25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Aku Menyebutnya…

Ester Pandiangan

Aku menyebutnya semesta, karena dia mempunyai semua. Sampai-sampai aku sempat berpikir mungkin Yang Maha Kuasa teledor menempatkan begitu banyak talenta kepadanya atau mungkin saja dia air susu Hera yang memuncrat? Aku menyebutnya gravitasi, karena semua yang bernafas, bergerak, berputar, menjadikan dia sebagai pusat dan poros. Berada di koordinat dan beritme ya karena dia.

Aku menyebutnya bilangan bulat karena banyak yang berpendapat, semesta dan gravitasi adalah dua kata yang berlebihan. Makanya aku memilih bilangan bulat. Walaupun sama-sama menunjukkan keutuhan setidaknya lebih manusiawi.
Aku menggambarkan matanya seumpama pertigaan dari bulan purnama.Yang membentuk lengkung sempurna seperti bulan sabit. Lengkap dengan kulit seputih susu dan pipi kemerahan tertampar sinar matahari.
Tapi apa mungkin matahari menyinari matahari? Karena aku juga menyebutnya bias surya. Bagaimana rembesan matahari pagi memasuki celah-celah jendela kamarmu dan menimpa sebentuk wajah yang selalu memimpikan rupa itu-itu saja.
Bercerita tentang tawanya mengingatkan aku pada perasaan petani desa ketika menerima kabar panen padinya sukses besar. Ceria, lepas, selega tarikan nafas
pertamamu ketika terbangun dari mimpi buruk.

Kurasa aku tak perlu berpanjang lebar melukis tentang senyumnya. Satu-satunya garis yang dapat menciptakan lengkung tanpa kebosanan. Saking sempurnanya sosok sebuah dia, aku mengira dia adalah bintang jatuh yang terlambat kembali ke langit lalu menetap di bumi.

Sebenarnya dia adalah manusia pada umumnya. Seperti kau dan juga aku. Tapi buatku dia begitu luar biasa. Tidak ada kata-kata yang bisa menerjemahkan dia. Alfabet pun tak sanggup merantai satu demi satu untuk menjelaskan sebuah dia.
Aku begitu memujanya. Membanggakannya. Sampai-sampai setiap berjumpa dengannya aku selalu menyumpah dalam hati, kenapa sebuah kesempurnaan seperti dia bisa tersesat di tempat yang penuh dengan kata biasa seperti ini.
Seorang teman yang melihat obsesiku, geleng-geleng sambil bekata, “Hei, sadarlah! Kau terlalu berlebihan menggambarkan dia! Mungkin otak pujanggamu terlalu bermain. Atau pikiranmu sudah penuh terjejali dengan syair-syair picisan yang selalu kau baca sebelum tidur. Membuat kau tidak bisa membedakan lagi yang mana Romeo, Sukab, Samsul Bahri sampai Edward manusia vampir yang digilai remaja-remaja perempuan berpikiran sempit!”
Aku sedikit tersinggung. Kenapa perasaanku dipertanyakan. Apa aku salah mendeskripsikan dia seperti itu. Bukannya yang kuuraikan tadi adalah memang benar-benar rupa dia di mataku. Jadi aku salah?
“Aku tidak kenal Edward karena aku tidak membaca Stephenie Meyer. Aku hanya menikmati Kahlil Gibran dengan kesedihan cintanya, Seno Gumira Ajidarma dengan kegigihannya, Putu Wijaya dengan kepolosannya dan Djenar dengan ketelanjangannya,” aku membela diri.

“Yah, oke…oke…seseorang yang dilanda api asmara memang tak bisa lagi memandang dengan seimbang. Ada katarak yang menutup matanya ha-ha-ha….”
“Kau boleh tertawa tapi biarkan aku tenang dengan imajinasiku tentang dia!”
“Baiklah, selamat bermimpi dan semoga lekas-lekas bangun!”
Dan aku menelan nasehat-nasehatnya untuk memuntahkannya. Lantas, kembali ke rutinitasku. Duduk di altar pemujaanku dengan dia sebagai dewanya.

