25 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Sumpah Orang Paling Setia

Sumpah. Setelah gagal menagih hutang yang tak seberapa itu, aku berusaha sabar masih menemani makan malamnya. Masih bersumpah untuk menjadi orang paling setia di dekatnya.

Oleh Tjak S. Parlan

ku menatap lurus-lurus ke matanya dan bersumpah bahwa hari ini seharusnya kesempatan itu ada. Sambil memasang mimik seksama, aku mendengarkan ia berbicara. Sesekali membantah. Tapi aku sebenarnya lebih sering mengiyakannya. Tentu, ini biasa dilakukan untuk memberikan kesan bahwa aku masihlah tempat yang layak untuk menampung segala sampah berbusa-busa yang muncrat dari mulutnya. Ia selalu bisa mengatur irama. Gerakan tangannya bersamaan dengan ketika ia menekankan kata-kata tertentu. Mulut besarnya sibuk membantai ayam bakar taliwang bersanding dengan pelecing kangkung— menu kesukaannya malam itu. Aku seperti melihat babi gemuk jantan lapar sedang beringas memamah makanannya. Berselang-seling dengan wajahnya yang menahan pedas, ia mengutuk sekaligus menggemari paduan cabe merah mentah, tomat, terasi bakar, sedikit bawang merah dan baluran tipis aroma irisan jeruk limau yang terselip di antaranya. Lagi, mulut besarnya mendesis ular berbisa. Dahi lebarnya berkeringat sehingga ia harus menyekannya berulang-ulang dengan punggung tangannya tanpa memedulikan sekotak tisu di atas meja. Lalu tangan kirinya menyambar segelas air putih dan meminumnya dengan suara seperti cegukan keluar dari tenggorokannya yang tak beradab.

Sekarang, irama yang muncul dari meja makan itu mulai pelan. Pelan-pelan ia menuju wastafel yang menempel di dinding dapur. Ia bersiul-siul. Berdengung sumbang. Lagunya mudah kutebak. Suara dan mimik mukanya mewakili selera yang tak berdasarkan kreatifitas cerdas saat bernyanyi. Mental bajakkan yang cenderung menyukai sair-sair dungu mendayu-dayu. Seandainya pita suara itu bisa berbuat semaunya, tentu mereka akan memanjang, menjulur-julur lalu melilit lehernya hingga sekarat. Satu-satunya yang membuat pita suaranya pantas didengar oleh orang-orang bebal adalah ketika ia berbicara. Ketika ia mengoceh seharian tentang gagasan-gagasan kuno seperti kebanyakan termaktub dalam undang-undang yang seharusnya sudah direvisi. Tapi lihatlah. Gayanya memang meyakinkan dalam setiap kata yang digunakan.
Janji-janjinya yang surga mengeram dalam kepala orang-orang lugu tak berdosa. Tapi saksikanlah. Alur yang ia bangun ketika berbicara menumbuhkan sungai-sungai dusta dari mulutnya: bening di permukaan, keruh di kedalaman. Sungai-sungai kotor. Penuh sumpah-sumpah berak yang keluar dari kloaka kepentingan: atas nama rakyat? Dan aku, aku bukan jenis mahluk yang mudah dibodohi lalu dipergunakan semaunya. Pernah memang aku menjadi salah satu anasir bagi kepentingan-kepentingannya. Begitu merepotkannya ia. Tapi jauh di kedalaman hatiku berharap semoga hari itu yang terakhir. Hari di mana ia begitu tak berdaya menjilat ludah yang lepas begitu saja dari mulutnya. Sebagai orang yang setia, aku membantunya sebisaku. Berbagi semampuku menutupi kekurangannya. Kupertemukan ia dengan seseorang yang bisnisnya membutuhkan perlindungan.

Membutuhkan atmosfir politik yang berpihak pada kemapanan dan keburuntungan, begitu istilah mereka dan golongannya. Ia menyanggupi. Ia bahkan mendapatkan sokongan ekonomi bagi tujuan-tujuannya. Tentu, ada catatan-catatan lain yang tak boleh dilanggar. Ia melanggarnya. Ia begitu tamak. Ia melahap semuanya. Ia menjual kepercayaan yang diberikan padanya demi keuntungan yang lebih besar. Keuntungan yang membuatnya lupa bagaimana seharusnya bumi dipijak. Ia lupa muasal semua keberhasilannya. Sampai akhirnya keberhasilan sementara itu berbalik menyerangnya. Mencampakkannya dalam dunia penuh komplotan tak beradab. Tapi dengarlah. Ia selalu menyimpan pembelaan bertumpuk-tumpuk bagi kegagalannya.
“Sumpah! Aku bisa saja membeli suara mereka. Tapi kau tahulah, itu bukan permainan yang sehat. Suaraku sendiri cukup lumayan. Bayangkan, Bung! Seorang aku…,” Ia tak melanjutkan kalimatnya. Kali ini ia melirik bagian tubuhnya dari samping. “Aku makin gemuk, ya?”

