30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Biografi Tangan

Cerpen  Muhammad Pical Nasution

I/
Aku melihat gerakan sepasang tangan di antara tumpukan minuman kaleng berwarna merah-hijau dalam rak sebuah mall mewah. Tangan itu pelan-pelan beranjak dari kaleng minuman yang satu ke kaleng minuman berikutnya. Aku memerhatikannya dengan sangat hati-hati. Aku tak akan mengerdipkan mataku sedetik pun untuk tidak melihat peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, peristiwa yang akan dilakukan oleh tangan itu. Apalagi untuk melepas pandang. Aku mengikuti ke mana maunya jalan tangan itu. Langkahku pelan-pelan menyusuri. Sampai akhirnya, aku menghalau semua penasaranku terhadap tangan bejat itu ketika aku tak lagi melihatnya  dalam rak sebuah mall mewah.

Seonggok tubuh besar tiba-tiba menguntit di belakang. Seorang lelaki ceking secara tiba-tiba melintas di depan. Langkah  Lelaki ceking itu begitu mencurigakan. Aku memandangnya begitu serius sampai-sampai tak menghiraukan seonggok tubuh besar yang masih menguntit di belakang tadi. Aku tak lagi berpikir tentang tangan bejat yang bergerak di antara kaleng-kaleng minuman berwarna merah-hijau itu. Lalu, suara gaduh terdengar beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku melihatnya. Wanita-wanita cantik berdiri mengelilingi sesuatu yang rubuh. Tubuh besar di belakangku tadi telah hilang. Ternyata tubuh besar itu sudah berada di sekeliling wanita-wanita cantik yang begitu menggoda. Lelaki ceking itu berlumuran darah. Dari dalam bajunya, terdapat beberapa kaleng minuman berwarna merah-hijau. Lelaki ceking itu tertangkap basah. Kemudian aku bergerak menuju tumpukan kaleng minuman yang berjajar di dalam rak sebuah mall mewah. Di kaleng minuman itu, tertera banrol dua ribu tiga ratus rupiah. Lelaki ceking itu lalu dibawa entah ke mana. Aku sudah bisa membayangkan kalau dia akan dibawa ke dalam sel, dihajar sampai lebam, lalu diadili, atau mungkin dimatikan.

II/
Telepon genggamku bergetar. Sebuah pesan dari istriku ternyata.
“Bang, Adik sudah di rumah. Cepat pulang ya!”

Begitu isinya. Tiba-tiba saja tanganku gemetar. Aku masih mencengkeram geram telepon genggamku seolah-olah tak mau melepasnya atau kembali memasukkannya ke dalam saku. Aku keluar dari mall mewah tempatku membeli pewarna kuku untuk istriku. Harganya lumayan mahal. Aku sempat berpikir, “Apakah semua perempuan akan terlihat elegan jikalau kukunya diberi cat warna-warni?”
Aku tiba di rumah yang baru kutempati selama empat bulan setelah kami menikah. Istriku menyambutku dengan menjulurkan kedua tangannya untuk memelukku. Kami pun saling berpelukan mesra.
“Ada Bang pesananku?” tanyanya.

Aku membuka kantong plastik yang di dalamnya terdapat pewarna kuku yang baru kubeli dari sebuah mall mewah di kotaku. Aku berikan kepada istriku sambil melontar senyuman ke ingsut matanya. Ia terlihat begitu gembira. Aku puas sudah membelikan istriku benda kesukaannya. Dulu, sewaktu istriku masih kanak-kanak, mertua perempuanku berkata kalau istriku paling suka menghiasi kukunya. Saban hari, di dalam kamar, ia mewarnai kukunya dengan pewarna yang sering dibawakan almarhum ayahnya sewaktu masih bekerja sebagai satpam di sebuah mall.
“Coba lihat Bang!” katanya padaku.
“Cantik. Bagus kok.”

“Sebulan sekali, kalau bisa sih Bang, Adik minta ganti warnanya lagi ya!”

Aku menelan ludahku. Penghasilanku sebagai seorang penjaga pintu perlintasan kereta tidaklah begitu besar. Aku tak mau menolak permintaannya. Aku tak ingin jika istriku memotong kedua tangannya hanya karena tak dibelikan pewarna kuku seperti kejadian istri tetanggaku. Dengan terpaksa aku melontarkan lagi senyuman. Kali ini dengan senyuman kecil, dan langsung menembak ke lesung pipinya yang memukau sekaligus memilukan.

III/
Pintu perlintasan kereta segera kuturunkan. Kereta jurusan Tanjung Balai—Medan akan tiba. Orang-orang memberhentikan laju kenderaannya. Dari kejauhan aku melihat seorang tua meletakkan kedua tangannya di rel. Aku tak sempat menghalaunya untuk tidak melakukan hal bodoh itu. Aku gagal. Kereta melaju tanpa rem. Orang-orang berkumpul melihat kejadian itu. Aku melihat darah bercucuran. Kedua tangannya putus. Seorang perempuan menjerit di tubuh lelaki tua itu. Aku rasa dia adalah istrinya. Aku tak tega melihatnya. Aku bisa membayangkan bagaimana anak-anaknya hidup tanpa seorang ayah. Ternyata benar. Lima anaknya yang masih kecil datang menghampiri mayat ayahnya. Mereka mengulurkan isak tangis yang begitu dalam. Tapi, di antara kelimanya, adalah seorang perempuan kecil; cantik parasnya. Perempuan kecil itu tak menangis. Lalu aku tanyakan kepadanya kenapa ia tak menangis. Ia hanya melontarkan senyuman ke wajahku yang kalut. Istrinya tiba-tiba saja melotot. Ia bangkit dari rintihannya yang jauh. Ia mendekati tubuhku. Ia memukul-mukul badanku.
“Kenapa tidak kau halau suamikuuu?”

