30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Porkas

Orang  baik itu,  yang tubuhnya ditutup kain putih dan baru saja dua perawat berpakaian putih mendorongnya ke ruang mayat rumah sakit itu,  jadi mayat tanpa identitas. Lantaran satu dan lain hal yang akan aku jelaskan nanti, bukan cuma tak ada yang menangis saat maut menemuinya,  tapi juga  tak ada seorang kerabat pun yang menemani detik-detik  terakhir  itu.

Cerpen  Budi Hatees

Dokter Yulius, dokter muda yang bertugas sebagai dokter jaga pada malam itu adalah dokter yang memastikan bahwa orang baik itu sudah meninggal beberapa saat  sebelum tiba di rumah sakit. “Siapa yang mengantarkan orang ini?” Ia  bertanya kepada dua perawat jaga.  Kedua perawat  itu  saling pandang, lalu menggeleng, lalu serentak mereka menyebut nama Firkah.

Tapi Firkah, satpam yang bertugas malam itu, tak punya penjelasan apapun. Ia hanya bicara tentang seorang laki-laki berseragam safari warna hitam-hitam,  masih sangat muda, dan potongan rambutnya cepak.  “Ia datang mengantar orang itu, lalu izin mau memberi kabar kepada keluarganya,” katanya.

*

Dokter Yulius masih sangat muda, sekitar 30 tahunan. Tak terlalu  tampan, tapi ketidaktampanannya segera akan diabaikan orang jika tahu bahwa ia seorang dokter. Ia membuka praktik di rumahnya di kawasan Teladan, di pinggir Jalan Sisingamangaraja yang ramai dan riuh, dan pasiennya selalu bertambah setiap hari.  Tapi rezeki yang melimpah itu tak membuatnya menjadi angkuh, tetap saja rendah hati dan orang tak akan pernah menduga kalau ia seorang yang sukses dalam menjalani profesinya.

Pagi hari, Dokter Yulius mengumpulkan perawat yang mendapat giliran jaga pada jam ketika orang baik itu diantar ke rumah sakit.  Dua satpam yang mendapat tugas pada jam itu juga dipanggil.  Ada enam orang, empat perawat —tiga perempuan dan satu laki-laki—dan dua satpam, Firkah dan Sultoni. Keenamnya dikumpulkan di ruang pertemuan. Satu per satu ditanyainya bagaimana bisa seorang pasien ditinggalkan di rumah sakit sedangkan mereka tidak berusaha untuk mengetahui identitasnya.
Marlina, seorang perawat senior,  mengatakan dia dan rekan-rekannya tak sempat berpikir soal identitas itu karena pikiran mereka lebih fokus untuk memberikan pertolongan pertama.  “Kami baru menyadari keteledoran kami setelah pasien tak tertolong,” kata Marlina sambil menatap Dokter Yulius. “Kami minta maaf.”

Dokter Yulius diam, menarik nafas dalam-dalam, lalu menghamburkannya. “Ya, sudah. Kalian sudah berbuat yang seharusnya dilakukan perawat. Sayang, orang itu tak tertolong.” Dokter Yulius mengalihkan pandangan ke Firkah dan Sultoni, lalu katanya: “Kalian berdua kan tak terlibat soal pertolongan pertama.”

Firkah mengangguk. Ia mengakui keteledorannya, tapi ia membela diri karena mengira perawat jaga sudah mencatat data-data pasien. “Seharusnya saya mendampingi, dan saya memang melakukannya, tapi saya tak pernah bertanya tentang data-data pribadi.”  Firkah menatap Sultoni. “Kami mengajak ngobrol orang yang mengantar pasien itu, tapi kami tak pernah bertanya siapa dirinya.”

“Betul, Pak,” timpal Sultoni. “Kami tak memikirkan sampai ke arah itu.”
“Kalau dari penampilannya, orang itu jelas mengantar seseorang yang penting. Ia mengenakan safari, seperti pakaian yang biasa dikenakan para pengawal pejabat,” kata Firkah.