Aku tak menanggapinya. Aku sedang sibuk menyeduh teh hangat untuk menutup hidangan malam. Aku bersumpah, itu hidangan terakhir untuknya. Sumpah!

Setelah selesai mencuci tangan dan puas mengomentari tubuh kenyangnya, ia segera merapat ke meja. Menikmati teh buatanku dengan terburu-buru. Ada janji, katanya. Telepon selulernya berdering. Lalu aku mendengar percakapan-percakapan seperti biasanya. Istilah-istilah asing yang terdengar seragam dan terlalu sering diulang. Kemasan kata-kata yang dipahami dari bungkusnya saja. Aku tahu ia bahkan sering tidak tahu dengan kata-katanya sendiri. Aku juga tahu, ia telah membungkusnya dengan kecermatan-kecermatan diplomasi bagi orang-orang bebal di tempat ini. Ya, di kalangan mereka atau di kalangan orang-orang tak berdaya multidimensi yang memberi peluang meloloskan kepentingannya, ia cukup dianut. Tapi aku tidak menganutnya. Sumpah!

Aku sekarang hanya mengingat dan terus memikirkannya bahwa malam ini ada seseorang sedang menungguku di sana. Ia pasti menghabiskan waktu dengan memilin, mengelus, meraba dan berakhir dengan kesepakatan berhubungan singkat untuk mencari uang tambahan. Dan orang-orang bermulut ganda yang kelelahan menjawab telepon-telepon penuh persekongkolan itu, diam-diam sering mengepaskan kaku tubuhnya ke sana. Aku tahu, satu dua dari mereka akan terengah-engah, mengantuk dan membawa efek samping dari libido itu hingga ke ruang sidang. Aku juga ingat dan terus memikirkannya bahwa malam ini janji penebusan itu harus terbukti. Aku tidak boleh gagal mengentaskannya dari tempat itu. Hanya dengan cara itu, keseriusanku bisa dipercaya dan kesetiaanku menjadi ada gunanya. Bukti nominallah yang akan membuatnya mudah berpamitan. Maka malam ini—karena sumpahku sendiri— aku harus mendapatkan sejumlah uang sebagai jaminan pertama memulai hari-hari baru bersamanya. Aku tahu di mana jumlah yang kuinginkan itu berada. Di kantong jaket kulitnya yang tebal, tempat mantan bos-ku di sebuah komplotan ini menyembunyikan dompetnya.

“Tenang, Bung. Besok pagi akan kulunasi. Sekarang ada, tapi sumpah, aku sedang butuh. Kau tahulah, aku akan bertemu orang penting, dan … seperti biasa.” Ia mengatakan itu setelah menutup telepon selulernya dan siap untuk berangkat. “Kau tidur di sini saja. Aku pulang agak pagi. Oke, aku sudah ditunggu.”

Aku mengangguk sambil mengingat sumpahku. Sumpah, aku harus memenuhi sumpahku malam ini. Sumpah, aku sering mendengar kalimat itu dari mulutnya. Sumpah!

“Tolong jaketku, dong. Kau yang dekat,” perintahnya kepadaku. Sumpah, ia kini bahkan menyuruhku. Tapi aku mengiyakannya. Mengambilkan jaketnya yang kesepian di punggung kursi di sebelahku dan memasangkannya pada tubuhnya yang tambun. Ia tersenyum tak mengerti atas bantuanku. Aku membalasnya sambil merogoh sebilah pisau dapur yang kuselipkan di balik sweaterku ketika ia mencuci tangannya di wastafel tadi. Lalu tanganku yang panik berayun ke lehernya. Lagi. Lagi. Darah muncrat. Dan lagi, sampai aku mendapatkan kembali sumpah yang ia simpan dalam dompetnya. Aku melakukan ini karena sumpahku sendiri. Sumpah, karena aku orang yang paling setia. (*)

Sumpah. Setelah gagal menagih hutang yang tak seberapa itu, aku berusaha sabar masih menemani makan malamnya. Masih bersumpah untuk menjadi orang paling setia di dekatnya.

