28 C
Medan
Friday, January 31, 2025

Suara-Suara Berkabut

Cerpen  Hasudungan Rudy Yanto Sitohang

Dari depan rumah berpanggung itu, ia berdiri menatap ke arah danau. Sesekali matanya berkejap-kejap, seolah menanti sesuatu. Ya, ia tetap menunggu, walau rasa cemas terbersit di wajahnya, dan batinnya terus bertanya-tanya sejak ia tiba di kampungnya siang tadi.

Perlahan, pandangannya beralih ke angkasa. Tampak langit mulai berganti, menjadi kelam. Kabut pun turun, bergulung-gulung ke atas atap rumah-rumah di sekitar bersama angin yang menerbangkan dedaun hariara. Tak jauh dari halaman, kira-kira sepuluh langkah dari rumah parsaktian (balai pertemuan keluarga), patung sigale-gale rebah di atas tanah tanpa daya. Patung kayu tersebut mulai membusuk. Semut dan rayap keluar-masuk dari setiap lubang yang menganga.

Ia menggigil, udara dingin menyergap tubuhnya tanpa ampun. Apa yang dilihatnya di sekeliling, membuat ingatannya kembali pada masa lalu. Kenangan yang tidak ia temukan saat ini: riuh tawa bocah-bocah yang berlarian di halaman, ibu-ibu berkumpul menyirih di tangga rumah, serta para tetua yang berbincang soal adat dan silsilah. Ia tak mengira, bahwa kepulangannya-sejak merantau ke tanah seberang-akan menyaksikan kampungnya yang kini terbentang bisu. Menjadikan malam ini terasa mencekam dan tampak suram.

“Kenapa kau kembali!” Suara berat dari belakang tiba-tiba menyergahnya, “Kepulanganmu telah membuat kami terhina,” lanjut suara itu, gusar. Ia tersentak, badannya langsung berbalik. Di hadapannya, berdiri seorang lelaki yang rambutnya hampir memutih. Tatapannya begitu tajam. Menusuk ke hatinya paling dalam. Lelaki itu adalah pamannya, adik ibunya, keluarga yang tersisa. Sosoknya sekarang lebih kurus, lebih hitam, dan wajahnya semakin tirus, menegaskan begitu keras hidup yang dilakoninya.
Ia balas tatapan itu, tapi wajahnya kembali menunduk.
Ia kalah! Ia takluk …

***
Pulang! Kata itu bertubi-tubi mengganggu pikirannya, dan selalu ditanyakan orang-orang yang berjumpa dengannya tadi, seolah kata itu merupakan perkara kiamat tak berampun. Bahkan, ibunya pun membuang muka ke luar jendela dan memperlakukannya bagai orang asing di rumah. Padahal, sejak dalam perjalanan, ia membayangkan bagaimana ibunya akan menyambutnya penuh hangat. Ia rindu belaian tangan perempuan itu. Namun, tak satupun, mereka, benar-benar memahaminya: tanah di rantau tak lagi memberi penghidupan.

“Bah, apa kau ingat si Monang, teman sebayamu itu? Tahun lalu dia pulang bawa mobil. Kau tahu, dia juga kasih baju sama aku!” selak perempuan itu gusar, sambil membanding-bandingkan ia dengan Monang. Tentu, ia masih ingat teman sepermainannya itu. Dulu, ia dan Monang berangkat sama-sama dari kampung ini ke Jakarta untuk mengubah nasib. Awalnya, mereka tinggal di satu kontrakan kecil, rumah petak, di pinggir rel kereta Pasar Senen. Namun, hari-hari berikutnya mereka mulai jarang bersama. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Monang makin sibuk dengan pekerjaan barunya. Entah apa pekerjaanya. Sampai suatu hari, ia dijemput polisi lalu membawanya ke ruang jenazah rumah sakit Cipto. Di sana, ia melihat tubuh Monang terbujur kaku. Monang mati! Mati mengenaskan! Kepalanya tertembus peluru dalam operasi narkoba di Glodok. Dari saku celana Monang, polisi menemukan alamatnya. Ia satu-satunya saksi ketika Monang dikuburkan, malam itu juga.