“Apa mungkin pasien itu seorang pejabat?” Dokter Yulius bertanya. “kalau benar, pasti akan ada yang mencarinya.”
Tapi, dua hari kemudian, tak ada seorang pun yang datang menanyakan mayat itu. Dokter Yulius tak mau pusing dan memanggil wartawan untuk memberitakan soal mayat itu. Ia menceritakan semuanya, lalu meminta wartawan menulis tentang ciri-ciri khusus pada mayat itu.

*

Muhammad Porkas, itulah nama orang baik yang malang itu. Ia seorang pejabat. Pada malam sebelum mendapat serangan jantung,  ia bertelepon dengan Junainah.  Aku duduk di sampingnya, mengendalikan setir mobil, berupaya membuat perjalanan kami senyaman mungkin.

Junainah, perempuan itu, pembantu di rumahnya, seorang gadis yang dibawanya dari sebuah desa di Kisaran. Ia sengaja memilih Junainah dari sekian banyak gadis yang ada di desa  itu. Tak terlalu cantik, tapi tubuhnya terlihat sehat dan segar. Itulah syarat yang dibuatnya bagi perempuan yang ingin bekerja menjadi pembantu di rumahnya. Untuk itu, ia bersedia memberi gaji besar.

Malam itu, kami hendak ke Kisaran, ke desa Junainah, untuk menemui orang tua gadis itu. Rencananya, Muhammad Porkas akan meminta izin untuk menikahi Junainah, langsung kepada ayahnya.  Ia ceritakan kalau keinginan itu murni dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tulus untuk menjadikan Junainah sebagai istrinya yang sah.

Sudah pernah keinginan itu disampikan langsung kepada Junainah. Cuma,  ia tak yakin Junainah mau. Gadis itu tak percaya, dan menuduh Muhammad Porkas hanya berniat untuk mencelakakannya.

Lewat telepon genggam, Muhammad Porkas bertanya kepada Junainah tentang  anaknya. “Kau menjaga anakku dengan baik?”  Muhammad Porkas sengaja membuka speaker telepon genggamnya.  “Aku sudah menggugurkannya.” Ketus suara Junainah. “Aku tak ingin anak haram itu.”

Seketika tubuh Muhammad Porkas menegang. Mulutnya menganga. Matanya melotot. Nafasnya terhenti. Jantungnya mendadak diam.

Aku, yang duduk di sampingnya, sontak menginjak rem. Aku tak berani menyentuh tubuhnya. Ia pernah bilang padaku, kalau serangan jantungnya tiba, biarkan saja. Bawa saja langsung ke rumah sakit, dan biarkan dokter yang menangani. Buru-buru aku bawa ia ke rumah sakit terdekat. Dan, untung, tak berapa lama aku menemukan rumah sakit.
*

Aku sopir Muhammad Porkas, orang yang mengantarnya ke rumah sakit.  Begitu tiba, aku teriak memanggil perawat  jaga pada malam itu. Dua satpam muncul, menyusul kemudian dua perawat  jaga  sambil membawa bangsal dorong. Mereka gesit, dan aku yakin ia akan segera tertolong. Karena keyakinan itu, aku kembali ke mobil dan bermaksud mau memberitahu istrinya, juga menemui Junainah.

Aku harus menemui istrinya. Perempuan itu sulit dihubungi lewat telepon. Ia tidak terlalu perduli siapa pun yang meneleponnya. Dia, seperti biasa, jarang berada di rumah,  terlalu sibuk dengan kelompok arisannya. Setiap kali sedang bersama kelompok arisannya, dia pasti berhasil melupakan siapa dirinya, terutama tentang dirinya sebagai istri seorang pejabat pemerintah. Semua anggota kelompok arisannya istri pejabat terkenal, tetapi mereka sudah sepakat untuk membuang jauh-jauh status suami masing-masing ketika arisan berlangsung.

Aku tahu persis karena sering mengantar dia ke rumah-rumah tempat arisan digelar. Dari percakapan mereka, selalu tidak jauh dari persoalan makan, perhiasan, dan belanja, setiap orang terlihat memang sengaja ingin melupakan siapa suami mereka. Setiap orang ingin dilihat dan dikenal sebagai dirinya sendiri, lalu mereka berbuat apa saja sebagai diri sendiri.

Dia juga sering menceritakan soal teman-teman arisannya. “Mereka,” kata dia suatu hari, “teman-teman arisan saya,  kami dipertemukan oleh nasib buruk yang sama.”

