Tapi Fayakhun ngotot meminta surat yang dikirimkan DPP Golkar pimpinan Agung Laksono itu dibacakan dalam sidang tersebut. Bahkan, kalau Fahri tidak bersedia membacakan, dia meminta diberi izin membacakan isi suratnya.
“Sesuai tatib dan UU MD3, maka kami meminta surat itu dibacakan hari ini. Suratnya sudah ada pimpinan, saya pegang tanda terimanya. Kalau tidak berkenan bacakan, izinkan saya bacakan isi suratnya,” kata Fayakhun.
Tapi, Fahri Hamzah kukuh tidak bisa dibacakan. Untuk menjaga jalannya sidang, Fahri meminta agar sidang dilanjutkan dulu dengan pembacaan pidato pembukaan masa sidang oleh Ketua DPR Setya Novanto.
“Maaf Pak ya, tadi sudah disampaikan prosesnya, jadi tidak bisa. Nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena suratnya belum ada. Sebaiknya kita dengar dulu pidato Ketua DPR, nanti kalau mau interupsi silakan,” pungkasnya. Sidang kemudian dilanjutkan kembali sesuai jadwal.
Politikus Partai Golkar, yang juga anggota DPR asal Sumut, Meutya Hafid, meminta koleganya tak membawa persoalan internal partai ke sidang paripurna DPR. Menurut Meutya, seharusnya anggota Fraksi Partai Golkar tak dipaksa memilih menjadi bagian dari kubu Aburizal atau Agung. “Permasalahan ini sudah membuat kader Golkar khawatir,” kata Meutya, Senin (23/3).
Dia menuturkan tak elegan membawa persoalan ini ke paripurna. Menurut dia, mayoritas anggota Fraksi Golkar taat pada asas dan garis partai. “Tidak pada perseorangan atau sosok,” ujarnya.
Meutya mengaku tak ingin terlibat jauh dalam polemik kepengurusan yang melibatkan kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Menurut dia, seharusnya kader Golkar mengikuti garis partai yang memiliki dasar hukum. “Kami masuk politik untuk bekerja, bukan bekerja untuk berpolitik,” ucapnya.
Menurut anggota Komisi Pertahanan ini, Mahkamah Partai Golkar sudah memberikan waktu transisi hingga 2016. Dia menyarankan pihak-pihak yang bertikai saat ini tak lagi maju dalam Munas Golkar mendatang. “Biarkan kader muda yang maju, sehingga mendorong regenerasi di Golkar,” kata Meutya. (bbs/fat/jpnn/val)