27.8 C
Medan
Saturday, May 4, 2024

Teratai Malika

Desaku berada di atas dataran lembah dengan jejeran bongkahan batu kapur di setiap kelokan. Warna putihnya terbungkus lumut yang menempel hingga tampak menyerupai bukit-bukit kecil. Kampung yang kukenal dengan sebutan taman rumput gajah di sepanjang kotakan sawah. Entah dari mana asal muasal pertama nama itu muncul, sebab yang aku tahu, semua warga menyebutnya demikian.

Oleh: Homaedi Edi  

KUNING janur bergerak, pepohon asam serupa raksasa di setiap lorong menuju kampungseberang. Jikamalam tiba, kemerlapkunang-kunangberhambur di semak-semak yang tegak dengan tetes bening melekat di helai dedaunan.

Maya-mayanya berlambaian terkena hempasudara. Udara yang menghidupkan cericit beburung hantu di pelepah nyiur: melengkung membentuk celurit, juga bulan sabit sesaat senja tenggelam ke dasar permukaan.

Biru laut angkasa tampak samar, sesamar udara membentur muka. Serupa kemarin hari saat mendung menghias cakrawala. Pandang kuhadapkan pada cermin: retina memerah, semerah kesumba dodol sewaktu tempo hari mengolahnya di salah satu rumah tetangga yang mengadakan hajatan. Mungkin merah itu karena kantuk membekas lantaran malam tadi puncak hajatan itu berlangsung.

Arah mata kupalingkan ke ujung timur, sisik awan masih menutup bulatan perak yang menggantung di atas sana. Sesaat ia akan menampakkan dirinya ke hadapanku, ke hadapanmu, ke hadapan semua makhluk hidup penjuru dunia.

Dua, satu, tiga orang melintasi lorong depan pelataran. Tampaknya mereka menuju sawah. Merawat tanaman, atau panen di tempat yang kukenal dengan sebutan taman rumput gajah. Sebagian ada yang menggiring ternaknya ke pinggir telaga dengan canggkul melekat pada bahu, menuntun sapi-sapinya dengan tali melilit dilingkaran leher sapi.

Lenguhnya bertebar sepanjang lorong perkampungan.

Suasana yang tak pernah ditemukan di kota, seembun ini lalu lalang kendaraan menerabas perkotaan, gedunggedung menjulang, kerap-kerlip neon berpijar di sela-sela menara pencakar langit. Jalan-jalan ramai dengan hiasan knalpot hingga menyebabkan polusi berhamburan sepanjang trotoar; motor, mobil dan lain sebagainya. Praktis beda tipis antara bulan dan matahari. Cerita itu aku peroleh dari bu Rahma tetangga sebelah yang anaknya berkerja di kota sebagai buruh pabrik.

*** Garis-garis cahaya terselip di antara kabut. Sesekali kain penutup pintu kamar mandi tersingkap terkena terpaan udara yang bergemuruh dari arah timur.

Cericit beburung menggema di pepohonan, di ruas-ruas bambu yang berderak.

Mayang-mayangnya berserak di liat membasah. Sebasah kain-kain di bentangan tali merah jambu itu.

Baju terakhir yang kukaitkan menjadi alasan meninggalkan tempat itu— menuntun diri menatap Malika yang lelap dalam kamar. Tubuhnya di selimuti sarung pemberian neneknya sebelum ia meninggalkan kami selamanya.

Ia buah perjodohan dengan lelaki seberang yang sejak dalam kandungan memutus janji suci, hidup dan mati. Serupa layang-layang putus tali, terombang- ambing, mengadu jarak hingga aku tak dapat meraihnya kembali. Ber- sama Malika seraya menatap bianglala kemarin senja.

Kadua mata menatap seksama, mengamatinya penuh cinta, lalu bergegas menuju kerumunan orang yang setiap saat biasa berpapasan di tempat itu. Aku ingat betul bisiknya tempo hari yang meminta membuatkan makanan kesukaannya.

Tak ada ucap yang keluar dariku, hanya membalasnya dengan anggukan. Kebiasaan yang tak kunjung lepasiaakanmeraungsekuattenagasaat terbangun tak melihatku berada di rumah.

