Inspirasi dari Morrie dan Kotler

MARKETING SERIES (95)

HUT ke-65 saya jatuh pada 18 November 2012. Malam itu, saya terbang ke Seoul untuk bertemu dengan Profesor Philip Kotler. Keesokan harinya, saya bicara berdua dengan Philip di suatu seminar besar yang diselenggarakan oleh Federation of Korean Industries atau FKI.

Organisasi para chaebol atau konglomerat Korea itu berdiri sejak 1961. Dan seminar tersebut diselenggarakan International Management Institute atau IMI –organisasi afiliasi nonprofitnya.

Mereka minta kami bicara sekali lagi tentang Marketing 3.0. Padahal, enam bulan lalu saya sendiri baru diundang juga oleh FKI-IMI untuk bicara tentang hal yang sama di Jeju Island. Korea merupakan negara di mana penerbit lokalnya sampai harus bayar seratus ribu dolar kepada John Wiley untuk memenangi hak penerjemahannya.

Kenyataannya, buku itu laris manis di negara Gangnam Style yang ibu kotanya sering disebut sebagai smart city itu. Sebuah bukti lagi, semakin banyak orang yang terkoneksi satu sama lain oleh internet, mereka pun semakin ingin menjalankan marketing with human spirit.
Sudah lima tahun terakhir ini, sejak masuk usia 60 tahun, saya jadi ingat pada Tuesdays with Morrie, buku nonfiksi yang ditulis Mitch Albom. Buku yang terbit kali pertama pada 1997 itu luar biasa. Penulisnya, Mitch, menceritakan pembicaraan terakhirnya selama empat belas hari Selasa dengan mantan profesornya di Brandeis University.

Setelah enam belas tahun tidak bertemu dan melihat Profesor Morrie Schwartz di acara TV Nightline, Mitch tahu bahwa guru sosiologinya itu lagi kena kanker yang tidak bisa disembuhkan. Karena itulah, tiap Selasa dia selalu terbang dari Michigan ke Massachusetts dengan membawa makanan dan mengajak Morrie ngobrol sampai sang profesor meninggal.

Nah, yang luar biasa, Morrie yang sudah berusia 78 tahun dan menjelang ajal itu menggunakan empat belas pertemuan tersebut untuk tetap mengajarkan human spirit kepada mantan mahasiswanya itu. Di akhir buku, Mitch menulis bahwa sebenarnya dirinya melakukan itu karena uang muka dari penerbit digunakan untuk biaya pengobatan Morrie yang hidup sendirian pada hari-hari terakhirnya itu.

Mitch sendiri juga mengaku berubah jadi orang yang sadar bahwa tidak ada hidup bahagia tanpa cinta setelah menulis buku itu. Sebagai penulis, Mitch merasa bahwa media menampilkan banyak berita perang, kematian, teror, kekejaman, dan depresi untuk merebut sirkulasi. Padahal, Morrie sering mengutip kata-kata bijak favoritnya dari W.H. Auden, yaitu love each other or perish. Buku itu sendiri jadi New York Times Non-Fiction Bestsellers of 2000 serta diadaptasi menjadi film oleh Thomas Rickman dengan bantuan Oprah Winfrey dan dibintangi Jack Lemmon dan Hank Azaria.

Philip Kotler sekarang sudah berusia 81 tahun dan masih sangat sehat. Tapi, saya tidak mau kayak Mitch yang hanya sempat belajar tentang human spirit dari seniornya di empat minggu terakhir.

Setiap bertemu dengan Profesor Philip Kotler yang The Father of Modern Marketing itu, saya selalu berusaha menyerap life wisdom-nya. Termasuk pas di hari ulang tahun saya yang ke-65 tiga hari lalu, di mana saya bersama dia seharian penuh. Sebagai concept originator dari Marketing 3.0, saya bersyukur karena sebagai orang yang 16 tahun lebih muda berani menawarkan konsep human spirit kepada beliau untuk di-blend dengan marketing.

Selama 14 tahun kerja bareng dengan Kotler, saya paling mengagumi satu karakter, yaitu mau mendengarkan orang lain. Dia tidak hanya terus mengajar sampai akhir hayat seperti Morrie Schwartz. Tapi, dia kayaknya mau mendengar sampai akhir hayat nanti. Karena itulah, Philip Kotler lantas banyak mendengar dan mau menulis dengan berbagai co-author yang lebih muda daripada dirinya.

Saya beruntung karena banyak didengar. Karena itu, saya sudah menerbitkan enam buku non-textbook bersama dia. Pada hari ini saya bertekad untuk jadi Morrie yang tetap mengajar dan seperti Kotler yang tetap belajar. Kalau bisa, sampai detik terakhir dalam hidup. (*)