29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pertarungan Terakhir

Cerpen : Hermawan Aksan

Pada suatu malam gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca rumah, aku kehilangan tokoh utama ceritaku. Tiba-tiba alur kisah yang tengah kurangkai menjadi buntu, seperti menumbuk bidang datar yang pejal. Tema, konflik, deskripsi suasana, segalanya menjadi tanpa arah, tak ubahnya tersesat di hutan antah-berantah.
Ke mana dia? Padahal aku tengah bergairah menjadikan dia seorang bramacorah. Aku hendak mempertemukan dia dengan seorang musuh bebuyutan dalam pertarungan terakhir di sebuah lembah yang basah di kaki Gunung Salak dan akan menjadi penentuan siapa sebenarnya bramacorah yang paling hebat dalam sejarah. Sang musuh sudah menghadang, dengan baju dan celana hitam komprang serta golok panjang di pinggang, dan sekarang tokoh utamaku menghilang. Apakah ia mendadak menjadi lelaki tanpa nyali?

Kubongkar tumpukan kertas buram yang biasa kupakai untuk merancang-rancang secara kasar cerita-cerita pendek. Barangkali ia terselip di sana, menyembunyikan diri dari angin dingin yang menyelinap melalui ventilasi, atau sengaja bertemu dengan tokoh-tokoh lain rekaanku. Tak ada.

Kubuka folder demi folder di komputerku, siapa tahu ia menyelimpat pada salah satu di antara puluhan file naskah jadi atau setengah jadi. Barangkali ia ingin sejenak jalan-jalan membuang kejenuhan, lagaknya pengarang yang kadang dilanda kekeringan gagasan. Tak juga kujumpai di sana.

Beberapa waktu lalu, dua kali ia menghilang. Pertama, ia lenyap ketika aku menjadikannya seorang pejabat yang ketahuan mencuri uang negara. Cerita ini terinspirasi oleh fakta mutakhir di sebuah kabupaten bahwa bupati, wakil bupati, sekretaris daerah, dan anggota dewan, semuanya menjadi tersangka korupsi. Tak tersisa. Dia kutemukan di saku bajuku, tokohku itu, pada secarik kertas kwitansi honor dari sebuah media.

Kedua, ia raib dari bidang layar komputer ketika cerita hampir mencapai klimaks dan ia harus menghadapi istrinya yang montok macam timun suri selingkuh dengan bosnya. Ia kutemukan pagi hari tengah mematung di kolam kecil di depan rumahku, memandang ikan-ikan yang kedinginan. Aku memintanya masuk karena udara mengandung embun yang membekukan, tapi ia bergeming seperti patung salju. Aku menduga ia tengah berangan-angan menjadi kodok jantan, untuk menemani kodok betina di balik batu di sudut kolam.

Namanya Surandil, tokohku itu. Sulit aku memerikan sosoknya. Ia pernah kupakai menjadi banyak karakter. Ketika menjadi mahasiswa, ia berwajah biasa-biasa saja sehingga terbiasa patah hati karena selalu mendambakan mahasiswa yang cantik luar biasa, kerap berlagak sebagai pencinta binatang tapi membenci tak alang-kepalang kucing milik ibu kos karena selalu membikin gaduh di genting kamar tatkala ia berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Ketika menjadi pengemis, Surandil bertubuh kumuh seperti patung jerami pengusir burung, bertopi pandan dan berkaki pengkor, dengan baju berwarna campuran segala benda kotor dan bau seperti got mampat.

Ketika menjadi anggota DPR, ia memakai jas, dasi, dan sepatu pantofel mengkilat, pintar berjanji tanpa perlu menepati, duduk nyaman di jok mobil Alphard yang menguarkan harum magnolia seraya jemarinya sibuk mengubah-ubah status Facebook dan Twitter, kemudian menyandar tenteram di kursi empuk ruang sidang dengan mata lelap terpejam, atau menitip tanda tangan dan meluncur ke sebuah ruang yang samar dan temaram.

