30 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Para Takziah

Cerpen: T Agus Khaidir

Kampung kami terguncang. Dua kabar duka sekaligus datang. Kematian mendadak dalam satu malam yang menghadirkan haru dan cibir tertahan.

Kabar disiarkan pengeras suara masjid jelang Subuh tadi. “Berpulang ke rahmatullah Zainuddin bin Haji Maskur, tutup usia tiga puluh tahun. Almarhum dikebumikan selepas Zuhur.”

Belum rampung keterkejutan, kira-kira sepuluh menit berselang, kabar lain tersiar. “Telah meninggal Si Awang. Jenazahnya sekarang disemayamkan di masjid.”

Siapa tak kenal Zainuddin dan Awang? Di kampung kami mereka sama popular. Zainuddin orang alim. Idola ibu-ibu pengajian. Banyak di antara mereka, diam-diam maupun terang-terangan, ingin menjodohkan Zainuddin dengan anak gadisnya.

Awang sebaliknya. Kau sebut sajalah semua kelakuan buruk. Dia yang berjuluk The God of Gambler di kampung ini. Raja judi yang selalu menang dalam tiap permainan karena nasib baik dan kepiawaian berbuat curang. Pun tak ada yang mampu menyainginya dalam perkara menegak minuman keras. Tukang-tukang tenggen, para pemabuk di kedai-kedai tuak emper Pajak Sore, sepakat pula menyebutnya Drunken Master. Tak cuma tuak, sodorkan padanya anggur, bir, dan akan kau lihat bagaimana ia menuntaskannya bagai menegak air putih saja.

Ah, nasib baik ia keburu mati. Kami tak perlu repot-repot mengotori tangan. Kau tahu, kesabaran kami pada segenap tingkah laku Awang memang sudah habis. Bertahun-tahun sejak kedatangannya di hari kematian neneknya, perempuan tua yang hidup menyendiri di ujung kampung, kami cuma perlu satu alasan kecil lagi untuk melipat dan melumatnya jadi perkedel.
***

Subuh kali ini lebih ramai dari Subuh di hari-hari biasa. Penyebabnya jelas. Seperti aku, para pendiri Subuh lain kupikir juga datang untuk mencari tahu penyebab kematian Zainuddin. Iya, hanya dia. Kami tak peduli, tepatnya tak mau peduli, bagaimana cara Awang menemui mati. Terserah mau ditikam sesama bajingan, ditembak polisi, atau dalam mabuk jatuh tersuruk di parit, lantas megap-megap kehabisan nafas, tak ada beda bagi kami. Kami hanya menyiapkan duka untuk Zainuddin.

Tapi kami kemudian terperangah. Bukan Awang, tapi justru Zainuddin yang tercekik kepul asap di bilik bernyanyi.
Astagfirullah hal adzin. Nggak nyangka, ya. Naudzubillahi min dzaliq…
Ah, orang sealim dia. Bagaimana mungkin?

Tadi malam, karaoke lounge paling popular di kota kami terbakar. Belum jelas sumber apinya. Namun sejumlah saksi mata, dalam wawancara yang disiarkan televisi secara langsung dari TKP, menyebut api sebenarnya tak berkobar hebat. Cuma asap yang bergulung-gulung pekat. Belasan orang tewas. Tak kami sangka, Zainuddin termasuk di antaranya. Dari bilik yang sama polisi menemukan lima mayat lain. Dua lelaki dan tiga perempuan. Kecuali Zainuddin, mayat lain nyaris bugil.

Namun ini bukan kejutan terbesar. Tiada jelas dari siapa bermula, di saat bersamaan, kabar perihal penyebab kematian Awang beredar pula. Awang disebut menghembuskan nafas penghabisan di perigi masjid, saat akan berwudu.
***

Kabar-kabar ini berkembang jadi gunjingan seru. Takziah yang seharusnya mengesankan duka berubah riuh jadi ajang saling bertukar cerita. Mendadak semua orang jadi punya cerita tentang Zainuddin dan Awang. Cerita-cerita versi baru yang rata-rata amat bertolak belakang dari cerita yang sebelumnya beredar.