“ Saya kira Ibu keliru. Kalian dipertemukan oleh nasib baik yang sama.”
“Kau hanya melihat dari luar.”

“Bagaimana saya bisa melihat ke dalam. Saya berada di luar.”

Dia tertawa,  terdengar hambar. “Suami kami memiliki kebiasaan yang sama. Mereka menikahi perempuan lain.”  Dia tersenyum kecut. “ Kami memang istri pejabat,  tetapi kami juga terabaikan sebagai istri pertama.”

Kalimat itu mengagetkanku. Bukan lantaran penjelasan itu, tapi karena dia menyampaikannya sangat datar. Seolah-olah hal itu tak terlalu penting. Dan, beberapa waktu kemudian, aku sering memergokinya bersama seorang laki-laki muda. Beberapa hari setelah itu, aku menemukannya bersama laki-laki muda yang lain. Aku  mendiamkannya, dan tidak ingin Muhammad Porkas tahu soal itu.

Tapi Muhammad Porkas ternyata tahu soal istrinya yang berselingkuh dengan berbagai laki-laki muda. Suatu hari, saat aku menyupirinya menuju Kota Medan untuk sebuah urusan penting di Kantor Pemda Provinsi Sumatra Utara, ia bercerita tentang istrinya. “Aku tahu dia punya pacar lagi, tapi biarlah,” katanya.
“Kok?!”
“Mungkin itulah yang terbaik untuk dia.”

“Bagaimana dengan Bapak? Apa ini yang terbaik untuk Bapak.”

Ia tak menjawab,  tetapi berusaha tersenyum. Terlihat sangat hambar. Ia lanjutkan kalimatnya, dan kali ini ia berbicara soal pernikahan mereka. “Sudah 15 tahun kami menikah. Selama itu kami tak mendapatkan anak.” Ia menghela nafas. Sambil terus bicara, matanya menatap ke depan. “Kau tahu apa yang didambakan pasangan suami istri.  Mereka ingin anak, ingin keturunan.”

“Itu kan soal rezeki, Pak.”

“Aku tahu soal rezeki itu. Persoalannya sekarang, ternyata istriku itu tidak bisa punya anak. Ia tak pernah memberitahuku kalau pada masa gadis ia pernah menjalani operasi kista di rahimnya.  Memang, dokter mengatakan rahimnya sehat dan bisa hamil,  karena rahim itu tidak diangkat.”
“Itu bagus berarti.”

“Bukan perkara bagus dan tidak. Setelah 15 tahun ternyata dia tak kunjung hamil. Berarti memang dia tak bisa beranak lagi.”
“Kenapa Bapak menyimpulkan begitu.”

“Karena perempuan lain ternyata bisa aku hamili.”
Aku tersentak. “Perempuan lain?”

Ia mengangguk. “Perempuan itu bilang dia mengandung anakku, dan aku senang sekali. Aku akan menikahinya, dan istriku tahu soal itu.”

“Apa kata istri Bapak.”

“Dia pacaran dengan laki-laki lain.”

Aku mengangguk. Aku baru paham soal itu. Pantaslah ia tak terlalu merisaukan soal istrinya dengan laki-laki lain.
“Kau mau tahu siapa perempuan yang mengandung anakku?” Ia terlihat sangat bangga.
Ditanya seperti itu, aku tersentak.  Aku belum memberi jawaban apapun ketika ia melanjutkan ceritanya. “Dia Junainah.” Ia menyebut nama pembantu itu.

“Junainah!” Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

“Mula-mula aku iseng. Tapi, karena Junainah hamil, aku jadi senang. Aku akan menikahinya.”
Aku diam saja. Ia melanjutkan ceritanya,  katanya,  ia telah mengupayakan apa saja untuk  mendapatkan anak, konsultasi ke sejumlah dokter ahli, dan mencoba pengobatan alternatif  ke berbagai daerah. Tetap saja ia belum dikarunia seorang anak pun sampai suatu malam ia pulang dalam keadaan mabuk dan masuk ke kamar Junainah.

