29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Ma’ruf Amin Tak Cocok Jadi Cawapres

Ma’ruf Amin bertemu Presiden Jokowi, beberapa waktu lalu.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin, disebut bukan figur terbaik untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) pendamping Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2019 mendatang. Ma’ruf dinilai lebih dibutuhkan menjadi ulama panutan yang menjaga kerukunan NKRI dan keberagamannya.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin menyampaikan, Presiden Jokowi berhak memilih figur yang akan mendampinginya pada pilpres tahun depan, demikian juga Ma’ruf memiliki hak politik. Namun, kata Ujang, Indonesia memerlukan pemimpin yang lebih muda, berintegritas, dan berpengalaman.

“Yang berintegritas dan terbaik. Kan masih banyak figur lain yang bisa dan mumpuni. Ma’ruf itu levelnya menjadi ulama panutan yang menjaga kerukunan umat,” tutur Ujang, saat dihubungi wartawan, Jumat (27/7).

Ma’ruf yang saat ini berusia 75 tahun, juga dinilai tidak menjamin memberi peningkatan elektoral untuk Jokowi. Pasalnya, ia tidak berpengalaman di dunia politik dan pemerintahan, serta namanya tidak masuk dalam hasil survei cawapres sejumlah lembaga.

Ujang menyampaikan, sejarah mencatat, mengusung ulama sebagai cawapres tidak jaminan mendongkrak elektabilitas, apalagi menang. Hal itu terjadi pada Pemilu 2004 saat pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, dan Wiranto-Salahudin Wahid, yang kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. “Jadi, bisa saja cerita masa lalu ini kembali, tergantung tingkat kesukaan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tersebut.

Memilih Ma’ruf menjadi cawapres, juga dikhawatirkan membuka potensi terjadinya konflik. Alasannya, cawapres pasti akan mendapat serangan politik dari kubu lawan, dan serangan politik terhadap personal Ma’ruf, bisa melebar jadi serangan terhadap ulama secara menyeluruh. “Ketika dikritik orang, maka pendukungnya protes,” jelas Ujang.

Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum DPP Partai Hanura Petrus Selestinus, menyampaikan hal senada. Menurutnya, Ma’ruf lebih bijak diposisikan sebagai tokoh bangsa dan tidak menjadi cawapres.

Petrus menyampaikan, cawapres Jokowi seharusnya adalah figur yang lebih muda, sehingga optimal membantu pekerjaan presiden. “Terlepas dari semua kebesaran Ma’ruf, beliau sudah tua, tidak pas untuk kebutuhan bangsa saat ini,” ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, Ma’ruf juga minim pengalaman di politik, sehingga tidak menjanjikan bisa menambah elektoral Jokowi. “Sebaiknya jadi figur yang menjadi tempat bertanya tokoh-tokoh bangsa. Kan ini lebih baik, lebih elok,” pungkas Petrus. (rel/saz)

Ma’ruf Amin bertemu Presiden Jokowi, beberapa waktu lalu.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO -Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma’ruf Amin, disebut bukan figur terbaik untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) pendamping Joko Widodo (Jokowi) pada Pemilu 2019 mendatang. Ma’ruf dinilai lebih dibutuhkan menjadi ulama panutan yang menjaga kerukunan NKRI dan keberagamannya.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komarudin menyampaikan, Presiden Jokowi berhak memilih figur yang akan mendampinginya pada pilpres tahun depan, demikian juga Ma’ruf memiliki hak politik. Namun, kata Ujang, Indonesia memerlukan pemimpin yang lebih muda, berintegritas, dan berpengalaman.

“Yang berintegritas dan terbaik. Kan masih banyak figur lain yang bisa dan mumpuni. Ma’ruf itu levelnya menjadi ulama panutan yang menjaga kerukunan umat,” tutur Ujang, saat dihubungi wartawan, Jumat (27/7).

Ma’ruf yang saat ini berusia 75 tahun, juga dinilai tidak menjamin memberi peningkatan elektoral untuk Jokowi. Pasalnya, ia tidak berpengalaman di dunia politik dan pemerintahan, serta namanya tidak masuk dalam hasil survei cawapres sejumlah lembaga.

Ujang menyampaikan, sejarah mencatat, mengusung ulama sebagai cawapres tidak jaminan mendongkrak elektabilitas, apalagi menang. Hal itu terjadi pada Pemilu 2004 saat pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, dan Wiranto-Salahudin Wahid, yang kalah oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. “Jadi, bisa saja cerita masa lalu ini kembali, tergantung tingkat kesukaan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Political Review tersebut.

Memilih Ma’ruf menjadi cawapres, juga dikhawatirkan membuka potensi terjadinya konflik. Alasannya, cawapres pasti akan mendapat serangan politik dari kubu lawan, dan serangan politik terhadap personal Ma’ruf, bisa melebar jadi serangan terhadap ulama secara menyeluruh. “Ketika dikritik orang, maka pendukungnya protes,” jelas Ujang.

Secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Hukum DPP Partai Hanura Petrus Selestinus, menyampaikan hal senada. Menurutnya, Ma’ruf lebih bijak diposisikan sebagai tokoh bangsa dan tidak menjadi cawapres.

Petrus menyampaikan, cawapres Jokowi seharusnya adalah figur yang lebih muda, sehingga optimal membantu pekerjaan presiden. “Terlepas dari semua kebesaran Ma’ruf, beliau sudah tua, tidak pas untuk kebutuhan bangsa saat ini,” ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, Ma’ruf juga minim pengalaman di politik, sehingga tidak menjanjikan bisa menambah elektoral Jokowi. “Sebaiknya jadi figur yang menjadi tempat bertanya tokoh-tokoh bangsa. Kan ini lebih baik, lebih elok,” pungkas Petrus. (rel/saz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/