Awang sekarang berbalut puji. Mereka menyebutnya mendapat khusnul khotimah. Mati yang baik di akhirnya. Sedangkan cerita Zainuddin berbalik penuh caci. Pemuda pemuda gardu ronda, kumpulan penganggur sontoloyo yang cuma punya kepandaian nongkrong sambil bergitar dan menegak miras oplosan, seolah berlomba membuncahkan kekesalan yang memang telah lama menggunung. Selama ini para orang tua memang kerap membandingkan tingkah mereka dengan perilaku Zainuddin.

“Itulah kalian, gampang kali ditipu penampilan,” ujar mereka.

Zainuddin mula-mula datang bersama kelompok tarekat pendakwah. Aku tidak tahu bagaimana cerita persisnya. Ketika kelompok ini melanjutkan perjalanan, Zainuddin tetap tinggal. Ia kemudian menempati kamar di bagian belakang bangunan masjid, bersama Haji Syafei, lelaki yang sudah puluhan tahun jadi nazir masjid kami. Pengurus kenaziran mengizinkan dia tinggal di kamar itu, barangkali sebagai semacam imbal balik jasanya mengajar mengaji anak anak dan peung. Kadangkala, jika ada ustaz berhalangan mengisi khotbah Jumat, ia yang menggantikan naik mimbar. Konon Zainuddin pernah menikah. Tapi bercerai sebelum sempat punya anak.

“Kalian lihatlah sekarang. Katanya orang alim. Tapi aneh, Orang alim, kok, matinya nyuruk di kolong meja karaoke. Munafik kali, bah!”
Pemuda pemuda gardu ronda bergantian melontar ejekan. Makin lama makin nyelekit dan kurang ajar. “Masih lebih mending kita kita ini. Nggak sok suci. Kalian bayangkan sajalah. Mendayu merdu mengaji Quran, berbuih mulutnya ngasih ceramah agama, eh, nyanyi juga sama cewek nggak bener. Jangan jangan dari karaoke berlanjut ke hotel pula, ya. Ha-ha-ha.”
***

Usai Salat Mayit, sebagaimana tradisi kampung kami, Haji Syafei meminta persaksian.
“Apakah Si Awang ini, jenazah yang hendak kita kubur ini, orang baik baik?”
Segera pertanyaan berjawab. “Baik!”

Haji Syafei mengulang pertanyaannya tiga kali dan jawaban tidak berubah. Sepertinya memang tiada lagi keraguan dalam persaksian itu. Tampaknya semua orang yakin Awang telah mendapatkan khusnul khotimah.

Aku sendiri, jujur saja, sesungguhnya juga ingin percaya. Tapi entah mengapa aku merasa tak ikhlas. Ada yang terasa mengganjal.
Baiklah kuceritakan padamu beberapa pengalaman burukku dengannya.

Selain pejudi dan peminum tangguh, Awang juga penyanyi hebat. Terlebih jika melantunkan dangdut. Sadar kemampuannya, Awang selalu percaya diri naik panggung di tiap kenduri di kampung kami. Termasuk kenduri sunatan anakku beberapa bulan lalu. Kenduri sederhana ini akhirnya berantakan setelah Awang memukuli pemain organ tunggal. Sepele saja pasalnya. Lelaki malang itu salah memainkan nada lagu kesukaannya, Pagar Makan Tanaman.
Lain waktu kupergoki dia membobol rumahku. Dia sudah siap pergi. Sudah dibungkusnya laptop, ponsel, juga perangkat PS 2 anakku. Awang langsung menyembah-nyembah minta maaf, bermohon supaya aku tak berteriak. Entah kenapa aku menurut. Begitu saja kusuruh dia pergi. Padahal jika aku berteriak, kujamin dia akan lebih lembek dari perkedel.

Tapi aku tak yakin apakah alasan-alasan pribadi ini yang membuatku menyangsikan khusnul khotimah datang padanya. Aku tak yakin, sebagaimana tak dapat kujelaskan kenapa suaraku seperti mencelat keluar dengan sendirinya ketika Haji Syafei menanyakan apakah Zainuddin merupakan orang baik-baik.