Aku menyukai nama Surandil tanpa sebab. Di dunia nyata, pastilah yang ada Suranto, Suratno, Suharto, dan yang sejenisnya, tapi aku tak yakin apakah ada nama Surandil. Nama ini muncul begitu saja seperti putik bunga di pagi hari dan berseminya putik tidak perlu karena sebab tertentu. Tentu saja Surandil tidak tampil dalam setiap cerita. Tapi seperti Seno Gumira dengan Sukab-nya, AS Laksana dengan Seto-nya, dan Mahwi Air Tawar dengan Madrusin-nya, Surandil seperti belahan jiwa bagiku. Soulmate.
***

INGIN kutanya istriku di mana gerangan Surandil. Tapi risikonya terlalu tinggi. Pertama, ia tengah lelap dan dengkurnya hilang-timbul di tengah desau angin malam. Oh, istriku cantik dan seksi. Jadi, tak ada hubungannya antara dengkur dan kecantikan. Ia akan marah, atau setidaknya cemberut berat, kalau kubangunkan di tengah mimpinya. Ia sekretaris sebuah perusahaan penerbitan buku dan ia harus bangun pagi karena selalu berangkat pukul tujuh dari rumah. Kami sudah hampir lima tahun menikah dan kami saling mencintai, setidaknya aku yakin kami saling mencintai, meskipun belum dianugerahi sesosok bayi. Kedua, ia akan bertanya macam-macam, siapa itu Surandil. Akan makin runyam kalau ia menyangka Surandil adalah manusia nyata.

Esoknya, kusambangi rumah temanku sang komponis lagu. Rumahnya hanya berselisih satu rukun warga dengan rumahku. Sesekali aku mampir jika hendak menjemput inspirasi di taman kompleks. Kadang jalan kaki, tapi kali ini menunggangi motor bebekku. Rumahnya menghadap taman, asri seperti iklan-iklan perumahan elite.
Lagu-lagunya sedang digandrungi anak muda, memadukan rock, blues, keroncong, tarling, dan orkes gambus seperti adonan Ketoprak Betawi. Bagaimana lagu-lagu acakadul seperti itu digemari, ah, selera anak-anak muda tak pernah bisa kita duga.

Beberapa kali aku membawa serta Surandil ke rumah sang komponis, tanpa sengaja, karena tahu-tahu ia menyembul dari kepalaku, atau kadang lepas dari lepitan dompet. Kami, maksudku aku dan sang komponis, kerap bertukar gagasan mengenai proses kreatif. Tak jarang aku bertemu berbagai tokoh baru dari lagu-lagu gubahannya. Sebaliknya, dari karya-karya yang kutunjukkan, ia kerap menciptakan lagu.

“Kamu lihat Surandil?” tanyaku, tanpa basa-basi melumat sepotong donat.
Sang komponis menghentikan petikan gitarnya. Keningnya berkerenyit, lapisan kulitnya membentuk gelombang sinus-cosinus sejajar dari tepi ke tepi. “Siapa Surandil?”
Ditanya seperti ini, kelabakan juga aku menjawab apa.

“Rasanya kamu tinggal berdua saja dengan istrimu. Adikmu? Atau keponakanmu? Seperti apa rupanya?”
Nah, pertanyaan ini juga sama sulitnya dijawab. Tak mungkin aku bilang dia anggota dewan berjas wangi. Sama musykilnya kalau aku bilang ia pengemis berbau penguk dengan kaki pengkor.

Karena aku diam saja, sang komponis kembali memainkan jemarinya di kawat-kawat gitarnya. Terdengar genjrengan musik acakadul yang tengah digemari anak-anak muda.

Aku lebih baik permisi saja.