*
Sebetulnya, Junainah tidak pernah menyukai Muhammad Porkas. Dia mengatakan langsung kepadaku. Kalau aku sedang di rumah dan tak ada pekerjaan untuk menyupiri Muhammad Porkas  maupun istrinya,  maka aku habiskan waktuku di rumah untuk mengobrol dengan Junainah.  Dia bercerita, keluarga pejabat itu tidak ada yang beres  karena hidup mereka tidak pernah jauh dari perbuatan korupsi dan menyakiti rakyat. Tapi, karena ayahnya sangat butuh uang untuk menghidupi keluarga dengan enam orang  adiknya yang masih perlu biaya sekolah,  Junainah akhirnya bersedia menjadi pembantu.

Dua bulan pertama, Junainah tidak betah. Tiga bulan, dia menuntut agar Muhammad Porkas merelakannya pulang. “Aku mau menikah. Aku mau berhenti menjadi pembantu,” katanya. Tapi, tidak ada tanggapan. Begitu seterusnya, setiap bulan, Junainah minta berhenti. Namun, memasuki bulan ke empat,  Junainah tidak pernah lagi menemui Muhammad Porkas. Perubahan sikap itu terjadi setelah pada suatu malam Muhammad Porkas tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. Ia bergerak sangat pelan, lebih pelan dari suara angin, juga ketika menyingkap selimut Junainah. Gadis itu baru menyadari setelah dengus nafas Muhammad Porkas  tepat di depan hidungnya dan saat itu segala sesuatu telah terlambat.

“Aku akan menikahi kamu,” kata Muhammad Porkas, beberapa  pekan setelah Junainah memberitahu kalau dirinya hamil. “Kau akan sangat beruntung menjadi istri pejabat terkenal seperti aku.”
Beruntung!  Junainah justru melihat hal yang berbeda.
*
Malam itu aku putuskan untuk tak menghubungi siapa pun setelah mengantar Muhammad Porkas  ke rumah sakit. Aku bingung mau menghubungi siapa. Aku parkir kendaraan di pinggir jalan,  aku duduk di sana semalaman. Ketika matahari muncul, aku baru beranjak. Tapi, tetap saja tidak tahu siapa yang harus aku hubungi.
**

Orang  baik itu,  yang tubuhnya ditutup kain putih dan baru saja dua perawat berpakaian putih mendorongnya ke ruang mayat rumah sakit itu,  jadi mayat tanpa identitas. Lantaran satu dan lain hal yang akan aku jelaskan nanti, bukan cuma tak ada yang menangis saat maut menemuinya,  tapi juga  tak ada seorang kerabat pun yang menemani detik-detik  terakhir  itu.

Cerpen  Budi Hatees

Dokter Yulius, dokter muda yang bertugas sebagai dokter jaga pada malam itu adalah dokter yang memastikan bahwa orang baik itu sudah meninggal beberapa saat  sebelum tiba di rumah sakit. “Siapa yang mengantarkan orang ini?” Ia  bertanya kepada dua perawat jaga.  Kedua perawat  itu  saling pandang, lalu menggeleng, lalu serentak mereka menyebut nama Firkah.

Tapi Firkah, satpam yang bertugas malam itu, tak punya penjelasan apapun. Ia hanya bicara tentang seorang laki-laki berseragam safari warna hitam-hitam,  masih sangat muda, dan potongan rambutnya cepak.  “Ia datang mengantar orang itu, lalu izin mau memberi kabar kepada keluarganya,” katanya.

*

Dokter Yulius masih sangat muda, sekitar 30 tahunan. Tak terlalu  tampan, tapi ketidaktampanannya segera akan diabaikan orang jika tahu bahwa ia seorang dokter. Ia membuka praktik di rumahnya di kawasan Teladan, di pinggir Jalan Sisingamangaraja yang ramai dan riuh, dan pasiennya selalu bertambah setiap hari.  Tapi rezeki yang melimpah itu tak membuatnya menjadi angkuh, tetap saja rendah hati dan orang tak akan pernah menduga kalau ia seorang yang sukses dalam menjalani profesinya.