Kematian Monang membuatnya terpukul, ditambah perusahaan tempatnya bekerja didera krisis. Tak lama, ia di-PHK dan jadi pengangguran. Namun, ia pun terpaksa angkat kaki dari ibukota. Ia kalah! Ia takluk! Harapan ibunya agar ia menjadi ‘orang’ selepas ayahnya tiada, tinggal mimpi semata. Begitu pula adiknya, Saut, yang mengikuti jejaknya merantau ke negeri jiran. Sampai hari ini, tak ada kabar darinya. Saut lenyap ditelan waktu.
Napas pamannya terdengar berat, dadanya naik turun. Lelaki itu mengisap rokoknya dalam-dalam, ujungnya menyala, meninggalkan bara api yang membuatnya terbakar gelisah.

“Apa aku tak boleh pulang?” tanyanya pada lelaki itu, dengan rasa gundah.

“Para perantau hanya boleh pulang jika mereka membawa ‘kebesaran’. Setiap kegagalan merupakan aib keluarga, sekalipun mereka kembali dalam keadaan mati. Kematian yang tak berguna sangat menyakitkan bagi yang ditinggal, sebab tanah kampung ini bukan tempat kubur para perantau yang kalah.” Ia terdiam pasrah. Ia berusaha memahami maknanya, walau kalimat itu mengiris-iris hatinya. Ucapan pamannya bagai sembilu, semakin menambah nganga lukanya yang juga belum mengering.

Adat di kampungnya, memang, mengharuskan setiap perantau hanya boleh pulang dengan kemegahan. Mereka yang pulang dengan tangan hampa dianggap gagal menaikkan martabat keluarga. Seorang pecundang! Itulah sebabnya, sejak kecil, mereka telah dikisahkan turun-temurun arti sebuah kejayaan. Keyakinan itu yang membuat para perantau enggan kembali sebelum mereka membawa pulang mobil dan baju baru. Bagi ibu dan pamannya, kepulangannya cuma membawa takdirnya kembali sebagai orang danau yang penuh celaka, yang tak ‘kan mampu mengubah nasib keluarganya.

Malam semakin pekat. Angin danau tak henti-henti membawa kabut. Kabut hitam. Menyeruak di antara barisan pepohon bambu dan tiang-tiang rumah. Sekarang, ia tak lagi merasa kedinginan, karena hatinya telah membara sejak lelaki itu menggeret api di sana. Perkataan pamannya terus terngiang-ngiang seperti suara yang pernah ia dengar dari para tetua, suara yang membawa tangis kematian.
***

Pagi-pagi, ia terbangun dari bale-bale, lalu berjalan ke pinggir danau melalui belakang rumah. Sesampai di tepian, ia melihat begitu banyak gulma yang tumbuh berpinak, menutupi sebagian permukaan air. Sampan-sampan juga dibiarkan teronggok dan mulai lapuk. Kata ibunya, penduduk kampung sudah lama tidak turun ke danau. Tak ada lagi ikan-ikan untuk dijaring dan dimakan. Danau sudah mati dan tidak memberikan apapun.
Danau sudah takluk!

Ia duduk di dalam sampan peninggalan ayahnya. Matanya menyapu ke sekeliling, menatap jauh ke tengah hamparan danau yang tenang, ke bukit-bukit gundul di seberang.  Dulu, ketika masih kanak-kanak, ia dan teman-temannya sering bersampan di seberang sana, beradu mencari ikan, lalu membawanya pulang untuk lauk makan malam. Entah di mana kawan-kawannya itu sekarang. Apakah mereka pernah pulang? Ah, setiap perantau akan pergi seperti peluru, melesat jauh dan tidak pernah kembali sebelum membawa mobil dan baju baru.

Tetapi, apa yang diceritakan pamannya malam itu, membuatnya miris. Tak disangka, penduduk kampungnya tak lagi bersampan, sejak perusahaan asing itu datang dan membangun keramba di sebelah timur danau ini. Lalu datanglah malapetaka itu: ribuan ikan mati terapung dan mengeluarkan aroma busuk.Tidak hanya di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung tetangga. Kabarnya, sisa pakan dari keramba itu terbawa arus dan menjadi racun pembunuh bagi ikan-ikan di danau. Penduduk menyebutnya ‘pelet’.

“Siapa yang berani berhadapan dengan peluru? Jangan menyalahkan mereka untuk memilih diam! Perusahaan itu dipersenjatai!” tangkis lelaki itu, ketika ia mempertanyakan sikap orang-orang kampung.

