Aplikasi yang dibangun Netgrit sendiri, lanjut Hadar, memiliki sistem kerja mudah. Petugas cukup menginput hasil rekapitulasi suara yang ada pada C1 ke aplikasi. Data itu nanti terkonsolidasi dan dapat diubah menjadi pdf yang dapat dengan mudah dibagikan kepada para saksi. “Tanda tangan bisa gunakan digital,” imbuhnya.

Tantangannya tinggal pada modifikasi regulasi. Dia mengakui UU Pemilu sekarang mewajibkan salinan dibagikan dalam bentuk eksemplar. Namun, Hadar mengungkapkan bahwa eksemplar dalam situasi sekarang tidak mesti dimaknai fisik.

Hadar menuturkan, pihaknya akan mengusulkan desain tersebut kepada KPU RI. Dia berharap KPU dapat memikirkan inovasi tersebut. “Jadi, kami berupaya untuk ikut mencari jalan agar proses di TPS itu menjadi lebih ringan, lebih cepat, lebih akurat,” jelasnya.

Secara sistem, aktivis kepemiluan itu menyebut cukup kompatibel digunakan di berbagai merek handphone yang familier di Indonesia dengan spesifikasi yang tidak terlalu berat. Dengan begitu, dapat terjangkau para petugas TPS. Teknologinya pun dibuat sepenuhnya oleh ahli dari dalam negeri.

Sementara itu, anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan, inovasi KPU terkait sistem panel memiliki tujuan baik. Yakni, meringankan beban petugas. Namun, dari sisi pengawasan, bisa jadi persoalan bagi Bawaslu. Sebagaimana ketentuan, pengawas TPS hanya dijatah satu sesuai UU. “Kalau panelnya dibagi dua, akan ada satu panel yang tidak mampu diawasi secara melekat,” terangnya.

Saat ini, pihaknya tengah melakukan kajian terkait metode tersebut. Salah satu opsi yang muncul adalah dengan menambahkan staf bawah kendali operasi (BKO) ke TPS. “Sehingga tidak melanggar UU,” ujarnya.

 

Mesti Gandeng Ahli Buat Konten Kreatif

Diketahui, pemilih Pemilu 2024 didominasi anak muda. Karena itu, penyelenggara harus menggencarkan sosialisasi. Baik melalui media arus utama maupun media sosial. Bahkan, bila perlu menggandeng ahli untuk dapat membuat konten kreatif. Harapannya, partisipasi pemilih muda menjadi tinggi.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin mengatakan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu. Pertama, profesionalitas dan integritas harus dimiliki penyelenggara pemilu. Mulai pusat sampai daerah. “Dari proses rekrutmen penyelenggara di daerah harus dilakukan dengan benar. Yang dari awal sudah bermasalah, bagaimana mereka mau menyelenggarakan pemilu dengan baik?” ucap Yanuar.

Berikutnya, lanjut politikus PKB itu, pemerintah dan penyelenggara harus menyiapkan antisipasi dan jaminan sosial. Yaitu, antisipasi jika terjadi yang tidak diinginkan. Misalnya, petugas yang sakit atau meninggalkan dunia. “Jangan sampai kejadian pada Pemilu 2019 terulang lagi. Ada ratusan petugas meninggal dunia,” tegasnya.

Kedua, pelaksanaan pemilu. Mulai kampanye, pencoblosan, hingga penghitungan. Penyelenggara harus memastikan tiga hal itu bisa berjalan baik. Menurut Yanuar, KPU harus sudah melakukan simulasi-simulasi. “Jangan sampai proses penghitungan terlalu lama, karena akan bahaya bagi petugas,” ujarnya.

Kampanye juga harus diatur dengan baik. Dengan demikian, tidak terjadi gesekan antar pendukung. Selain itu, aksi saling menghujat dan menyerang perlu diantisipasi. Para kandidat harus mengampanyekan gagasan, bukan kebencian.

Yang tak kalah pentingnya adalah sosialisasi. Yanuar mengatakan, sosialisasi harus secara masif sehingga masyarakat antusias menyambut dan ikut serta dalam pemilu. Anak-anak muda, baik generasi Z maupun milenial, akan mendominasi pemilih. Karena itu, sosialisasi harus digencarkan.

Legislator asal dapil Jawa Barat itu menambahkan, generasi muda akrab dengan media sosial. Karena itu, sosialisasi melalui media digital harus dimasifkan. Penyelenggara bisa menggandeng ahli dalam menyusun rencana sosialisasi dan pembuatan konten kreatif. “Sekarang konten menjadi raja,” ungkapnya.

Dengan konten menarik dan kreatif, anak-anak muda akan menjadi tertarik untuk melihat dan mengikutinya. Mereka pun akan gampang dipengaruhi untuk aktif menjadi pemilih pada pesta demokrasi lima tahunan itu. Sosialisasi juga penting melibatkan media mainstream yang memiliki trust. (lum/c17/hud)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/