Pagi hari, Dokter Yulius mengumpulkan perawat yang mendapat giliran jaga pada jam ketika orang baik itu diantar ke rumah sakit.  Dua satpam yang mendapat tugas pada jam itu juga dipanggil.  Ada enam orang, empat perawat —tiga perempuan dan satu laki-laki—dan dua satpam, Firkah dan Sultoni. Keenamnya dikumpulkan di ruang pertemuan. Satu per satu ditanyainya bagaimana bisa seorang pasien ditinggalkan di rumah sakit sedangkan mereka tidak berusaha untuk mengetahui identitasnya.
Marlina, seorang perawat senior,  mengatakan dia dan rekan-rekannya tak sempat berpikir soal identitas itu karena pikiran mereka lebih fokus untuk memberikan pertolongan pertama.  “Kami baru menyadari keteledoran kami setelah pasien tak tertolong,” kata Marlina sambil menatap Dokter Yulius. “Kami minta maaf.”

Dokter Yulius diam, menarik nafas dalam-dalam, lalu menghamburkannya. “Ya, sudah. Kalian sudah berbuat yang seharusnya dilakukan perawat. Sayang, orang itu tak tertolong.” Dokter Yulius mengalihkan pandangan ke Firkah dan Sultoni, lalu katanya: “Kalian berdua kan tak terlibat soal pertolongan pertama.”

Firkah mengangguk. Ia mengakui keteledorannya, tapi ia membela diri karena mengira perawat jaga sudah mencatat data-data pasien. “Seharusnya saya mendampingi, dan saya memang melakukannya, tapi saya tak pernah bertanya tentang data-data pribadi.”  Firkah menatap Sultoni. “Kami mengajak ngobrol orang yang mengantar pasien itu, tapi kami tak pernah bertanya siapa dirinya.”

“Betul, Pak,” timpal Sultoni. “Kami tak memikirkan sampai ke arah itu.”
“Kalau dari penampilannya, orang itu jelas mengantar seseorang yang penting. Ia mengenakan safari, seperti pakaian yang biasa dikenakan para pengawal pejabat,” kata Firkah.

“Apa mungkin pasien itu seorang pejabat?” Dokter Yulius bertanya. “kalau benar, pasti akan ada yang mencarinya.”
Tapi, dua hari kemudian, tak ada seorang pun yang datang menanyakan mayat itu. Dokter Yulius tak mau pusing dan memanggil wartawan untuk memberitakan soal mayat itu. Ia menceritakan semuanya, lalu meminta wartawan menulis tentang ciri-ciri khusus pada mayat itu.

*

Muhammad Porkas, itulah nama orang baik yang malang itu. Ia seorang pejabat. Pada malam sebelum mendapat serangan jantung,  ia bertelepon dengan Junainah.  Aku duduk di sampingnya, mengendalikan setir mobil, berupaya membuat perjalanan kami senyaman mungkin.

Junainah, perempuan itu, pembantu di rumahnya, seorang gadis yang dibawanya dari sebuah desa di Kisaran. Ia sengaja memilih Junainah dari sekian banyak gadis yang ada di desa  itu. Tak terlalu cantik, tapi tubuhnya terlihat sehat dan segar. Itulah syarat yang dibuatnya bagi perempuan yang ingin bekerja menjadi pembantu di rumahnya. Untuk itu, ia bersedia memberi gaji besar.

Malam itu, kami hendak ke Kisaran, ke desa Junainah, untuk menemui orang tua gadis itu. Rencananya, Muhammad Porkas akan meminta izin untuk menikahi Junainah, langsung kepada ayahnya.  Ia ceritakan kalau keinginan itu murni dari lubuk hatinya yang paling dalam. Tulus untuk menjadikan Junainah sebagai istrinya yang sah.

Sudah pernah keinginan itu disampikan langsung kepada Junainah. Cuma,  ia tak yakin Junainah mau. Gadis itu tak percaya, dan menuduh Muhammad Porkas hanya berniat untuk mencelakakannya.

Lewat telepon genggam, Muhammad Porkas bertanya kepada Junainah tentang  anaknya. “Kau menjaga anakku dengan baik?”  Muhammad Porkas sengaja membuka speaker telepon genggamnya.  “Aku sudah menggugurkannya.” Ketus suara Junainah. “Aku tak ingin anak haram itu.”

Seketika tubuh Muhammad Porkas menegang. Mulutnya menganga. Matanya melotot. Nafasnya terhenti. Jantungnya mendadak diam.