Oleh Tjak S. Parlan

ku menatap lurus-lurus ke matanya dan bersumpah bahwa hari ini seharusnya kesempatan itu ada. Sambil memasang mimik seksama, aku mendengarkan ia berbicara. Sesekali membantah. Tapi aku sebenarnya lebih sering mengiyakannya. Tentu, ini biasa dilakukan untuk memberikan kesan bahwa aku masihlah tempat yang layak untuk menampung segala sampah berbusa-busa yang muncrat dari mulutnya. Ia selalu bisa mengatur irama. Gerakan tangannya bersamaan dengan ketika ia menekankan kata-kata tertentu. Mulut besarnya sibuk membantai ayam bakar taliwang bersanding dengan pelecing kangkung— menu kesukaannya malam itu. Aku seperti melihat babi gemuk jantan lapar sedang beringas memamah makanannya. Berselang-seling dengan wajahnya yang menahan pedas, ia mengutuk sekaligus menggemari paduan cabe merah mentah, tomat, terasi bakar, sedikit bawang merah dan baluran tipis aroma irisan jeruk limau yang terselip di antaranya. Lagi, mulut besarnya mendesis ular berbisa. Dahi lebarnya berkeringat sehingga ia harus menyekannya berulang-ulang dengan punggung tangannya tanpa memedulikan sekotak tisu di atas meja. Lalu tangan kirinya menyambar segelas air putih dan meminumnya dengan suara seperti cegukan keluar dari tenggorokannya yang tak beradab.

Sekarang, irama yang muncul dari meja makan itu mulai pelan. Pelan-pelan ia menuju wastafel yang menempel di dinding dapur. Ia bersiul-siul. Berdengung sumbang. Lagunya mudah kutebak. Suara dan mimik mukanya mewakili selera yang tak berdasarkan kreatifitas cerdas saat bernyanyi. Mental bajakkan yang cenderung menyukai sair-sair dungu mendayu-dayu. Seandainya pita suara itu bisa berbuat semaunya, tentu mereka akan memanjang, menjulur-julur lalu melilit lehernya hingga sekarat. Satu-satunya yang membuat pita suaranya pantas didengar oleh orang-orang bebal adalah ketika ia berbicara. Ketika ia mengoceh seharian tentang gagasan-gagasan kuno seperti kebanyakan termaktub dalam undang-undang yang seharusnya sudah direvisi. Tapi lihatlah. Gayanya memang meyakinkan dalam setiap kata yang digunakan.
Janji-janjinya yang surga mengeram dalam kepala orang-orang lugu tak berdosa. Tapi saksikanlah. Alur yang ia bangun ketika berbicara menumbuhkan sungai-sungai dusta dari mulutnya: bening di permukaan, keruh di kedalaman. Sungai-sungai kotor. Penuh sumpah-sumpah berak yang keluar dari kloaka kepentingan: atas nama rakyat? Dan aku, aku bukan jenis mahluk yang mudah dibodohi lalu dipergunakan semaunya. Pernah memang aku menjadi salah satu anasir bagi kepentingan-kepentingannya. Begitu merepotkannya ia. Tapi jauh di kedalaman hatiku berharap semoga hari itu yang terakhir. Hari di mana ia begitu tak berdaya menjilat ludah yang lepas begitu saja dari mulutnya. Sebagai orang yang setia, aku membantunya sebisaku. Berbagi semampuku menutupi kekurangannya. Kupertemukan ia dengan seseorang yang bisnisnya membutuhkan perlindungan.

Membutuhkan atmosfir politik yang berpihak pada kemapanan dan keburuntungan, begitu istilah mereka dan golongannya. Ia menyanggupi. Ia bahkan mendapatkan sokongan ekonomi bagi tujuan-tujuannya. Tentu, ada catatan-catatan lain yang tak boleh dilanggar. Ia melanggarnya. Ia begitu tamak. Ia melahap semuanya. Ia menjual kepercayaan yang diberikan padanya demi keuntungan yang lebih besar. Keuntungan yang membuatnya lupa bagaimana seharusnya bumi dipijak. Ia lupa muasal semua keberhasilannya. Sampai akhirnya keberhasilan sementara itu berbalik menyerangnya. Mencampakkannya dalam dunia penuh komplotan tak beradab. Tapi dengarlah. Ia selalu menyimpan pembelaan bertumpuk-tumpuk bagi kegagalannya.
“Sumpah! Aku bisa saja membeli suara mereka. Tapi kau tahulah, itu bukan permainan yang sehat. Suaraku sendiri cukup lumayan. Bayangkan, Bung! Seorang aku…,” Ia tak melanjutkan kalimatnya. Kali ini ia melirik bagian tubuhnya dari samping. “Aku makin gemuk, ya?”