Setelah menyusuri jalanan tanpa tujuan, tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan gerbang besi tempa rumah sahabatku sang pelukis. Rumahnya lebih mewah dibanding rumah sang komponis. Luas, dan sekilas menyerupai kastil dengan halaman yang seluas lapangan sepakbola. Seorang pelayan membuka rantai gerbang dengan suara berkelontang, membawaku ke studio sang pelukis di bangunan pinggir —lebih besar dibanding rumahku. Kalau siapa pun ingin menemukan sebuah kontras yang paling ekstrem, di sinilah tempatnya: gedung itu istana, sang istri bak permaisuri, tapi sang pelukis tak lebih dari lelaki kurus, bungkuk, hidung bulat, bibir maju, kulit gelap kusam. Tapi itulah, itu, satu lukisannya minimal seratus juta rupiah. Objeknya gadis-gadis cantik molek tanpa busana. Dan ke sinilah aku masuk kalau sedang suntuk.

Tapi kali ini tujuanku bukan memuaskan dahaga penglihatanku. Aku coba menyisir setiap sudut studionya, tapi tak kujumpai Surandil.
“Kamu cari apa tho?”

Aku tergeragap beberapa kejap. “Ya… melihat-lihat lukisanmu…”
“Tapi matamu tidak menatap lukisan-lukisan.”
Aku menoleh dan tertawa. Sang pelukis bukan orang yang tepat untuk berdiskusi tentang Surandil.
Jadi, aku memutuskan pergi ke rumah sang novelis. Betul, siapa tahu Surandil sedang berkumpul dengan teman-temannya sesama tokoh fiktif. Aku tahu sang novelis memiliki koleksi tokoh yang tak terhitung. Ia tak suka memakai tokoh yang sama dua kali. Satu judul saja menceritakan puluhan tokoh. Dan ia sudah menerbitkan puluhan novel. Berarti ada ratusan tokoh di sana.

Novel-novelnya bak kue bronis. Laris-manis. Royaltinya ibarat Bengawan Solo, mengalir sampai jauh. Jadi, untuk ukuran Indonesia sang novelis tergolong kaya. Rumahnya tingkat dua, sangat menonjol di antara rumah-rumah di sekitarnya. Mobilnya dua. Meskipun jarang ke rumahnya, aku mengagumi sang novelis karena ia tetap bersahaja.
“Ada angin apa seorang cerpenis berlabuh di sini?”

“Ah, saya bukan cerpenis, baru senang menulis cerpen, dan tahu-tahu sudah terdampar di pelabuhan ini.”
Sang novelis berbalik dari laptop-nya, mengangguk-angguk dengan senyumnya yang seteduh pohon beringin.
“Kamu lihat Surandil?”

Kedua alis tebal sang novelis bergerak hendak menyatu. Tapi sejenak menjauh lagi seiring dengan senyum di sudut kanan bibirnya yang lagi-lagi meneduhkan.
“Bukankah dia tokoh kesayanganmu?”

“Benar. Aku sedang membutuhkan peran dia.” Lalu kuceritakan cerpen yang sedang kubuat.
“Hmmm…” sang novelis manggut-manggut macam perkutut. “Mungkin ia tidak menyukai perannya. Mungkin ia ingin menjadi tokoh lelaki muda yang tampan, kaya, rajin salat, dan punya kekasih perempuan cantik, juga kaya dan serba modern.”

“Sinetron sekali….”
“Bukankah itu yang digemari?”
“Seperti novel-novelmu?”
Sang novelis tertawa.

“Di mana aku harus mencari dia?”
“Tak perlu kamu cari. Tunggulah, dia akan kembali. Rumahmu adalah rumahnya.”
***
PADA malam yang persis sama, gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca, samar-samar terdengar ketukan di pintu rumah. Ketika kubuka pintu, di bidang remang seorang lelaki muncul dengan penampilan yang membuatku terpana: berambut panjang yang diikat di belakang, berbandana hitam, celana jins belel, dan kaus berlogo klub Liverpool bertulisan You’ll Never Walk Alone. Aku merasa tak asing lagi. Aku selalu melihatnya di cermin. Sosok itu adalah diriku sendiri!
“Siapa kamu?”

Lelaki itu memberikan sorot yang menusuk melalui hitam matanya. “Boleh aku masuk?”
Aku memberinya jalan meskipun di dada berjejalan tanda tanya.
“Kamu tak mengenalku?” tanyanya sambil melewatiku. Menguar bau udara basah dari tubuhnya.
“Melihatmu sekilas, aku serasa sedang becermin. Tapi kamu bukan aku. Aku di cermin tak pernah memiliki raut menyeramkan seperti kamu.”
“Aku Surandil.”