***
Pernahkah aku bercerita tentang bagian terbaik dari mencintainya? Jawabannya adalah banyak. Berjuta bahkan berlaksa. Tidak terbendung dan tidak terbatas. Menceritakan tentang dia membutuhkan bermilyar kata sedang mencintai dia hanya membutuhkan satu saja. Tidak seperti yang dikatakan Dorothy untuk Maguire atau alasan yang disebutkan Mike kepada Abby, “I just love you…” Bernafas. Biarkan dia menarik nafas maka aku sudah mencintainya.
Sejujurnya, tak ada yang baik ataupun terbaik. Karena semua tentang dia adalah keajaiban. Sepetik keajaiban yang akan membawa aku pada keajaiban-keajaiban lainnya. Keajaiban pertama adalah saat dia tersenyum. Tertawa dan menyapaku dengan sapaan khasnya, “Sudah makan siang?”

Aku sangat sadar. Benar-benar sadar. Kalau tak hanya kepadaku saja, dia menanyakan ini kepada semua orang. Semua yang ada di kantor ini. Namun tetap saja dendang suaranya seperti bel. Lonceng gereja yang berdentang. Lonceng tahun baru yang melentang. Yang memberitahukan hari baru akan dimulai, masa yang baru akan segera dilakoni. Semua tersenyum, semua bahagia karena ada harapan baru. Ya, aku selalu mendapat harapan baru setiap kali dia menanyakan itu padaku.
Keajaiban pertama menetas, keajaiban-keajaiban selanjutnya beranak-pinak, melahirkan itik-itik keajaiban yang kian menit tumbuh memega-mega. Jangan cerita, jika mendengar tegukan air yang mengairi mulut dan kerongkongannya. Tahukah, hanya dengan itu saja dia sudah menciptakan gempa 5 skala ritcher di pualam seorang gadis?

***
Bagaimana sebuah cerita bisa memiliki akhir bila tiada pernah memiliki awalan. Bisakah sebuah kalimat memiliki tanda titik jika terlampau banyak koma pencipta jeda di sela-sela katanya? Sejak awal aku sudah tahu, cinta ini tak akan mungkin terbalas. Setidaknya di kehidupan sekarang. Bukan karena dia sempurna sedang aku jauh dari sempurna. Juga bukan karena sudra dilarang mencintai seorang brahmana atau manusia dilarang bersatu dengan malaikat–seperti Meg Ryan dan Nicholas Cage. Bukan itu!

Masalahnya dia sudah menemukan kesempurnaan yang lain. Ibarat pecahan dari sebuah kepingan, dia sudah menemukan retakan yang menyempurnakannya, membuat dia utuh. Bukan lagi serpihan mengambang mencari bagiannya yang hilang, juga bukan pecahan dan desimal melainkan bulat. Utuh. Seumpama yin yang.
***
Tidak pernah ada dua bulan yang menjelajah di malam yang sama. Lantas, mengapa tidak dikerat saja bulan yang satunya lalu disimpan dalam saku. Atau gunting membentuk bintang dan biarkan bulan gemintang tetap menjadi ratu malam. Jangan terlampau bersetia kepada tiramisu yang manis menggeligih. Tak ada salahnya menikmati pisang goreng bersama secangkir kopi pahit di sore hari.
Akhirnya, jika yang tersirat tak akan pernah cukup sehingga semua harus tersurat, bisa tidak aku meminta secuil hatimu untuk aku rekatkan pada nganga di hatiku? Hanya sepipih saja. Jadikan aku pengganjal. Selingan. Sebagai dessert bukan main course. Sebagai kopi pahit bukan air putih.

Datang saja bila kau sedang tak ingin berjalan lurus tetapi berbelok sekadar menapaki jalan setapak sembari menari tanpa beban. Sebuah pintu akan selalu terbuka dengan teras yang sudah disapu bersih. Ada dua kursi, meja, lengkap dengan keripik ubi sebagai camilan mengulum senja.
Dan dia pun menjawab, “Laki-laki yang memegang dua kuntum sama dengan sungai yang bercerabang……..” Membuat aku memaku tanya dalam hati, mampukah aku melihat jejak iblis dalam rupa malaikatnya?
***
Candu. Aku menyebutnya candu, karena aku menyublim menjadi pemadat sejak mengenalnya dan menjadi sakau bila tidak ada dia. Dan sekarang, aku sedang menjalani rehabilitas untuk sakitku ini.
***
Medan, 2007-2010

Ester Pandiangan

Aku menyebutnya semesta, karena dia mempunyai semua. Sampai-sampai aku sempat berpikir mungkin Yang Maha Kuasa teledor menempatkan begitu banyak talenta kepadanya atau mungkin saja dia air susu Hera yang memuncrat? Aku menyebutnya gravitasi, karena semua yang bernafas, bergerak, berputar, menjadikan dia sebagai pusat dan poros. Berada di koordinat dan beritme ya karena dia.