Kemanjaan yang membuat tak ingin berjarak dengannya, tak ingin berlama- lamameninggalkandia: lebih-lebih melepaskan pada ayahnya.

Mendung menyebabkan orang tak banyak mengunjungi tempat itu— Bu Rahma tetangga terdekat juga tak tampak di kerumunan orang yang menghiasi warung-warung kumuh. Lapak-lapak terbuat dari anyaman bambu, atap jerami sebagai peneduh terik yang bangkit dari ufuk timur. Bau anyir menghantam penciuman membuat kehendak ingin segera meninggalkan tempat itu. Semua sudah kumasukkan dalam plastik warna jingga, di situ terdapat macam-macam jenis bahan makananan pesanan Malika.

*** Pelataran menghias pandang, jejakan kaki membekas di permukaan liat warna coklat kemerahan. Aku injak dengan persangkaan baik. Pintu rumah yang tak terkunci kutarik pinggir daunnya pelanpelan.

Ada suara derik pintu di sana, suara yang menjadi simbol sesaat membuka dan menutup pintu rumah.

Pukul 06.15 aku ambil benda tipis, membelah beberapa bagian bahan sesuai ukuran. Tungku menyala, bara apinya tak beraturan terkena udara menyelundup masuk dari arah jendela yang terbuka. Kepulan asap membentuk kekuatan dalam ruang. Tiga ekor cecak menggerak-gerakkan ekornya di tepi dinding. Menimbulkan suara.

Berkejaran mencari sasaran.

Aku ingin menyelesaikan sebelum Malika beranjak pergi. Bisa kubayang senyumnya mengembang saat menyantap sesuatu yang menurutnya istimewa.

Walau sulit memenuhi semua yang ia impikan, seperti permintaanya kala itu: ingin mendapatkan buku dongeng dari penjual buku keliling, hingga kini belum bisa kupenuhi. Akibat dari kekecewaan itu, ia tak mau sekolah selama dua hari.

Semuanya sudah kusiapkan di atas piring cerah. Kedua sorot menatap jam tepat pukul 06.35, waktu menyudahi mimpi Malika dalam tidur. Aku menuju kamarnya, menyingkap putih kelambu yang menggantung di tengah-tengah pintu. Tiba-tiba sesuatu menghampiriku.

Bergelayut dalam otak. Tampak aneh, bahkan sangat aneh ketika tak menemukan Malika di kamarnya. Ya, hari yang aneh, selidikku.

Cermin menatapku dalam diam: menelisik wajah dengan tanya yang muncul tiba-tiba. Kasur dan bantalnya tertata sebagaimana mestinya. Tak biasa ia berbuat demikian. Cara melipat kain yang kuajarkan kemarin sore rupanya sudah tertanam. Buktinya ia berani mempraktekkan meski lipatan itu kurang bisa di kata sempurna. Mata terbelalak tak percaya.

Tak ingin termangu memandang cermin, melayangkan nalar yang tak tahu pangkal ujungnya, segera kuhapus semua ketimpangan Malika yang tak biasa.

Kamar mandi tujuan utama, memastikan ia membersihkan tubuhnya tanpa aku suruh dan sedikit mengeluarkan bara dari tubuh. Namun tak kutemukan kecipak air saat kain hitam penutup pintu kamar mandi itu kusingkap perlahan, dan benar, Malika tak ada di dalamnya.

Seketika benak mengalir kecamuk sesuatu tentangnya.

Akukembalikedalam rumah, jam tepat pukul 07.15. Seragam di tempat gantungan itu juga tak ada. Tas yang digendong serta sepatunya juga raib tanpa sepengatahuanku. Sepertinya ia berangkat sebelum aku beranjak dari pasar, pikirku.

*** Pukul 10.00 aku memantapkan niat mengantarkan makanan kesukannya.

Makanan itu kumasukkan dalam rantang berukuran kecil yang aku beli dari pasar bulan beberapa waktu lalu dengan corak warna merah muda, di bagian pinggirnya terdapat gambar yang menyerupai bunga-bunga.

Aku bergegas menuju tempat Malika.

Menenteng rantang di tangan kanan.