Kalau saja tidak tertahan pintu yang kututup di belakangku, aku pasti sudah terjengkang.
Logika fiksi pun tidaklah berjumpalitan seperti ini. “Tidak mungkin.”
“Kamu tak bisa mengingkari kenyataan yang kamu lihat.”

“Surandil adalah tokoh ciptaanku. Akulah yang bisa menentukan dia mau menjadi apa. Dan aku tak pernah menjadikan dia sebagai aku.”

Lelaki itu tertawa.

Ia menghampiri meja di sudut ruang tengah. Meja dekat jendela kaca yang masih ditampar-tampar dedaunan bugenvil. Ia duduk menyandar sebentar di kursi, lalu memandang layar komputer yang masih berupa bidang putih menyala. Dua jarinya sekaligus menekan tombol CTRL + HOME dan layar memperlihatkan barisan-barisan kalimat cerpenku yang belum tuntas.

Kemudian ditekannya CTRL + H.

Aku menyerbunya. “Apa yang kamu lakukan?”

Tapi tangan kirinya seperti palang besi. Aku tertahan dan hanya bisa menatap layar komputer ketika semua nama Surandil dalam cerpenku itu digantinya dengan namaku.

Kucoba mendorongnya dari kursiku. Tapi aku merasakan kekuatan yang lebih dahsyat ketika aku malah terjengkang dan bagian belakang kepalaku menghantam tembok.

Mungkin sejenak aku kehilangan kesadaran. Ketika kubuka mata, tiba-tiba aku berada di sebuah lembah yang basah di kaki sebuah gunung. Gunung Salakkah?
“Akhirnya kamu datang juga.”

Aku berbalik. Di hadapanku menjega sosok lelaki berbaju dan celana hitam komprang dengan golok panjang di pinggang.***
Bandung, 2010

Cerpen : Hermawan Aksan

Pada suatu malam gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca rumah, aku kehilangan tokoh utama ceritaku. Tiba-tiba alur kisah yang tengah kurangkai menjadi buntu, seperti menumbuk bidang datar yang pejal. Tema, konflik, deskripsi suasana, segalanya menjadi tanpa arah, tak ubahnya tersesat di hutan antah-berantah.
Ke mana dia? Padahal aku tengah bergairah menjadikan dia seorang bramacorah. Aku hendak mempertemukan dia dengan seorang musuh bebuyutan dalam pertarungan terakhir di sebuah lembah yang basah di kaki Gunung Salak dan akan menjadi penentuan siapa sebenarnya bramacorah yang paling hebat dalam sejarah. Sang musuh sudah menghadang, dengan baju dan celana hitam komprang serta golok panjang di pinggang, dan sekarang tokoh utamaku menghilang. Apakah ia mendadak menjadi lelaki tanpa nyali?

Kubongkar tumpukan kertas buram yang biasa kupakai untuk merancang-rancang secara kasar cerita-cerita pendek. Barangkali ia terselip di sana, menyembunyikan diri dari angin dingin yang menyelinap melalui ventilasi, atau sengaja bertemu dengan tokoh-tokoh lain rekaanku. Tak ada.

Kubuka folder demi folder di komputerku, siapa tahu ia menyelimpat pada salah satu di antara puluhan file naskah jadi atau setengah jadi. Barangkali ia ingin sejenak jalan-jalan membuang kejenuhan, lagaknya pengarang yang kadang dilanda kekeringan gagasan. Tak juga kujumpai di sana.

Beberapa waktu lalu, dua kali ia menghilang. Pertama, ia lenyap ketika aku menjadikannya seorang pejabat yang ketahuan mencuri uang negara. Cerita ini terinspirasi oleh fakta mutakhir di sebuah kabupaten bahwa bupati, wakil bupati, sekretaris daerah, dan anggota dewan, semuanya menjadi tersangka korupsi. Tak tersisa. Dia kutemukan di saku bajuku, tokohku itu, pada secarik kertas kwitansi honor dari sebuah media.