Ia terpekur gelisah, bayang-bayang kematian di matanya semakin lama semakin jelas. Ya, bayangan itu mulai tampak nyata, namun ia segera tersadar ketika pamannya tiba-tiba mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya. Ia tersengat, degup jantungnya berdetak kencang.
“Itu sulit dan berbahaya, Paman!” ujarnya ragu, penuh khawatir.

“Tidak ada pilihan. Lagian, sudah lama tanganku tak lagi mengayuh sampan di atas danau ini. Sudah saatnya!” tegas lelaki itu dengan rahang mengeras, sorot matanya memancarkan kemarahan.

Ia diam mematung, napasnya tertahan, makin berat dan satu-satu.
***

Lelaki itu akhirnya datang saat malam merambat naik. Tanpa menunggu lama, sampan didorong ke danau dan mereka masuk ke dalamnya. Kedua tangan mereka mulai mengayuh, lampu teplok ia letakkan di tengah. Sampan maju perlahan ke sebelah timur. Setelah dua jam mengayuh, mereka sampai di sebuah area yang maha luas. Tampak di depan, tali-tali pembatas melintang di sekeliling petak-petak kayu bersegi empat. Inikah namanya keramba? Banyak sekali petak-petak itu, batinnya tertegun. Lampu-lampu menyala merah di setiap sudutnya. Begitu indah. Ia takjub.

“Kecilkan lampunya!” bisik pamannya. Lampu teplok itu segera ia kecilkan. Lalu sampan diarahkan ke salah satu sudut keramba, melewati balok kayu yang menopang tali pembatas. Bentuknya seperti kawat berduri. Pamannya berhasil memutus tali tersebut sehingga membuka jalan bagi sampan mereka.
Sampan pun masuk, lebih jauh. O … sungguh luas keramba ini, pikirnya. Mungkin hampir selebar lapangan sepakbola.

“Hati-hati Paman!” bisiknya tegang saat lelaki itu mendekat ke tali kawat berikutnya. Pamannya menoleh, tersenyum memberi arti.

Tetapi, kali ini, tali itu bukan tali biasa. Tali itu tampak seperti kabel yang menjulur ke bawah air. Pamannya kemudian mengaitkan dan menjepit kabel itu dengan dua batang galah yang mereka bawa. Kabel itu pun terangkat ke atas. Lalu pamannya turun ke dalam air, menyelam, melewati kabel yang dijepit tadi. Kadang kepalanya timbul-tenggelam ke atas permukaan, mencari udara, lalu menyelam lagi. Dia melakukannya berulang-ulang.

Ia berusaha tetap tenang. Menurut pamannya, dia akan membuka pintu terakhir yang terbuat dari kawat berpilin, yang menghubungkan petak-petak itu. Itu yang harus diputuskan. Saat ia sedang menikmati kilau lampu-lampu itu, tiba-tiba dari salah satu keramba muncul kilatan cahaya, diikuti ledakan kecil seperti kembang api. Langit menjadi terang. Ia terpukau. Bunga-bunga api berpijar di sepanjang kabel yang mengitari keramba itu. Tak lama, permukaan air di di sekitar kabel-kabel itu beriak-riak. Oh, tampak di matanya, ikan-ikan berwana putih keperakan, meloncat-loncat saling berdesakan keluar mencari jalan dari arah pamannya menyelam tadi. Begitu banyaknya hingga ia hampir teriak saking girangnya.

Saat menikmati ikan-ikan itu lepas dari keramba, matanya kemudian melihat bayangan besar terapung di permukaan air di tengah ratusan ikan-ikan yang terus keluar. Napasnya mulai tak beraturan. Hatinya berkecamuk. Ia kayuh sampannya cepat-cepat ke sosok yang mengapung itu. Lantas, tangisnya pun pecah. Pamannya terapung tak berdaya. Dengan hati-hati, ia angkat tubuh kaku itu ke dalam sampan. Dari hidung dan mulut pamannya keluar darah tiada henti. Air danau di sekeliling sampan menjadi merah di tengah bunga api yang terus berpijar menyala. Ia melolong sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya, memecah kabut dan teriakan orang-orang yang mulai mendekati sampannya.