Udara yang sejuk tak menghalangi tapak-tapak harap. Jalan tak beraspal membuat genang air melimpah sehabis hujan malam. Entah sampai kapan keberadaan jalan tempat tinggalku akan terus demikian. Bila musim hujan tiba, air langit tumpah ruah di jejalan berlubang.

Batu-batu tersusun tak teratur.

Takadayang peduli, lebih-lebihpenguasa di kampung pedalaman ini.

Arakan kabut menenggelamkan biru laut. Sisik-sisikya menyerupai ikan dan buaya. Aku berharap air langit tak tumpah hari ini, sebab kain yang berbentuk setengah bulatan kudiamkan saja di rumah. Udara terasa ringan, menelisip di sela-sela kain tubuh. Pintu gapura tampak di ujung pengkolan, di sampingnya para tani menyisiri hiasan daun menguning kehijauan. Dalam harap aku berencana memberi sesuap makanan kesukaannya.

*** “Malika pamit pulang setelah bel istirahat.” Ucap tukang kebun itu saat mata saling jumpa pada titik yang sama. Keringat tumbuh tiba-tiba. Cecabangnya membanyak. Panas dingin tubuh tertuju pada tingkahnya yang tak biasa. Aku berbalik arah. Tak ada ucap membekas di bawah gapura, bahkan tak satu kalimatpun terlontar pada tukang kebun itu, entah, nalar hitam seketika. Tak biasa Malika demikian. Pikirku gelisah.

Gelegar menggema. Daun-daun kering luruh terkena udara yang menderuderu.

Cahaya bulatan perak tak membekas di permukaan. Liat tanah menjadi bubur, tumpahan air terselip di bebatuan.

Menetesi helai-helai dedaun.

Mengalir ke seluruh tubuh terasa seperti tusuk jarum.

Sandal yang kugunakan terkoyak lantaran terpeleset di jejalan yang melicin.

Tak peduli kerikil-kerikil menusuk telapak yang akan menimbulkan perih. Ya, aku benar-benar tak peduli. Tak mau tahu tentang sesuatu yang menghalangi langkah.

Dari kejauhan tak terdapat jejak Malika di liat pelataran. Rumah tampak seperti sebelum aku pergi. Kubuka daun pintu, kembali dengan persangkaan baik. Berharap Malika menunggu di dalamnya. Aku mengamati seluruh ruang bak kucing mencari mangsa. Namun tak satupun gerak-gerik berseliweran di kedua mata.

Hati gusar, hambar terapung bersama hujan. Aku mematung di samping jendela.

Langit tak menampakkan warnanya.

Tak henti-henti menjatuhkan basah.

Sebasah kain tubuh terkena tumpahan hujansaatmenujupulang. Bercakdarah terasa seperti titik di telapak kaki, baru terasa perihnya sesaat sampai di rumah.

*** Rumah Bu Rahma yang biasa sebagai tempat Malika nonton TV tertutup rapat, yang jelas Malika tak ada di dalamnya.

Kembali kususuri lorong-lorong perkampungan. Sepanjang perjalanan serasa gusar. Entah sudah rumah yang keberapa, berharap Malika berada di salah satu rumah itu. Rumah yang penghuninya tak satupun tahu keberadaanya.

Waktu melewati separuh hari sejak fajar menjinjing cahayanya dari ufuk timur. Malika belum juga muncul dari pertigaan pengkolan menuju rumah.

Entah apa penyebab ia belum datang, seperti kebiasaannya ia akan datang tepat waktu; bersama Ibas, juga Akbar yang tampak berkeliaran dengan layangan dan baju seragam yang masih melekat pada tubuh mungilnya.

Aku melontar pertanyaan pada Akbar dan Ibas, namun jawabnya tak bisa menghentikan gelisah karena ia juga tak bertemu Malika saat pulang sekolah. Tatkala pikirku mengarah terhadap hal-hal yang tak pernah kuinginkan sebelumnya.

Kembali aku mengurai kejadian-kejadian kemarin yang membuat ia bertingkah aneh. Seperti ingatku, tak satupun kata-kata kasar kuutarakan padanya. Minggu lalu sengaja tak menegur melihat hasil ujiannya makin turun.