Kedua, ia raib dari bidang layar komputer ketika cerita hampir mencapai klimaks dan ia harus menghadapi istrinya yang montok macam timun suri selingkuh dengan bosnya. Ia kutemukan pagi hari tengah mematung di kolam kecil di depan rumahku, memandang ikan-ikan yang kedinginan. Aku memintanya masuk karena udara mengandung embun yang membekukan, tapi ia bergeming seperti patung salju. Aku menduga ia tengah berangan-angan menjadi kodok jantan, untuk menemani kodok betina di balik batu di sudut kolam.

Namanya Surandil, tokohku itu. Sulit aku memerikan sosoknya. Ia pernah kupakai menjadi banyak karakter. Ketika menjadi mahasiswa, ia berwajah biasa-biasa saja sehingga terbiasa patah hati karena selalu mendambakan mahasiswa yang cantik luar biasa, kerap berlagak sebagai pencinta binatang tapi membenci tak alang-kepalang kucing milik ibu kos karena selalu membikin gaduh di genting kamar tatkala ia berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kuliah.
Ketika menjadi pengemis, Surandil bertubuh kumuh seperti patung jerami pengusir burung, bertopi pandan dan berkaki pengkor, dengan baju berwarna campuran segala benda kotor dan bau seperti got mampat.

Ketika menjadi anggota DPR, ia memakai jas, dasi, dan sepatu pantofel mengkilat, pintar berjanji tanpa perlu menepati, duduk nyaman di jok mobil Alphard yang menguarkan harum magnolia seraya jemarinya sibuk mengubah-ubah status Facebook dan Twitter, kemudian menyandar tenteram di kursi empuk ruang sidang dengan mata lelap terpejam, atau menitip tanda tangan dan meluncur ke sebuah ruang yang samar dan temaram.

Aku menyukai nama Surandil tanpa sebab. Di dunia nyata, pastilah yang ada Suranto, Suratno, Suharto, dan yang sejenisnya, tapi aku tak yakin apakah ada nama Surandil. Nama ini muncul begitu saja seperti putik bunga di pagi hari dan berseminya putik tidak perlu karena sebab tertentu. Tentu saja Surandil tidak tampil dalam setiap cerita. Tapi seperti Seno Gumira dengan Sukab-nya, AS Laksana dengan Seto-nya, dan Mahwi Air Tawar dengan Madrusin-nya, Surandil seperti belahan jiwa bagiku. Soulmate.
***

INGIN kutanya istriku di mana gerangan Surandil. Tapi risikonya terlalu tinggi. Pertama, ia tengah lelap dan dengkurnya hilang-timbul di tengah desau angin malam. Oh, istriku cantik dan seksi. Jadi, tak ada hubungannya antara dengkur dan kecantikan. Ia akan marah, atau setidaknya cemberut berat, kalau kubangunkan di tengah mimpinya. Ia sekretaris sebuah perusahaan penerbitan buku dan ia harus bangun pagi karena selalu berangkat pukul tujuh dari rumah. Kami sudah hampir lima tahun menikah dan kami saling mencintai, setidaknya aku yakin kami saling mencintai, meskipun belum dianugerahi sesosok bayi. Kedua, ia akan bertanya macam-macam, siapa itu Surandil. Akan makin runyam kalau ia menyangka Surandil adalah manusia nyata.

Esoknya, kusambangi rumah temanku sang komponis lagu. Rumahnya hanya berselisih satu rukun warga dengan rumahku. Sesekali aku mampir jika hendak menjemput inspirasi di taman kompleks. Kadang jalan kaki, tapi kali ini menunggangi motor bebekku. Rumahnya menghadap taman, asri seperti iklan-iklan perumahan elite.
Lagu-lagunya sedang digandrungi anak muda, memadukan rock, blues, keroncong, tarling, dan orkes gambus seperti adonan Ketoprak Betawi. Bagaimana lagu-lagu acakadul seperti itu digemari, ah, selera anak-anak muda tak pernah bisa kita duga.