Aku menyebutnya bilangan bulat karena banyak yang berpendapat, semesta dan gravitasi adalah dua kata yang berlebihan. Makanya aku memilih bilangan bulat. Walaupun sama-sama menunjukkan keutuhan setidaknya lebih manusiawi.
Aku menggambarkan matanya seumpama pertigaan dari bulan purnama.Yang membentuk lengkung sempurna seperti bulan sabit. Lengkap dengan kulit seputih susu dan pipi kemerahan tertampar sinar matahari.
Tapi apa mungkin matahari menyinari matahari? Karena aku juga menyebutnya bias surya. Bagaimana rembesan matahari pagi memasuki celah-celah jendela kamarmu dan menimpa sebentuk wajah yang selalu memimpikan rupa itu-itu saja.
Bercerita tentang tawanya mengingatkan aku pada perasaan petani desa ketika menerima kabar panen padinya sukses besar. Ceria, lepas, selega tarikan nafas
pertamamu ketika terbangun dari mimpi buruk.

Kurasa aku tak perlu berpanjang lebar melukis tentang senyumnya. Satu-satunya garis yang dapat menciptakan lengkung tanpa kebosanan. Saking sempurnanya sosok sebuah dia, aku mengira dia adalah bintang jatuh yang terlambat kembali ke langit lalu menetap di bumi.

Sebenarnya dia adalah manusia pada umumnya. Seperti kau dan juga aku. Tapi buatku dia begitu luar biasa. Tidak ada kata-kata yang bisa menerjemahkan dia. Alfabet pun tak sanggup merantai satu demi satu untuk menjelaskan sebuah dia.
Aku begitu memujanya. Membanggakannya. Sampai-sampai setiap berjumpa dengannya aku selalu menyumpah dalam hati, kenapa sebuah kesempurnaan seperti dia bisa tersesat di tempat yang penuh dengan kata biasa seperti ini.
Seorang teman yang melihat obsesiku, geleng-geleng sambil bekata, “Hei, sadarlah! Kau terlalu berlebihan menggambarkan dia! Mungkin otak pujanggamu terlalu bermain. Atau pikiranmu sudah penuh terjejali dengan syair-syair picisan yang selalu kau baca sebelum tidur. Membuat kau tidak bisa membedakan lagi yang mana Romeo, Sukab, Samsul Bahri sampai Edward manusia vampir yang digilai remaja-remaja perempuan berpikiran sempit!”
Aku sedikit tersinggung. Kenapa perasaanku dipertanyakan. Apa aku salah mendeskripsikan dia seperti itu. Bukannya yang kuuraikan tadi adalah memang benar-benar rupa dia di mataku. Jadi aku salah?
“Aku tidak kenal Edward karena aku tidak membaca Stephenie Meyer. Aku hanya menikmati Kahlil Gibran dengan kesedihan cintanya, Seno Gumira Ajidarma dengan kegigihannya, Putu Wijaya dengan kepolosannya dan Djenar dengan ketelanjangannya,” aku membela diri.

“Yah, oke…oke…seseorang yang dilanda api asmara memang tak bisa lagi memandang dengan seimbang. Ada katarak yang menutup matanya ha-ha-ha….”
“Kau boleh tertawa tapi biarkan aku tenang dengan imajinasiku tentang dia!”
“Baiklah, selamat bermimpi dan semoga lekas-lekas bangun!”
Dan aku menelan nasehat-nasehatnya untuk memuntahkannya. Lantas, kembali ke rutinitasku. Duduk di altar pemujaanku dengan dia sebagai dewanya.