Siapa yang tak pernah melakukan kesalahan, maka ia tidak akan menemukan hal baru. Ucapku sesaat melihat kertas yang ia sodorkan. Entah ia mengerti kata itu atau tidak, yang jelas aku tak menampakkan urat leher. Tapimemang, tiga hari kemudian aku sempat bicara agak serius, bahkan lebih serius agar ia berhenti ngompol, paling tidak mengurangi kebiasaannya itu. Apakah perkataan itu yang membuat ia tak ingin pulang ke rumah? Atau ada hal lain yang disembunyikan dariku? *** Pukul 15.30 berlalu, tak terasa aku terlelap di teras depan. Tak ada senja di awang-awang, sisik awan masih keruh.

Gerimis kembali mengurai liat pelataran. Ia tak kunjung datang, entah apa yang harus kuperbuat. Aku menatap kosong, tetes bening mengalir meniti di lesung pipi.

Kembali aku melongo ke titik pengkolan, tak terlihat Malika di sela kerumunan anak-anak yang bermain itu. Gemuruh udara masih kuat menerpa atap. Para tani beranjak dari sawah, menggiring sapinya ke tempat peristirahatan.

Beburung hantu bercericit di pelepah siwalan, berputar-putar kelelawar di atas ruas-ruas bambu yang berderak.

Semuamahluksudahkembali, tapi tidak dengan Malika, entah? Aku masih termangu membayang makanan kesukaanya di santap penuh lahap. Sesekali gelak tawanya menggeliat dalam hayal. Aku menunduk diserang resah. Tak ada lagi bunyi kepodang di pepohonan. Hanya derak bambu terdengar hambar. Relung bergejolak, pasrah pada jarak yang membesut kita saling tiada.

*** “Ibu?,” Suara itu tampak datar, samar.

“Ibu?,,” Suaranya makin jelas. Menghentikan lamunan. Aku mendongak menuju arah datangnya suara itu. Seketika Malika berdiri di depanku. Wajahnya kusut kelelahan dengan keringat basahi seragamnya. Bercak lumpur membuat putih bajunya berubah kecoklatan.

Sengaja aku tak menanyakan sesuatu yang membuat ia tak mau pulang pada waktunya, juga keanehan yang ia perbuat sejak fajar terbit hingga senja tenggelam.

“Aku telah menyusahkan ibu.” Ucapnya dengan kedua tangan di belakang punggungnya. Beberapa kerutan menjadi berulang. Aku mematung. Menyimak dengan rasa ingin tahu. Namun tetap tak kutangkap maknanya.

“Aku mendapatkan teratai ini dari telaga seberang”. Kedua tangan yang tadinya disembunyikan ternyata menyimpan sesuatu yang sebelumnya aku tak tahu apa namanya. Masih belum kupaham tingkahnya yang demikian. Kedua mata masih tak berpaling dengan rasa tak biasa. Ah, tampaknya ia mengulum senyum. Berjalan ragu mendekatiku.

“Bapak ibu guru kemarin berkata, sekarang hari kartini, hari yang menguak sejarah peradaban kaum perempuan.

Bagi siapa yang ingin memperingatinya, berilah ia sesuatu yang menurutmu mendekati sosok beliau.

Akuhanya mendapatkan ini.” Mendengar ucapnya yang polos, degup berdetak amat kencang, melebihi gemuruh membentur janur-janur nyiur, kumpulan rumput gajah, juga pepohonan yang maya-mayanya berguguran. Mata menyala purnama.

Seperti noktah-noktah kecil dalam gelap.

Dada berdesir embun. Penuh gegas kuraih teratai itu, lalu mendekap erat Malika. Tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap, tapi itu bukan masalah, bagiku bau itu tak ubahnya penghormatan sekaligus pengorbanan seorang anak terhadap ibunya.

Lekas-lekas kuangkat tubuhnya menuju ruang tengah, menyilakan duduk di atas lantai tanpa alas tikar, menyuapkan makanan kesukaannya yang sedari pagi sudah kupersiapkan dalam rantang.