Beberapa pemuda gardu ronda di sebelahku langsung saling sikut. Seorang di antaranya berbisik. “Saraf kurasa bapak ini. Mati di karaoke masih dibilang orang baik-baik,” katanya. Teman-temannya yang lain tertawa tertahan-tahan.
***

Beranjak dari pekuburan kata bergunjing kian ramai. Kali ini aku memilih menepi saja, tak lagi ikut menyangka-nyangka. Kupikir, biarlah perkara mati baik atau buruk di akhirnya jadi urusan Allah. Aku berjalan pelan agak jauh di belakang, bersama Haji Syafei.
“Kulihat tadi Awak agak lain,” tiba-tiba Haji Syafei menyela kebisuan langkah kami. “Cuma Awak yang tetap percaya Zainuddin orang baik. Kenapa begitu?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Sekadar firasat. Apa aku keliru, Ji?”
Haji Syafei menggeleng.

“Belakangan aku banyak bercakap dengan mendiang. Dia merasa iman dalam dirinya masih serendahnya iman. Dia ingin tak hanya mengutuk dalam hati saat mendapati kemunafikan. Tak cuma meludah kalau melihat kemungkaran. Mendiang ingin mengikuti jejak dakwah Rasul. Aku bilang, kalau dia lakukan itu, bisa-bisa dia dianggap orang aneh.”

Oimakjang! Kubayangkan Zainuddin mengetuk pintu-pintu bilik bernyanyi, mencecar kata dosa, lalu menawarkan pertobatan bagai dialah khalifah pilihan Allah, sang penyeru kebenaran, sampai terjadi peristiwa kebakaran itu dan dia terjebak di dalamnya.

Seperti tahu pikiranku, Haji Syafei menggeleng. Ia merogoh kantung. Disodorkannya ponselnya padaku. “Bacalah. Dia kirim pesan ini kemarin sore.”
Pandangan yang haji sampaikan kupikir benarlah adanya. Tak mungkin aku menyeru serupa nabi. Bukan karena aneh. Mungkin aneh di mata orang, tapi tidak bagi Allah. Masalahnya, aku sadar belum sampai pada tahapan itu. Karena itu sebagai langkah awal, kumulai upaya ini dari seorang yang kukenal. Seorang yang aku tahu beberapa tahun ini telah menyimpang jauh dari jalan Allah. Bekas istriku. Insya Allah, malam ini akan kujemput dia. Mohon doanya. Assalamualaikum.

Kukembalikan ponsel pada Haji Syafei. Ada perasaan lega yang merayap pelan-pelan di dadaku. Tapi belum lepas! Bagaimana jika Awang betul-betul mendapatkan khusnul khotimah?

“Aku tak tahu siapa menyebarkan kabar itu,” kata Haji Syafei.

“Betul memang dia jatuh di perigi. Tapi bukan saat wudu. Kami sempat berpapasan. Jalannya sempoyongan. Mulutnya bau minuman. Kutanya ngapain dia ke sini. Sebenarnya, tak ada hak aku bertanya seperti itu. Hamba Allah, sekalipun dia pemabuk bajingan, tak dilarang datang ke masjid. Tapi kupikir wajar jugalah aku heran. Kita tahu bagaimana mendiang. Pertanyaanku tadi dijawabnya sambil cengengesan. ‘Numpang colok, Ji’, katanya. Aku tak paham maksudnya. Hanya, sebelum berteriak mengaduh, kudengar suaranya muntah-muntah.”

Awang terkapar di lantai perigi. Mengorok seperti sapi disembelih. Tak ada luka. “Sempat kejang sebentar, lalu tak bergerak-gerak lagi,” ujar Haji Syafei.
“Tapi kenapa tak haji jelaskan ini pada warga?”

Haji Syafei tersenyum. Senyum yang sungguh tak dapat kutangkap maknanya. Ataukah jangan-jangan, dia menceritakannya padaku dengan maksud agar aku yang menyampaikan kebenaran ini pada orang-orang kampung? Begitukah? Tapi kenapa aku?