Medan, Januari 2012

Keterangan:
Sigale-gale: nama patung yang terbuat dari kayu
Hariara: sejenis pohon kayu
Gorga: ragam ukiran pada dinding rumah dengan tiga warna dasar (merah, hitam, putih)
Panggorga: pengukir

Cerpen  Hasudungan Rudy Yanto Sitohang

Dari depan rumah berpanggung itu, ia berdiri menatap ke arah danau. Sesekali matanya berkejap-kejap, seolah menanti sesuatu. Ya, ia tetap menunggu, walau rasa cemas terbersit di wajahnya, dan batinnya terus bertanya-tanya sejak ia tiba di kampungnya siang tadi.

Perlahan, pandangannya beralih ke angkasa. Tampak langit mulai berganti, menjadi kelam. Kabut pun turun, bergulung-gulung ke atas atap rumah-rumah di sekitar bersama angin yang menerbangkan dedaun hariara. Tak jauh dari halaman, kira-kira sepuluh langkah dari rumah parsaktian (balai pertemuan keluarga), patung sigale-gale rebah di atas tanah tanpa daya. Patung kayu tersebut mulai membusuk. Semut dan rayap keluar-masuk dari setiap lubang yang menganga.

Ia menggigil, udara dingin menyergap tubuhnya tanpa ampun. Apa yang dilihatnya di sekeliling, membuat ingatannya kembali pada masa lalu. Kenangan yang tidak ia temukan saat ini: riuh tawa bocah-bocah yang berlarian di halaman, ibu-ibu berkumpul menyirih di tangga rumah, serta para tetua yang berbincang soal adat dan silsilah. Ia tak mengira, bahwa kepulangannya-sejak merantau ke tanah seberang-akan menyaksikan kampungnya yang kini terbentang bisu. Menjadikan malam ini terasa mencekam dan tampak suram.

“Kenapa kau kembali!” Suara berat dari belakang tiba-tiba menyergahnya, “Kepulanganmu telah membuat kami terhina,” lanjut suara itu, gusar. Ia tersentak, badannya langsung berbalik. Di hadapannya, berdiri seorang lelaki yang rambutnya hampir memutih. Tatapannya begitu tajam. Menusuk ke hatinya paling dalam. Lelaki itu adalah pamannya, adik ibunya, keluarga yang tersisa. Sosoknya sekarang lebih kurus, lebih hitam, dan wajahnya semakin tirus, menegaskan begitu keras hidup yang dilakoninya.
Ia balas tatapan itu, tapi wajahnya kembali menunduk.
Ia kalah! Ia takluk …

***
Pulang! Kata itu bertubi-tubi mengganggu pikirannya, dan selalu ditanyakan orang-orang yang berjumpa dengannya tadi, seolah kata itu merupakan perkara kiamat tak berampun. Bahkan, ibunya pun membuang muka ke luar jendela dan memperlakukannya bagai orang asing di rumah. Padahal, sejak dalam perjalanan, ia membayangkan bagaimana ibunya akan menyambutnya penuh hangat. Ia rindu belaian tangan perempuan itu. Namun, tak satupun, mereka, benar-benar memahaminya: tanah di rantau tak lagi memberi penghidupan.

“Bah, apa kau ingat si Monang, teman sebayamu itu? Tahun lalu dia pulang bawa mobil. Kau tahu, dia juga kasih baju sama aku!” selak perempuan itu gusar, sambil membanding-bandingkan ia dengan Monang. Tentu, ia masih ingat teman sepermainannya itu. Dulu, ia dan Monang berangkat sama-sama dari kampung ini ke Jakarta untuk mengubah nasib. Awalnya, mereka tinggal di satu kontrakan kecil, rumah petak, di pinggir rel kereta Pasar Senen. Namun, hari-hari berikutnya mereka mulai jarang bersama. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Monang makin sibuk dengan pekerjaan barunya. Entah apa pekerjaanya. Sampai suatu hari, ia dijemput polisi lalu membawanya ke ruang jenazah rumah sakit Cipto. Di sana, ia melihat tubuh Monang terbujur kaku. Monang mati! Mati mengenaskan! Kepalanya tertembus peluru dalam operasi narkoba di Glodok. Dari saku celana Monang, polisi menemukan alamatnya. Ia satu-satunya saksi ketika Monang dikuburkan, malam itu juga.