Beluk Raja-Madura, 2013

Desaku berada di atas dataran lembah dengan jejeran bongkahan batu kapur di setiap kelokan. Warna putihnya terbungkus lumut yang menempel hingga tampak menyerupai bukit-bukit kecil. Kampung yang kukenal dengan sebutan taman rumput gajah di sepanjang kotakan sawah. Entah dari mana asal muasal pertama nama itu muncul, sebab yang aku tahu, semua warga menyebutnya demikian.

Oleh: Homaedi Edi  

KUNING janur bergerak, pepohon asam serupa raksasa di setiap lorong menuju kampungseberang. Jikamalam tiba, kemerlapkunang-kunangberhambur di semak-semak yang tegak dengan tetes bening melekat di helai dedaunan.

Maya-mayanya berlambaian terkena hempasudara. Udara yang menghidupkan cericit beburung hantu di pelepah nyiur: melengkung membentuk celurit, juga bulan sabit sesaat senja tenggelam ke dasar permukaan.

Biru laut angkasa tampak samar, sesamar udara membentur muka. Serupa kemarin hari saat mendung menghias cakrawala. Pandang kuhadapkan pada cermin: retina memerah, semerah kesumba dodol sewaktu tempo hari mengolahnya di salah satu rumah tetangga yang mengadakan hajatan. Mungkin merah itu karena kantuk membekas lantaran malam tadi puncak hajatan itu berlangsung.

Arah mata kupalingkan ke ujung timur, sisik awan masih menutup bulatan perak yang menggantung di atas sana. Sesaat ia akan menampakkan dirinya ke hadapanku, ke hadapanmu, ke hadapan semua makhluk hidup penjuru dunia.

Dua, satu, tiga orang melintasi lorong depan pelataran. Tampaknya mereka menuju sawah. Merawat tanaman, atau panen di tempat yang kukenal dengan sebutan taman rumput gajah. Sebagian ada yang menggiring ternaknya ke pinggir telaga dengan canggkul melekat pada bahu, menuntun sapi-sapinya dengan tali melilit dilingkaran leher sapi.

Lenguhnya bertebar sepanjang lorong perkampungan.

Suasana yang tak pernah ditemukan di kota, seembun ini lalu lalang kendaraan menerabas perkotaan, gedunggedung menjulang, kerap-kerlip neon berpijar di sela-sela menara pencakar langit. Jalan-jalan ramai dengan hiasan knalpot hingga menyebabkan polusi berhamburan sepanjang trotoar; motor, mobil dan lain sebagainya. Praktis beda tipis antara bulan dan matahari. Cerita itu aku peroleh dari bu Rahma tetangga sebelah yang anaknya berkerja di kota sebagai buruh pabrik.

*** Garis-garis cahaya terselip di antara kabut. Sesekali kain penutup pintu kamar mandi tersingkap terkena terpaan udara yang bergemuruh dari arah timur.

Cericit beburung menggema di pepohonan, di ruas-ruas bambu yang berderak.

Mayang-mayangnya berserak di liat membasah. Sebasah kain-kain di bentangan tali merah jambu itu.

Baju terakhir yang kukaitkan menjadi alasan meninggalkan tempat itu— menuntun diri menatap Malika yang lelap dalam kamar. Tubuhnya di selimuti sarung pemberian neneknya sebelum ia meninggalkan kami selamanya.

Ia buah perjodohan dengan lelaki seberang yang sejak dalam kandungan memutus janji suci, hidup dan mati. Serupa layang-layang putus tali, terombang- ambing, mengadu jarak hingga aku tak dapat meraihnya kembali. Ber- sama Malika seraya menatap bianglala kemarin senja.

Kadua mata menatap seksama, mengamatinya penuh cinta, lalu bergegas menuju kerumunan orang yang setiap saat biasa berpapasan di tempat itu. Aku ingat betul bisiknya tempo hari yang meminta membuatkan makanan kesukaannya.

Tak ada ucap yang keluar dariku, hanya membalasnya dengan anggukan. Kebiasaan yang tak kunjung lepasiaakanmeraungsekuattenagasaat terbangun tak melihatku berada di rumah.