Beberapa kali aku membawa serta Surandil ke rumah sang komponis, tanpa sengaja, karena tahu-tahu ia menyembul dari kepalaku, atau kadang lepas dari lepitan dompet. Kami, maksudku aku dan sang komponis, kerap bertukar gagasan mengenai proses kreatif. Tak jarang aku bertemu berbagai tokoh baru dari lagu-lagu gubahannya. Sebaliknya, dari karya-karya yang kutunjukkan, ia kerap menciptakan lagu.

“Kamu lihat Surandil?” tanyaku, tanpa basa-basi melumat sepotong donat.
Sang komponis menghentikan petikan gitarnya. Keningnya berkerenyit, lapisan kulitnya membentuk gelombang sinus-cosinus sejajar dari tepi ke tepi. “Siapa Surandil?”
Ditanya seperti ini, kelabakan juga aku menjawab apa.

“Rasanya kamu tinggal berdua saja dengan istrimu. Adikmu? Atau keponakanmu? Seperti apa rupanya?”
Nah, pertanyaan ini juga sama sulitnya dijawab. Tak mungkin aku bilang dia anggota dewan berjas wangi. Sama musykilnya kalau aku bilang ia pengemis berbau penguk dengan kaki pengkor.

Karena aku diam saja, sang komponis kembali memainkan jemarinya di kawat-kawat gitarnya. Terdengar genjrengan musik acakadul yang tengah digemari anak-anak muda.

Aku lebih baik permisi saja.

Setelah menyusuri jalanan tanpa tujuan, tahu-tahu aku sudah berhadapan dengan gerbang besi tempa rumah sahabatku sang pelukis. Rumahnya lebih mewah dibanding rumah sang komponis. Luas, dan sekilas menyerupai kastil dengan halaman yang seluas lapangan sepakbola. Seorang pelayan membuka rantai gerbang dengan suara berkelontang, membawaku ke studio sang pelukis di bangunan pinggir —lebih besar dibanding rumahku. Kalau siapa pun ingin menemukan sebuah kontras yang paling ekstrem, di sinilah tempatnya: gedung itu istana, sang istri bak permaisuri, tapi sang pelukis tak lebih dari lelaki kurus, bungkuk, hidung bulat, bibir maju, kulit gelap kusam. Tapi itulah, itu, satu lukisannya minimal seratus juta rupiah. Objeknya gadis-gadis cantik molek tanpa busana. Dan ke sinilah aku masuk kalau sedang suntuk.

Tapi kali ini tujuanku bukan memuaskan dahaga penglihatanku. Aku coba menyisir setiap sudut studionya, tapi tak kujumpai Surandil.
“Kamu cari apa tho?”

Aku tergeragap beberapa kejap. “Ya… melihat-lihat lukisanmu…”
“Tapi matamu tidak menatap lukisan-lukisan.”
Aku menoleh dan tertawa. Sang pelukis bukan orang yang tepat untuk berdiskusi tentang Surandil.
Jadi, aku memutuskan pergi ke rumah sang novelis. Betul, siapa tahu Surandil sedang berkumpul dengan teman-temannya sesama tokoh fiktif. Aku tahu sang novelis memiliki koleksi tokoh yang tak terhitung. Ia tak suka memakai tokoh yang sama dua kali. Satu judul saja menceritakan puluhan tokoh. Dan ia sudah menerbitkan puluhan novel. Berarti ada ratusan tokoh di sana.

Novel-novelnya bak kue bronis. Laris-manis. Royaltinya ibarat Bengawan Solo, mengalir sampai jauh. Jadi, untuk ukuran Indonesia sang novelis tergolong kaya. Rumahnya tingkat dua, sangat menonjol di antara rumah-rumah di sekitarnya. Mobilnya dua. Meskipun jarang ke rumahnya, aku mengagumi sang novelis karena ia tetap bersahaja.
“Ada angin apa seorang cerpenis berlabuh di sini?”