Kematian Monang membuatnya terpukul, ditambah perusahaan tempatnya bekerja didera krisis. Tak lama, ia di-PHK dan jadi pengangguran. Namun, ia pun terpaksa angkat kaki dari ibukota. Ia kalah! Ia takluk! Harapan ibunya agar ia menjadi ‘orang’ selepas ayahnya tiada, tinggal mimpi semata. Begitu pula adiknya, Saut, yang mengikuti jejaknya merantau ke negeri jiran. Sampai hari ini, tak ada kabar darinya. Saut lenyap ditelan waktu.
Napas pamannya terdengar berat, dadanya naik turun. Lelaki itu mengisap rokoknya dalam-dalam, ujungnya menyala, meninggalkan bara api yang membuatnya terbakar gelisah.

“Apa aku tak boleh pulang?” tanyanya pada lelaki itu, dengan rasa gundah.

“Para perantau hanya boleh pulang jika mereka membawa ‘kebesaran’. Setiap kegagalan merupakan aib keluarga, sekalipun mereka kembali dalam keadaan mati. Kematian yang tak berguna sangat menyakitkan bagi yang ditinggal, sebab tanah kampung ini bukan tempat kubur para perantau yang kalah.” Ia terdiam pasrah. Ia berusaha memahami maknanya, walau kalimat itu mengiris-iris hatinya. Ucapan pamannya bagai sembilu, semakin menambah nganga lukanya yang juga belum mengering.

Adat di kampungnya, memang, mengharuskan setiap perantau hanya boleh pulang dengan kemegahan. Mereka yang pulang dengan tangan hampa dianggap gagal menaikkan martabat keluarga. Seorang pecundang! Itulah sebabnya, sejak kecil, mereka telah dikisahkan turun-temurun arti sebuah kejayaan. Keyakinan itu yang membuat para perantau enggan kembali sebelum mereka membawa pulang mobil dan baju baru. Bagi ibu dan pamannya, kepulangannya cuma membawa takdirnya kembali sebagai orang danau yang penuh celaka, yang tak ‘kan mampu mengubah nasib keluarganya.

Malam semakin pekat. Angin danau tak henti-henti membawa kabut. Kabut hitam. Menyeruak di antara barisan pepohon bambu dan tiang-tiang rumah. Sekarang, ia tak lagi merasa kedinginan, karena hatinya telah membara sejak lelaki itu menggeret api di sana. Perkataan pamannya terus terngiang-ngiang seperti suara yang pernah ia dengar dari para tetua, suara yang membawa tangis kematian.
***

Pagi-pagi, ia terbangun dari bale-bale, lalu berjalan ke pinggir danau melalui belakang rumah. Sesampai di tepian, ia melihat begitu banyak gulma yang tumbuh berpinak, menutupi sebagian permukaan air. Sampan-sampan juga dibiarkan teronggok dan mulai lapuk. Kata ibunya, penduduk kampung sudah lama tidak turun ke danau. Tak ada lagi ikan-ikan untuk dijaring dan dimakan. Danau sudah mati dan tidak memberikan apapun.
Danau sudah takluk!

Ia duduk di dalam sampan peninggalan ayahnya. Matanya menyapu ke sekeliling, menatap jauh ke tengah hamparan danau yang tenang, ke bukit-bukit gundul di seberang.  Dulu, ketika masih kanak-kanak, ia dan teman-temannya sering bersampan di seberang sana, beradu mencari ikan, lalu membawanya pulang untuk lauk makan malam. Entah di mana kawan-kawannya itu sekarang. Apakah mereka pernah pulang? Ah, setiap perantau akan pergi seperti peluru, melesat jauh dan tidak pernah kembali sebelum membawa mobil dan baju baru.

Tetapi, apa yang diceritakan pamannya malam itu, membuatnya miris. Tak disangka, penduduk kampungnya tak lagi bersampan, sejak perusahaan asing itu datang dan membangun keramba di sebelah timur danau ini. Lalu datanglah malapetaka itu: ribuan ikan mati terapung dan mengeluarkan aroma busuk.Tidak hanya di kampungnya, tetapi juga di kampung-kampung tetangga. Kabarnya, sisa pakan dari keramba itu terbawa arus dan menjadi racun pembunuh bagi ikan-ikan di danau. Penduduk menyebutnya ‘pelet’.

“Siapa yang berani berhadapan dengan peluru? Jangan menyalahkan mereka untuk memilih diam! Perusahaan itu dipersenjatai!” tangkis lelaki itu, ketika ia mempertanyakan sikap orang-orang kampung.