Kemanjaan yang membuat tak ingin berjarak dengannya, tak ingin berlama- lamameninggalkandia: lebih-lebih melepaskan pada ayahnya.

Mendung menyebabkan orang tak banyak mengunjungi tempat itu— Bu Rahma tetangga terdekat juga tak tampak di kerumunan orang yang menghiasi warung-warung kumuh. Lapak-lapak terbuat dari anyaman bambu, atap jerami sebagai peneduh terik yang bangkit dari ufuk timur. Bau anyir menghantam penciuman membuat kehendak ingin segera meninggalkan tempat itu. Semua sudah kumasukkan dalam plastik warna jingga, di situ terdapat macam-macam jenis bahan makananan pesanan Malika.

*** Pelataran menghias pandang, jejakan kaki membekas di permukaan liat warna coklat kemerahan. Aku injak dengan persangkaan baik. Pintu rumah yang tak terkunci kutarik pinggir daunnya pelanpelan.

Ada suara derik pintu di sana, suara yang menjadi simbol sesaat membuka dan menutup pintu rumah.

Pukul 06.15 aku ambil benda tipis, membelah beberapa bagian bahan sesuai ukuran. Tungku menyala, bara apinya tak beraturan terkena udara menyelundup masuk dari arah jendela yang terbuka. Kepulan asap membentuk kekuatan dalam ruang. Tiga ekor cecak menggerak-gerakkan ekornya di tepi dinding. Menimbulkan suara.

Berkejaran mencari sasaran.

Aku ingin menyelesaikan sebelum Malika beranjak pergi. Bisa kubayang senyumnya mengembang saat menyantap sesuatu yang menurutnya istimewa.

Walau sulit memenuhi semua yang ia impikan, seperti permintaanya kala itu: ingin mendapatkan buku dongeng dari penjual buku keliling, hingga kini belum bisa kupenuhi. Akibat dari kekecewaan itu, ia tak mau sekolah selama dua hari.

Semuanya sudah kusiapkan di atas piring cerah. Kedua sorot menatap jam tepat pukul 06.35, waktu menyudahi mimpi Malika dalam tidur. Aku menuju kamarnya, menyingkap putih kelambu yang menggantung di tengah-tengah pintu. Tiba-tiba sesuatu menghampiriku.

Bergelayut dalam otak. Tampak aneh, bahkan sangat aneh ketika tak menemukan Malika di kamarnya. Ya, hari yang aneh, selidikku.

Cermin menatapku dalam diam: menelisik wajah dengan tanya yang muncul tiba-tiba. Kasur dan bantalnya tertata sebagaimana mestinya. Tak biasa ia berbuat demikian. Cara melipat kain yang kuajarkan kemarin sore rupanya sudah tertanam. Buktinya ia berani mempraktekkan meski lipatan itu kurang bisa di kata sempurna. Mata terbelalak tak percaya.

Tak ingin termangu memandang cermin, melayangkan nalar yang tak tahu pangkal ujungnya, segera kuhapus semua ketimpangan Malika yang tak biasa.

Kamar mandi tujuan utama, memastikan ia membersihkan tubuhnya tanpa aku suruh dan sedikit mengeluarkan bara dari tubuh. Namun tak kutemukan kecipak air saat kain hitam penutup pintu kamar mandi itu kusingkap perlahan, dan benar, Malika tak ada di dalamnya.

Seketika benak mengalir kecamuk sesuatu tentangnya.

Akukembalikedalam rumah, jam tepat pukul 07.15. Seragam di tempat gantungan itu juga tak ada. Tas yang digendong serta sepatunya juga raib tanpa sepengatahuanku. Sepertinya ia berangkat sebelum aku beranjak dari pasar, pikirku.

*** Pukul 10.00 aku memantapkan niat mengantarkan makanan kesukannya.

Makanan itu kumasukkan dalam rantang berukuran kecil yang aku beli dari pasar bulan beberapa waktu lalu dengan corak warna merah muda, di bagian pinggirnya terdapat gambar yang menyerupai bunga-bunga.

Aku bergegas menuju tempat Malika.

Menenteng rantang di tangan kanan.