***
Pernahkah aku bercerita tentang bagian terbaik dari mencintainya? Jawabannya adalah banyak. Berjuta bahkan berlaksa. Tidak terbendung dan tidak terbatas. Menceritakan tentang dia membutuhkan bermilyar kata sedang mencintai dia hanya membutuhkan satu saja. Tidak seperti yang dikatakan Dorothy untuk Maguire atau alasan yang disebutkan Mike kepada Abby, “I just love you…” Bernafas. Biarkan dia menarik nafas maka aku sudah mencintainya.
Sejujurnya, tak ada yang baik ataupun terbaik. Karena semua tentang dia adalah keajaiban. Sepetik keajaiban yang akan membawa aku pada keajaiban-keajaiban lainnya. Keajaiban pertama adalah saat dia tersenyum. Tertawa dan menyapaku dengan sapaan khasnya, “Sudah makan siang?”

Aku sangat sadar. Benar-benar sadar. Kalau tak hanya kepadaku saja, dia menanyakan ini kepada semua orang. Semua yang ada di kantor ini. Namun tetap saja dendang suaranya seperti bel. Lonceng gereja yang berdentang. Lonceng tahun baru yang melentang. Yang memberitahukan hari baru akan dimulai, masa yang baru akan segera dilakoni. Semua tersenyum, semua bahagia karena ada harapan baru. Ya, aku selalu mendapat harapan baru setiap kali dia menanyakan itu padaku.
Keajaiban pertama menetas, keajaiban-keajaiban selanjutnya beranak-pinak, melahirkan itik-itik keajaiban yang kian menit tumbuh memega-mega. Jangan cerita, jika mendengar tegukan air yang mengairi mulut dan kerongkongannya. Tahukah, hanya dengan itu saja dia sudah menciptakan gempa 5 skala ritcher di pualam seorang gadis?

***
Bagaimana sebuah cerita bisa memiliki akhir bila tiada pernah memiliki awalan. Bisakah sebuah kalimat memiliki tanda titik jika terlampau banyak koma pencipta jeda di sela-sela katanya? Sejak awal aku sudah tahu, cinta ini tak akan mungkin terbalas. Setidaknya di kehidupan sekarang. Bukan karena dia sempurna sedang aku jauh dari sempurna. Juga bukan karena sudra dilarang mencintai seorang brahmana atau manusia dilarang bersatu dengan malaikat–seperti Meg Ryan dan Nicholas Cage. Bukan itu!

Masalahnya dia sudah menemukan kesempurnaan yang lain. Ibarat pecahan dari sebuah kepingan, dia sudah menemukan retakan yang menyempurnakannya, membuat dia utuh. Bukan lagi serpihan mengambang mencari bagiannya yang hilang, juga bukan pecahan dan desimal melainkan bulat. Utuh. Seumpama yin yang.
***
Tidak pernah ada dua bulan yang menjelajah di malam yang sama. Lantas, mengapa tidak dikerat saja bulan yang satunya lalu disimpan dalam saku. Atau gunting membentuk bintang dan biarkan bulan gemintang tetap menjadi ratu malam. Jangan terlampau bersetia kepada tiramisu yang manis menggeligih. Tak ada salahnya menikmati pisang goreng bersama secangkir kopi pahit di sore hari.
Akhirnya, jika yang tersirat tak akan pernah cukup sehingga semua harus tersurat, bisa tidak aku meminta secuil hatimu untuk aku rekatkan pada nganga di hatiku? Hanya sepipih saja. Jadikan aku pengganjal. Selingan. Sebagai dessert bukan main course. Sebagai kopi pahit bukan air putih.

Datang saja bila kau sedang tak ingin berjalan lurus tetapi berbelok sekadar menapaki jalan setapak sembari menari tanpa beban. Sebuah pintu akan selalu terbuka dengan teras yang sudah disapu bersih. Ada dua kursi, meja, lengkap dengan keripik ubi sebagai camilan mengulum senja.
Dan dia pun menjawab, “Laki-laki yang memegang dua kuntum sama dengan sungai yang bercerabang……..” Membuat aku memaku tanya dalam hati, mampukah aku melihat jejak iblis dalam rupa malaikatnya?
***
Candu. Aku menyebutnya candu, karena aku menyublim menjadi pemadat sejak mengenalnya dan menjadi sakau bila tidak ada dia. Dan sekarang, aku sedang menjalani rehabilitas untuk sakitku ini.
***
Medan, 2007-2010

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/