Ia terpekur gelisah, bayang-bayang kematian di matanya semakin lama semakin jelas. Ya, bayangan itu mulai tampak nyata, namun ia segera tersadar ketika pamannya tiba-tiba mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya. Ia tersengat, degup jantungnya berdetak kencang.
“Itu sulit dan berbahaya, Paman!” ujarnya ragu, penuh khawatir.

“Tidak ada pilihan. Lagian, sudah lama tanganku tak lagi mengayuh sampan di atas danau ini. Sudah saatnya!” tegas lelaki itu dengan rahang mengeras, sorot matanya memancarkan kemarahan.

Ia diam mematung, napasnya tertahan, makin berat dan satu-satu.
***

Lelaki itu akhirnya datang saat malam merambat naik. Tanpa menunggu lama, sampan didorong ke danau dan mereka masuk ke dalamnya. Kedua tangan mereka mulai mengayuh, lampu teplok ia letakkan di tengah. Sampan maju perlahan ke sebelah timur. Setelah dua jam mengayuh, mereka sampai di sebuah area yang maha luas. Tampak di depan, tali-tali pembatas melintang di sekeliling petak-petak kayu bersegi empat. Inikah namanya keramba? Banyak sekali petak-petak itu, batinnya tertegun. Lampu-lampu menyala merah di setiap sudutnya. Begitu indah. Ia takjub.

“Kecilkan lampunya!” bisik pamannya. Lampu teplok itu segera ia kecilkan. Lalu sampan diarahkan ke salah satu sudut keramba, melewati balok kayu yang menopang tali pembatas. Bentuknya seperti kawat berduri. Pamannya berhasil memutus tali tersebut sehingga membuka jalan bagi sampan mereka.
Sampan pun masuk, lebih jauh. O … sungguh luas keramba ini, pikirnya. Mungkin hampir selebar lapangan sepakbola.

“Hati-hati Paman!” bisiknya tegang saat lelaki itu mendekat ke tali kawat berikutnya. Pamannya menoleh, tersenyum memberi arti.

Tetapi, kali ini, tali itu bukan tali biasa. Tali itu tampak seperti kabel yang menjulur ke bawah air. Pamannya kemudian mengaitkan dan menjepit kabel itu dengan dua batang galah yang mereka bawa. Kabel itu pun terangkat ke atas. Lalu pamannya turun ke dalam air, menyelam, melewati kabel yang dijepit tadi. Kadang kepalanya timbul-tenggelam ke atas permukaan, mencari udara, lalu menyelam lagi. Dia melakukannya berulang-ulang.

Ia berusaha tetap tenang. Menurut pamannya, dia akan membuka pintu terakhir yang terbuat dari kawat berpilin, yang menghubungkan petak-petak itu. Itu yang harus diputuskan. Saat ia sedang menikmati kilau lampu-lampu itu, tiba-tiba dari salah satu keramba muncul kilatan cahaya, diikuti ledakan kecil seperti kembang api. Langit menjadi terang. Ia terpukau. Bunga-bunga api berpijar di sepanjang kabel yang mengitari keramba itu. Tak lama, permukaan air di di sekitar kabel-kabel itu beriak-riak. Oh, tampak di matanya, ikan-ikan berwana putih keperakan, meloncat-loncat saling berdesakan keluar mencari jalan dari arah pamannya menyelam tadi. Begitu banyaknya hingga ia hampir teriak saking girangnya.

Saat menikmati ikan-ikan itu lepas dari keramba, matanya kemudian melihat bayangan besar terapung di permukaan air di tengah ratusan ikan-ikan yang terus keluar. Napasnya mulai tak beraturan. Hatinya berkecamuk. Ia kayuh sampannya cepat-cepat ke sosok yang mengapung itu. Lantas, tangisnya pun pecah. Pamannya terapung tak berdaya. Dengan hati-hati, ia angkat tubuh kaku itu ke dalam sampan. Dari hidung dan mulut pamannya keluar darah tiada henti. Air danau di sekeliling sampan menjadi merah di tengah bunga api yang terus berpijar menyala. Ia melolong sejadi-jadinya, sekuat-kuatnya, memecah kabut dan teriakan orang-orang yang mulai mendekati sampannya.

Medan, Januari 2012

Keterangan:
Sigale-gale: nama patung yang terbuat dari kayu
Hariara: sejenis pohon kayu
Gorga: ragam ukiran pada dinding rumah dengan tiga warna dasar (merah, hitam, putih)
Panggorga: pengukir

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

Terpopuler

Artikel Terbaru

/