“Ah, saya bukan cerpenis, baru senang menulis cerpen, dan tahu-tahu sudah terdampar di pelabuhan ini.”
Sang novelis berbalik dari laptop-nya, mengangguk-angguk dengan senyumnya yang seteduh pohon beringin.
“Kamu lihat Surandil?”

Kedua alis tebal sang novelis bergerak hendak menyatu. Tapi sejenak menjauh lagi seiring dengan senyum di sudut kanan bibirnya yang lagi-lagi meneduhkan.
“Bukankah dia tokoh kesayanganmu?”

“Benar. Aku sedang membutuhkan peran dia.” Lalu kuceritakan cerpen yang sedang kubuat.
“Hmmm…” sang novelis manggut-manggut macam perkutut. “Mungkin ia tidak menyukai perannya. Mungkin ia ingin menjadi tokoh lelaki muda yang tampan, kaya, rajin salat, dan punya kekasih perempuan cantik, juga kaya dan serba modern.”

“Sinetron sekali….”
“Bukankah itu yang digemari?”
“Seperti novel-novelmu?”
Sang novelis tertawa.

“Di mana aku harus mencari dia?”
“Tak perlu kamu cari. Tunggulah, dia akan kembali. Rumahmu adalah rumahnya.”
***
PADA malam yang persis sama, gerimis, ketika dedaunan bugenvil menampar-nampar jendela kaca, samar-samar terdengar ketukan di pintu rumah. Ketika kubuka pintu, di bidang remang seorang lelaki muncul dengan penampilan yang membuatku terpana: berambut panjang yang diikat di belakang, berbandana hitam, celana jins belel, dan kaus berlogo klub Liverpool bertulisan You’ll Never Walk Alone. Aku merasa tak asing lagi. Aku selalu melihatnya di cermin. Sosok itu adalah diriku sendiri!
“Siapa kamu?”

Lelaki itu memberikan sorot yang menusuk melalui hitam matanya. “Boleh aku masuk?”
Aku memberinya jalan meskipun di dada berjejalan tanda tanya.
“Kamu tak mengenalku?” tanyanya sambil melewatiku. Menguar bau udara basah dari tubuhnya.
“Melihatmu sekilas, aku serasa sedang becermin. Tapi kamu bukan aku. Aku di cermin tak pernah memiliki raut menyeramkan seperti kamu.”
“Aku Surandil.”

Kalau saja tidak tertahan pintu yang kututup di belakangku, aku pasti sudah terjengkang.
Logika fiksi pun tidaklah berjumpalitan seperti ini. “Tidak mungkin.”
“Kamu tak bisa mengingkari kenyataan yang kamu lihat.”

“Surandil adalah tokoh ciptaanku. Akulah yang bisa menentukan dia mau menjadi apa. Dan aku tak pernah menjadikan dia sebagai aku.”

Lelaki itu tertawa.

Ia menghampiri meja di sudut ruang tengah. Meja dekat jendela kaca yang masih ditampar-tampar dedaunan bugenvil. Ia duduk menyandar sebentar di kursi, lalu memandang layar komputer yang masih berupa bidang putih menyala. Dua jarinya sekaligus menekan tombol CTRL + HOME dan layar memperlihatkan barisan-barisan kalimat cerpenku yang belum tuntas.

Kemudian ditekannya CTRL + H.

Aku menyerbunya. “Apa yang kamu lakukan?”

Tapi tangan kirinya seperti palang besi. Aku tertahan dan hanya bisa menatap layar komputer ketika semua nama Surandil dalam cerpenku itu digantinya dengan namaku.

Kucoba mendorongnya dari kursiku. Tapi aku merasakan kekuatan yang lebih dahsyat ketika aku malah terjengkang dan bagian belakang kepalaku menghantam tembok.

Mungkin sejenak aku kehilangan kesadaran. Ketika kubuka mata, tiba-tiba aku berada di sebuah lembah yang basah di kaki sebuah gunung. Gunung Salakkah?
“Akhirnya kamu datang juga.”

Aku berbalik. Di hadapanku menjega sosok lelaki berbaju dan celana hitam komprang dengan golok panjang di pinggang.***
Bandung, 2010

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/