Udara yang sejuk tak menghalangi tapak-tapak harap. Jalan tak beraspal membuat genang air melimpah sehabis hujan malam. Entah sampai kapan keberadaan jalan tempat tinggalku akan terus demikian. Bila musim hujan tiba, air langit tumpah ruah di jejalan berlubang.

Batu-batu tersusun tak teratur.

Takadayang peduli, lebih-lebihpenguasa di kampung pedalaman ini.

Arakan kabut menenggelamkan biru laut. Sisik-sisikya menyerupai ikan dan buaya. Aku berharap air langit tak tumpah hari ini, sebab kain yang berbentuk setengah bulatan kudiamkan saja di rumah. Udara terasa ringan, menelisip di sela-sela kain tubuh. Pintu gapura tampak di ujung pengkolan, di sampingnya para tani menyisiri hiasan daun menguning kehijauan. Dalam harap aku berencana memberi sesuap makanan kesukaannya.

*** “Malika pamit pulang setelah bel istirahat.” Ucap tukang kebun itu saat mata saling jumpa pada titik yang sama. Keringat tumbuh tiba-tiba. Cecabangnya membanyak. Panas dingin tubuh tertuju pada tingkahnya yang tak biasa. Aku berbalik arah. Tak ada ucap membekas di bawah gapura, bahkan tak satu kalimatpun terlontar pada tukang kebun itu, entah, nalar hitam seketika. Tak biasa Malika demikian. Pikirku gelisah.

Gelegar menggema. Daun-daun kering luruh terkena udara yang menderuderu.

Cahaya bulatan perak tak membekas di permukaan. Liat tanah menjadi bubur, tumpahan air terselip di bebatuan.

Menetesi helai-helai dedaun.

Mengalir ke seluruh tubuh terasa seperti tusuk jarum.

Sandal yang kugunakan terkoyak lantaran terpeleset di jejalan yang melicin.

Tak peduli kerikil-kerikil menusuk telapak yang akan menimbulkan perih. Ya, aku benar-benar tak peduli. Tak mau tahu tentang sesuatu yang menghalangi langkah.

Dari kejauhan tak terdapat jejak Malika di liat pelataran. Rumah tampak seperti sebelum aku pergi. Kubuka daun pintu, kembali dengan persangkaan baik. Berharap Malika menunggu di dalamnya. Aku mengamati seluruh ruang bak kucing mencari mangsa. Namun tak satupun gerak-gerik berseliweran di kedua mata.

Hati gusar, hambar terapung bersama hujan. Aku mematung di samping jendela.

Langit tak menampakkan warnanya.

Tak henti-henti menjatuhkan basah.

Sebasah kain tubuh terkena tumpahan hujansaatmenujupulang. Bercakdarah terasa seperti titik di telapak kaki, baru terasa perihnya sesaat sampai di rumah.

*** Rumah Bu Rahma yang biasa sebagai tempat Malika nonton TV tertutup rapat, yang jelas Malika tak ada di dalamnya.

Kembali kususuri lorong-lorong perkampungan. Sepanjang perjalanan serasa gusar. Entah sudah rumah yang keberapa, berharap Malika berada di salah satu rumah itu. Rumah yang penghuninya tak satupun tahu keberadaanya.

Waktu melewati separuh hari sejak fajar menjinjing cahayanya dari ufuk timur. Malika belum juga muncul dari pertigaan pengkolan menuju rumah.

Entah apa penyebab ia belum datang, seperti kebiasaannya ia akan datang tepat waktu; bersama Ibas, juga Akbar yang tampak berkeliaran dengan layangan dan baju seragam yang masih melekat pada tubuh mungilnya.

Aku melontar pertanyaan pada Akbar dan Ibas, namun jawabnya tak bisa menghentikan gelisah karena ia juga tak bertemu Malika saat pulang sekolah. Tatkala pikirku mengarah terhadap hal-hal yang tak pernah kuinginkan sebelumnya.

Kembali aku mengurai kejadian-kejadian kemarin yang membuat ia bertingkah aneh. Seperti ingatku, tak satupun kata-kata kasar kuutarakan padanya. Minggu lalu sengaja tak menegur melihat hasil ujiannya makin turun.