Aku, yang duduk di sampingnya, sontak menginjak rem. Aku tak berani menyentuh tubuhnya. Ia pernah bilang padaku, kalau serangan jantungnya tiba, biarkan saja. Bawa saja langsung ke rumah sakit, dan biarkan dokter yang menangani. Buru-buru aku bawa ia ke rumah sakit terdekat. Dan, untung, tak berapa lama aku menemukan rumah sakit.
*

Aku sopir Muhammad Porkas, orang yang mengantarnya ke rumah sakit.  Begitu tiba, aku teriak memanggil perawat  jaga pada malam itu. Dua satpam muncul, menyusul kemudian dua perawat  jaga  sambil membawa bangsal dorong. Mereka gesit, dan aku yakin ia akan segera tertolong. Karena keyakinan itu, aku kembali ke mobil dan bermaksud mau memberitahu istrinya, juga menemui Junainah.

Aku harus menemui istrinya. Perempuan itu sulit dihubungi lewat telepon. Ia tidak terlalu perduli siapa pun yang meneleponnya. Dia, seperti biasa, jarang berada di rumah,  terlalu sibuk dengan kelompok arisannya. Setiap kali sedang bersama kelompok arisannya, dia pasti berhasil melupakan siapa dirinya, terutama tentang dirinya sebagai istri seorang pejabat pemerintah. Semua anggota kelompok arisannya istri pejabat terkenal, tetapi mereka sudah sepakat untuk membuang jauh-jauh status suami masing-masing ketika arisan berlangsung.

Aku tahu persis karena sering mengantar dia ke rumah-rumah tempat arisan digelar. Dari percakapan mereka, selalu tidak jauh dari persoalan makan, perhiasan, dan belanja, setiap orang terlihat memang sengaja ingin melupakan siapa suami mereka. Setiap orang ingin dilihat dan dikenal sebagai dirinya sendiri, lalu mereka berbuat apa saja sebagai diri sendiri.

Dia juga sering menceritakan soal teman-teman arisannya. “Mereka,” kata dia suatu hari, “teman-teman arisan saya,  kami dipertemukan oleh nasib buruk yang sama.”

“ Saya kira Ibu keliru. Kalian dipertemukan oleh nasib baik yang sama.”
“Kau hanya melihat dari luar.”

“Bagaimana saya bisa melihat ke dalam. Saya berada di luar.”

Dia tertawa,  terdengar hambar. “Suami kami memiliki kebiasaan yang sama. Mereka menikahi perempuan lain.”  Dia tersenyum kecut. “ Kami memang istri pejabat,  tetapi kami juga terabaikan sebagai istri pertama.”

Kalimat itu mengagetkanku. Bukan lantaran penjelasan itu, tapi karena dia menyampaikannya sangat datar. Seolah-olah hal itu tak terlalu penting. Dan, beberapa waktu kemudian, aku sering memergokinya bersama seorang laki-laki muda. Beberapa hari setelah itu, aku menemukannya bersama laki-laki muda yang lain. Aku  mendiamkannya, dan tidak ingin Muhammad Porkas tahu soal itu.

Tapi Muhammad Porkas ternyata tahu soal istrinya yang berselingkuh dengan berbagai laki-laki muda. Suatu hari, saat aku menyupirinya menuju Kota Medan untuk sebuah urusan penting di Kantor Pemda Provinsi Sumatra Utara, ia bercerita tentang istrinya. “Aku tahu dia punya pacar lagi, tapi biarlah,” katanya.
“Kok?!”
“Mungkin itulah yang terbaik untuk dia.”

“Bagaimana dengan Bapak? Apa ini yang terbaik untuk Bapak.”

Ia tak menjawab,  tetapi berusaha tersenyum. Terlihat sangat hambar. Ia lanjutkan kalimatnya, dan kali ini ia berbicara soal pernikahan mereka. “Sudah 15 tahun kami menikah. Selama itu kami tak mendapatkan anak.” Ia menghela nafas. Sambil terus bicara, matanya menatap ke depan. “Kau tahu apa yang didambakan pasangan suami istri.  Mereka ingin anak, ingin keturunan.”

“Itu kan soal rezeki, Pak.”