Aku tak menanggapinya. Aku sedang sibuk menyeduh teh hangat untuk menutup hidangan malam. Aku bersumpah, itu hidangan terakhir untuknya. Sumpah!

Setelah selesai mencuci tangan dan puas mengomentari tubuh kenyangnya, ia segera merapat ke meja. Menikmati teh buatanku dengan terburu-buru. Ada janji, katanya. Telepon selulernya berdering. Lalu aku mendengar percakapan-percakapan seperti biasanya. Istilah-istilah asing yang terdengar seragam dan terlalu sering diulang. Kemasan kata-kata yang dipahami dari bungkusnya saja. Aku tahu ia bahkan sering tidak tahu dengan kata-katanya sendiri. Aku juga tahu, ia telah membungkusnya dengan kecermatan-kecermatan diplomasi bagi orang-orang bebal di tempat ini. Ya, di kalangan mereka atau di kalangan orang-orang tak berdaya multidimensi yang memberi peluang meloloskan kepentingannya, ia cukup dianut. Tapi aku tidak menganutnya. Sumpah!

Aku sekarang hanya mengingat dan terus memikirkannya bahwa malam ini ada seseorang sedang menungguku di sana. Ia pasti menghabiskan waktu dengan memilin, mengelus, meraba dan berakhir dengan kesepakatan berhubungan singkat untuk mencari uang tambahan. Dan orang-orang bermulut ganda yang kelelahan menjawab telepon-telepon penuh persekongkolan itu, diam-diam sering mengepaskan kaku tubuhnya ke sana. Aku tahu, satu dua dari mereka akan terengah-engah, mengantuk dan membawa efek samping dari libido itu hingga ke ruang sidang. Aku juga ingat dan terus memikirkannya bahwa malam ini janji penebusan itu harus terbukti. Aku tidak boleh gagal mengentaskannya dari tempat itu. Hanya dengan cara itu, keseriusanku bisa dipercaya dan kesetiaanku menjadi ada gunanya. Bukti nominallah yang akan membuatnya mudah berpamitan. Maka malam ini—karena sumpahku sendiri— aku harus mendapatkan sejumlah uang sebagai jaminan pertama memulai hari-hari baru bersamanya. Aku tahu di mana jumlah yang kuinginkan itu berada. Di kantong jaket kulitnya yang tebal, tempat mantan bos-ku di sebuah komplotan ini menyembunyikan dompetnya.

“Tenang, Bung. Besok pagi akan kulunasi. Sekarang ada, tapi sumpah, aku sedang butuh. Kau tahulah, aku akan bertemu orang penting, dan … seperti biasa.” Ia mengatakan itu setelah menutup telepon selulernya dan siap untuk berangkat. “Kau tidur di sini saja. Aku pulang agak pagi. Oke, aku sudah ditunggu.”

Aku mengangguk sambil mengingat sumpahku. Sumpah, aku harus memenuhi sumpahku malam ini. Sumpah, aku sering mendengar kalimat itu dari mulutnya. Sumpah!

“Tolong jaketku, dong. Kau yang dekat,” perintahnya kepadaku. Sumpah, ia kini bahkan menyuruhku. Tapi aku mengiyakannya. Mengambilkan jaketnya yang kesepian di punggung kursi di sebelahku dan memasangkannya pada tubuhnya yang tambun. Ia tersenyum tak mengerti atas bantuanku. Aku membalasnya sambil merogoh sebilah pisau dapur yang kuselipkan di balik sweaterku ketika ia mencuci tangannya di wastafel tadi. Lalu tanganku yang panik berayun ke lehernya. Lagi. Lagi. Darah muncrat. Dan lagi, sampai aku mendapatkan kembali sumpah yang ia simpan dalam dompetnya. Aku melakukan ini karena sumpahku sendiri. Sumpah, karena aku orang yang paling setia. (*)

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/