Medan, Agustus–Oktober 2012

Cerpen: T Agus Khaidir

Kampung kami terguncang. Dua kabar duka sekaligus datang. Kematian mendadak dalam satu malam yang menghadirkan haru dan cibir tertahan.

Kabar disiarkan pengeras suara masjid jelang Subuh tadi. “Berpulang ke rahmatullah Zainuddin bin Haji Maskur, tutup usia tiga puluh tahun. Almarhum dikebumikan selepas Zuhur.”

Belum rampung keterkejutan, kira-kira sepuluh menit berselang, kabar lain tersiar. “Telah meninggal Si Awang. Jenazahnya sekarang disemayamkan di masjid.”

Siapa tak kenal Zainuddin dan Awang? Di kampung kami mereka sama popular. Zainuddin orang alim. Idola ibu-ibu pengajian. Banyak di antara mereka, diam-diam maupun terang-terangan, ingin menjodohkan Zainuddin dengan anak gadisnya.

Awang sebaliknya. Kau sebut sajalah semua kelakuan buruk. Dia yang berjuluk The God of Gambler di kampung ini. Raja judi yang selalu menang dalam tiap permainan karena nasib baik dan kepiawaian berbuat curang. Pun tak ada yang mampu menyainginya dalam perkara menegak minuman keras. Tukang-tukang tenggen, para pemabuk di kedai-kedai tuak emper Pajak Sore, sepakat pula menyebutnya Drunken Master. Tak cuma tuak, sodorkan padanya anggur, bir, dan akan kau lihat bagaimana ia menuntaskannya bagai menegak air putih saja.

Ah, nasib baik ia keburu mati. Kami tak perlu repot-repot mengotori tangan. Kau tahu, kesabaran kami pada segenap tingkah laku Awang memang sudah habis. Bertahun-tahun sejak kedatangannya di hari kematian neneknya, perempuan tua yang hidup menyendiri di ujung kampung, kami cuma perlu satu alasan kecil lagi untuk melipat dan melumatnya jadi perkedel.
***

Subuh kali ini lebih ramai dari Subuh di hari-hari biasa. Penyebabnya jelas. Seperti aku, para pendiri Subuh lain kupikir juga datang untuk mencari tahu penyebab kematian Zainuddin. Iya, hanya dia. Kami tak peduli, tepatnya tak mau peduli, bagaimana cara Awang menemui mati. Terserah mau ditikam sesama bajingan, ditembak polisi, atau dalam mabuk jatuh tersuruk di parit, lantas megap-megap kehabisan nafas, tak ada beda bagi kami. Kami hanya menyiapkan duka untuk Zainuddin.

Tapi kami kemudian terperangah. Bukan Awang, tapi justru Zainuddin yang tercekik kepul asap di bilik bernyanyi.
Astagfirullah hal adzin. Nggak nyangka, ya. Naudzubillahi min dzaliq…
Ah, orang sealim dia. Bagaimana mungkin?

Tadi malam, karaoke lounge paling popular di kota kami terbakar. Belum jelas sumber apinya. Namun sejumlah saksi mata, dalam wawancara yang disiarkan televisi secara langsung dari TKP, menyebut api sebenarnya tak berkobar hebat. Cuma asap yang bergulung-gulung pekat. Belasan orang tewas. Tak kami sangka, Zainuddin termasuk di antaranya. Dari bilik yang sama polisi menemukan lima mayat lain. Dua lelaki dan tiga perempuan. Kecuali Zainuddin, mayat lain nyaris bugil.

Namun ini bukan kejutan terbesar. Tiada jelas dari siapa bermula, di saat bersamaan, kabar perihal penyebab kematian Awang beredar pula. Awang disebut menghembuskan nafas penghabisan di perigi masjid, saat akan berwudu.
***

Kabar-kabar ini berkembang jadi gunjingan seru. Takziah yang seharusnya mengesankan duka berubah riuh jadi ajang saling bertukar cerita. Mendadak semua orang jadi punya cerita tentang Zainuddin dan Awang. Cerita-cerita versi baru yang rata-rata amat bertolak belakang dari cerita yang sebelumnya beredar.