“Aku tahu soal rezeki itu. Persoalannya sekarang, ternyata istriku itu tidak bisa punya anak. Ia tak pernah memberitahuku kalau pada masa gadis ia pernah menjalani operasi kista di rahimnya.  Memang, dokter mengatakan rahimnya sehat dan bisa hamil,  karena rahim itu tidak diangkat.”
“Itu bagus berarti.”

“Bukan perkara bagus dan tidak. Setelah 15 tahun ternyata dia tak kunjung hamil. Berarti memang dia tak bisa beranak lagi.”
“Kenapa Bapak menyimpulkan begitu.”

“Karena perempuan lain ternyata bisa aku hamili.”
Aku tersentak. “Perempuan lain?”

Ia mengangguk. “Perempuan itu bilang dia mengandung anakku, dan aku senang sekali. Aku akan menikahinya, dan istriku tahu soal itu.”

“Apa kata istri Bapak.”

“Dia pacaran dengan laki-laki lain.”

Aku mengangguk. Aku baru paham soal itu. Pantaslah ia tak terlalu merisaukan soal istrinya dengan laki-laki lain.
“Kau mau tahu siapa perempuan yang mengandung anakku?” Ia terlihat sangat bangga.
Ditanya seperti itu, aku tersentak.  Aku belum memberi jawaban apapun ketika ia melanjutkan ceritanya. “Dia Junainah.” Ia menyebut nama pembantu itu.

“Junainah!” Aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

“Mula-mula aku iseng. Tapi, karena Junainah hamil, aku jadi senang. Aku akan menikahinya.”
Aku diam saja. Ia melanjutkan ceritanya,  katanya,  ia telah mengupayakan apa saja untuk  mendapatkan anak, konsultasi ke sejumlah dokter ahli, dan mencoba pengobatan alternatif  ke berbagai daerah. Tetap saja ia belum dikarunia seorang anak pun sampai suatu malam ia pulang dalam keadaan mabuk dan masuk ke kamar Junainah.

*
Sebetulnya, Junainah tidak pernah menyukai Muhammad Porkas. Dia mengatakan langsung kepadaku. Kalau aku sedang di rumah dan tak ada pekerjaan untuk menyupiri Muhammad Porkas  maupun istrinya,  maka aku habiskan waktuku di rumah untuk mengobrol dengan Junainah.  Dia bercerita, keluarga pejabat itu tidak ada yang beres  karena hidup mereka tidak pernah jauh dari perbuatan korupsi dan menyakiti rakyat. Tapi, karena ayahnya sangat butuh uang untuk menghidupi keluarga dengan enam orang  adiknya yang masih perlu biaya sekolah,  Junainah akhirnya bersedia menjadi pembantu.

Dua bulan pertama, Junainah tidak betah. Tiga bulan, dia menuntut agar Muhammad Porkas merelakannya pulang. “Aku mau menikah. Aku mau berhenti menjadi pembantu,” katanya. Tapi, tidak ada tanggapan. Begitu seterusnya, setiap bulan, Junainah minta berhenti. Namun, memasuki bulan ke empat,  Junainah tidak pernah lagi menemui Muhammad Porkas. Perubahan sikap itu terjadi setelah pada suatu malam Muhammad Porkas tiba-tiba sudah berada di dalam kamarnya. Ia bergerak sangat pelan, lebih pelan dari suara angin, juga ketika menyingkap selimut Junainah. Gadis itu baru menyadari setelah dengus nafas Muhammad Porkas  tepat di depan hidungnya dan saat itu segala sesuatu telah terlambat.

“Aku akan menikahi kamu,” kata Muhammad Porkas, beberapa  pekan setelah Junainah memberitahu kalau dirinya hamil. “Kau akan sangat beruntung menjadi istri pejabat terkenal seperti aku.”
Beruntung!  Junainah justru melihat hal yang berbeda.
*
Malam itu aku putuskan untuk tak menghubungi siapa pun setelah mengantar Muhammad Porkas  ke rumah sakit. Aku bingung mau menghubungi siapa. Aku parkir kendaraan di pinggir jalan,  aku duduk di sana semalaman. Ketika matahari muncul, aku baru beranjak. Tapi, tetap saja tidak tahu siapa yang harus aku hubungi.
**

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/