Siapa yang tak pernah melakukan kesalahan, maka ia tidak akan menemukan hal baru. Ucapku sesaat melihat kertas yang ia sodorkan. Entah ia mengerti kata itu atau tidak, yang jelas aku tak menampakkan urat leher. Tapimemang, tiga hari kemudian aku sempat bicara agak serius, bahkan lebih serius agar ia berhenti ngompol, paling tidak mengurangi kebiasaannya itu. Apakah perkataan itu yang membuat ia tak ingin pulang ke rumah? Atau ada hal lain yang disembunyikan dariku? *** Pukul 15.30 berlalu, tak terasa aku terlelap di teras depan. Tak ada senja di awang-awang, sisik awan masih keruh.

Gerimis kembali mengurai liat pelataran. Ia tak kunjung datang, entah apa yang harus kuperbuat. Aku menatap kosong, tetes bening mengalir meniti di lesung pipi.

Kembali aku melongo ke titik pengkolan, tak terlihat Malika di sela kerumunan anak-anak yang bermain itu. Gemuruh udara masih kuat menerpa atap. Para tani beranjak dari sawah, menggiring sapinya ke tempat peristirahatan.

Beburung hantu bercericit di pelepah siwalan, berputar-putar kelelawar di atas ruas-ruas bambu yang berderak.

Semuamahluksudahkembali, tapi tidak dengan Malika, entah? Aku masih termangu membayang makanan kesukaanya di santap penuh lahap. Sesekali gelak tawanya menggeliat dalam hayal. Aku menunduk diserang resah. Tak ada lagi bunyi kepodang di pepohonan. Hanya derak bambu terdengar hambar. Relung bergejolak, pasrah pada jarak yang membesut kita saling tiada.

*** “Ibu?,” Suara itu tampak datar, samar.

“Ibu?,,” Suaranya makin jelas. Menghentikan lamunan. Aku mendongak menuju arah datangnya suara itu. Seketika Malika berdiri di depanku. Wajahnya kusut kelelahan dengan keringat basahi seragamnya. Bercak lumpur membuat putih bajunya berubah kecoklatan.

Sengaja aku tak menanyakan sesuatu yang membuat ia tak mau pulang pada waktunya, juga keanehan yang ia perbuat sejak fajar terbit hingga senja tenggelam.

“Aku telah menyusahkan ibu.” Ucapnya dengan kedua tangan di belakang punggungnya. Beberapa kerutan menjadi berulang. Aku mematung. Menyimak dengan rasa ingin tahu. Namun tetap tak kutangkap maknanya.

“Aku mendapatkan teratai ini dari telaga seberang”. Kedua tangan yang tadinya disembunyikan ternyata menyimpan sesuatu yang sebelumnya aku tak tahu apa namanya. Masih belum kupaham tingkahnya yang demikian. Kedua mata masih tak berpaling dengan rasa tak biasa. Ah, tampaknya ia mengulum senyum. Berjalan ragu mendekatiku.

“Bapak ibu guru kemarin berkata, sekarang hari kartini, hari yang menguak sejarah peradaban kaum perempuan.

Bagi siapa yang ingin memperingatinya, berilah ia sesuatu yang menurutmu mendekati sosok beliau.

Akuhanya mendapatkan ini.” Mendengar ucapnya yang polos, degup berdetak amat kencang, melebihi gemuruh membentur janur-janur nyiur, kumpulan rumput gajah, juga pepohonan yang maya-mayanya berguguran. Mata menyala purnama.

Seperti noktah-noktah kecil dalam gelap.

Dada berdesir embun. Penuh gegas kuraih teratai itu, lalu mendekap erat Malika. Tubuhnya mengeluarkan bau tak sedap, tapi itu bukan masalah, bagiku bau itu tak ubahnya penghormatan sekaligus pengorbanan seorang anak terhadap ibunya.

Lekas-lekas kuangkat tubuhnya menuju ruang tengah, menyilakan duduk di atas lantai tanpa alas tikar, menyuapkan makanan kesukaannya yang sedari pagi sudah kupersiapkan dalam rantang.

Beluk Raja-Madura, 2013

Artikel Terkait

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/