Awang sekarang berbalut puji. Mereka menyebutnya mendapat khusnul khotimah. Mati yang baik di akhirnya. Sedangkan cerita Zainuddin berbalik penuh caci. Pemuda pemuda gardu ronda, kumpulan penganggur sontoloyo yang cuma punya kepandaian nongkrong sambil bergitar dan menegak miras oplosan, seolah berlomba membuncahkan kekesalan yang memang telah lama menggunung. Selama ini para orang tua memang kerap membandingkan tingkah mereka dengan perilaku Zainuddin.

“Itulah kalian, gampang kali ditipu penampilan,” ujar mereka.

Zainuddin mula-mula datang bersama kelompok tarekat pendakwah. Aku tidak tahu bagaimana cerita persisnya. Ketika kelompok ini melanjutkan perjalanan, Zainuddin tetap tinggal. Ia kemudian menempati kamar di bagian belakang bangunan masjid, bersama Haji Syafei, lelaki yang sudah puluhan tahun jadi nazir masjid kami. Pengurus kenaziran mengizinkan dia tinggal di kamar itu, barangkali sebagai semacam imbal balik jasanya mengajar mengaji anak anak dan peung. Kadangkala, jika ada ustaz berhalangan mengisi khotbah Jumat, ia yang menggantikan naik mimbar. Konon Zainuddin pernah menikah. Tapi bercerai sebelum sempat punya anak.

“Kalian lihatlah sekarang. Katanya orang alim. Tapi aneh, Orang alim, kok, matinya nyuruk di kolong meja karaoke. Munafik kali, bah!”
Pemuda pemuda gardu ronda bergantian melontar ejekan. Makin lama makin nyelekit dan kurang ajar. “Masih lebih mending kita kita ini. Nggak sok suci. Kalian bayangkan sajalah. Mendayu merdu mengaji Quran, berbuih mulutnya ngasih ceramah agama, eh, nyanyi juga sama cewek nggak bener. Jangan jangan dari karaoke berlanjut ke hotel pula, ya. Ha-ha-ha.”
***

Usai Salat Mayit, sebagaimana tradisi kampung kami, Haji Syafei meminta persaksian.
“Apakah Si Awang ini, jenazah yang hendak kita kubur ini, orang baik baik?”
Segera pertanyaan berjawab. “Baik!”

Haji Syafei mengulang pertanyaannya tiga kali dan jawaban tidak berubah. Sepertinya memang tiada lagi keraguan dalam persaksian itu. Tampaknya semua orang yakin Awang telah mendapatkan khusnul khotimah.

Aku sendiri, jujur saja, sesungguhnya juga ingin percaya. Tapi entah mengapa aku merasa tak ikhlas. Ada yang terasa mengganjal.
Baiklah kuceritakan padamu beberapa pengalaman burukku dengannya.

Selain pejudi dan peminum tangguh, Awang juga penyanyi hebat. Terlebih jika melantunkan dangdut. Sadar kemampuannya, Awang selalu percaya diri naik panggung di tiap kenduri di kampung kami. Termasuk kenduri sunatan anakku beberapa bulan lalu. Kenduri sederhana ini akhirnya berantakan setelah Awang memukuli pemain organ tunggal. Sepele saja pasalnya. Lelaki malang itu salah memainkan nada lagu kesukaannya, Pagar Makan Tanaman.
Lain waktu kupergoki dia membobol rumahku. Dia sudah siap pergi. Sudah dibungkusnya laptop, ponsel, juga perangkat PS 2 anakku. Awang langsung menyembah-nyembah minta maaf, bermohon supaya aku tak berteriak. Entah kenapa aku menurut. Begitu saja kusuruh dia pergi. Padahal jika aku berteriak, kujamin dia akan lebih lembek dari perkedel.

Tapi aku tak yakin apakah alasan-alasan pribadi ini yang membuatku menyangsikan khusnul khotimah datang padanya. Aku tak yakin, sebagaimana tak dapat kujelaskan kenapa suaraku seperti mencelat keluar dengan sendirinya ketika Haji Syafei menanyakan apakah Zainuddin merupakan orang baik-baik.

Beberapa pemuda gardu ronda di sebelahku langsung saling sikut. Seorang di antaranya berbisik. “Saraf kurasa bapak ini. Mati di karaoke masih dibilang orang baik-baik,” katanya. Teman-temannya yang lain tertawa tertahan-tahan.
***

Beranjak dari pekuburan kata bergunjing kian ramai. Kali ini aku memilih menepi saja, tak lagi ikut menyangka-nyangka. Kupikir, biarlah perkara mati baik atau buruk di akhirnya jadi urusan Allah. Aku berjalan pelan agak jauh di belakang, bersama Haji Syafei.
“Kulihat tadi Awak agak lain,” tiba-tiba Haji Syafei menyela kebisuan langkah kami. “Cuma Awak yang tetap percaya Zainuddin orang baik. Kenapa begitu?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Sekadar firasat. Apa aku keliru, Ji?”
Haji Syafei menggeleng.

“Belakangan aku banyak bercakap dengan mendiang. Dia merasa iman dalam dirinya masih serendahnya iman. Dia ingin tak hanya mengutuk dalam hati saat mendapati kemunafikan. Tak cuma meludah kalau melihat kemungkaran. Mendiang ingin mengikuti jejak dakwah Rasul. Aku bilang, kalau dia lakukan itu, bisa-bisa dia dianggap orang aneh.”

Oimakjang! Kubayangkan Zainuddin mengetuk pintu-pintu bilik bernyanyi, mencecar kata dosa, lalu menawarkan pertobatan bagai dialah khalifah pilihan Allah, sang penyeru kebenaran, sampai terjadi peristiwa kebakaran itu dan dia terjebak di dalamnya.

Seperti tahu pikiranku, Haji Syafei menggeleng. Ia merogoh kantung. Disodorkannya ponselnya padaku. “Bacalah. Dia kirim pesan ini kemarin sore.”
Pandangan yang haji sampaikan kupikir benarlah adanya. Tak mungkin aku menyeru serupa nabi. Bukan karena aneh. Mungkin aneh di mata orang, tapi tidak bagi Allah. Masalahnya, aku sadar belum sampai pada tahapan itu. Karena itu sebagai langkah awal, kumulai upaya ini dari seorang yang kukenal. Seorang yang aku tahu beberapa tahun ini telah menyimpang jauh dari jalan Allah. Bekas istriku. Insya Allah, malam ini akan kujemput dia. Mohon doanya. Assalamualaikum.

Kukembalikan ponsel pada Haji Syafei. Ada perasaan lega yang merayap pelan-pelan di dadaku. Tapi belum lepas! Bagaimana jika Awang betul-betul mendapatkan khusnul khotimah?

“Aku tak tahu siapa menyebarkan kabar itu,” kata Haji Syafei.

“Betul memang dia jatuh di perigi. Tapi bukan saat wudu. Kami sempat berpapasan. Jalannya sempoyongan. Mulutnya bau minuman. Kutanya ngapain dia ke sini. Sebenarnya, tak ada hak aku bertanya seperti itu. Hamba Allah, sekalipun dia pemabuk bajingan, tak dilarang datang ke masjid. Tapi kupikir wajar jugalah aku heran. Kita tahu bagaimana mendiang. Pertanyaanku tadi dijawabnya sambil cengengesan. ‘Numpang colok, Ji’, katanya. Aku tak paham maksudnya. Hanya, sebelum berteriak mengaduh, kudengar suaranya muntah-muntah.”

Awang terkapar di lantai perigi. Mengorok seperti sapi disembelih. Tak ada luka. “Sempat kejang sebentar, lalu tak bergerak-gerak lagi,” ujar Haji Syafei.
“Tapi kenapa tak haji jelaskan ini pada warga?”

Haji Syafei tersenyum. Senyum yang sungguh tak dapat kutangkap maknanya. Ataukah jangan-jangan, dia menceritakannya padaku dengan maksud agar aku yang menyampaikan kebenaran ini pada orang-orang kampung? Begitukah? Tapi kenapa aku?

Medan, Agustus–Oktober 2012

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/