Pengadilan memutuskan bahwa aku dihukum sepuluh tahun penjara. Putusan itu membuatku hancur berkeping-keping. Aku tak mengira kalau kejadiannya harus berakhir seperti ini. Dua polisi dan tiga sipir menggiringku ke dalam penjara. Tanganku digari. Aku menangis. Aku berteriak. Orang-orang dalam penjara tercuri perhatiannya. Ternyata aku tidak sendirian di dalam. Mereka merasa terganggu dengan teriakan yang kukeluarkan. Kuperhatikan satu-persatu wajah mereka. Aku seperti mengenal seorangnya. Dialah Lelaki ceking yang duduk menyudut sambil menengadahkan kepalanya ke atas sel. Ia seperti orang yang akan berencana meloloskan diri lewat atap. Ternyata ia juga terganggu dengan teriakanku. Lalu ia mendekatiku dengan perlahan. Aku melihat tangannya yang puntung. Tangan puntung itu seperti ingin mencekik batang leherku. Aku bukan kepalang takutnya. Aku menjerit. Sampai akhirnya, aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

IV/
Aku digiring ke sebuah ruangan lain yang di dalamnya tersimpan banyak misteri. Sepertinya ruangan itu tak pernah dimasuki oleh siapa pun. Aku dan dua orang sipir melewati lorong-lorong yang gelap. Aku dimasukkan dengan cara yang tidak manusiawi. Tak ada penghuni selain aku di dalamnya. Di dalam ruangan itu aku melihat banyak tulisan. Salah satunya tulisan “SELAMAT DATANG DI KOTA ROUGENVILE”. Tulisan itu membawaku ke sebuah tempat, tempat di mana tangan adalah sesuatu yang begitu sangat dihargai dan dihormati. Kota itu dipenuhi toko-toko yang berlambangkan tangan. Misalnya untuk mencari sebuah toko buku, kita tak perlu repot. Kita tinggal melihat lambang yang terpajang di tiap toko. Untuk sebuah toko buku, dilambangkan dengan sepasang tangan yang berpose seperti orang berdoa. Atau toko cincin yang dilambangkan dengan acungan jari tengah yang dililit cincin. Orang-orang di sana begitu menghargai tangan. Para koruptor, maling, pelaku tindak kekerasan rumah tangga, bisa hidup dengan tenang. Di mall-mall juga dijual tangan-tangan. Jadi, tak perlu susah-susah. Jika tangan kita terluka, korengan, atau apalah, tersedia penggantinya di toko-toko. Aku menamainya negeri tangan.

Aku menikmati hidupku di kota itu. Seandainya lelaki tua yang meletakkan tangannya di rel perlintasan kereta hingga putus itu tak mati, mungkin aku bisa membelikan tangan pengganti untuknya. Begitu juga untuk istriku, untuk istri tetanggaku, dan untuk tanganku sendiri yang masih diborgol. Aku terbangun dari tidur yang panjang. Seorang sipir datang menjemputku dari ruangan lima kali lima meter yang di dalamnya banyak narapidana tanpa tangan. Katanya aku bebas. Aku senang mendengar kabar baik itu. Aku bebas. Ya, aku sudah bebas. Aku melewatkan waktu sepuluh tahun di dalam penjara.

V/
Tiba-tiba saja telepon genggamku bergetar. Sebuah pesan dari istriku. Aku membacanya begitu khidmat. Aku membacanya sambil tersenyum.
“Bang, Adik ada jam tangan baru. Cantik lho Bang jam tangannya. Abang cepat pulang ya. Adik ingin Abang beri komentar.”

Maka, bergegas aku pulang menuju rumahku. Pasti istriku sudah tak sabar ingin menunjukkan jam tangan barunya.
“Ini Bang,” sambil mengarahkan tangannya ke hadapanku.

Aku melihat jam baru menghiasi tangan istriku. Begitu indah tangan itu. ditambah lagi pewarna yang menghiasi kuku-kukunya. Dia terlihat cantik, sama seperti ketika aku pertama kali melihatnya sepuluh tahun yang lalu.
“Di mana Adik beli?” Tanyaku.

“Tadi ibu datang Bang. Ini hadiah dari ayah sebelum ia meninggal.”

Istriku mengeluarkan air matanya. Jatuh menempel di jam tangan barunya. Aku memeluknya dengan kedua tanganku. Kami saling mendekap. Aku tak ingin dia bersedih. Apalagi sampai mengeluarkan airmata. Aku sudah melarangnya untuk tidak berduka atas apa yang menimpa keluarganya, dahulu.

“Tak usah Adik bersedih. Coba lihat Abang!” Aku menampakkan senyuman penghibur.
“Ia Bang. Tapi ini pemberian terakhir ayah sebelum meninggal.”

Aku mendekap tubuhnya lebih erat lagi. Aku kibas kepalanya dengan tangan kananku. Sementara tangan kiriku memegang pinggulnya. Aku menciumi keningnya. Air mata itu menempel di bibirku. Istriku sedang hamil dua bulan. Aku takut kalau kandungannya terganggu hanya karena masa lalu itu. Sepengetahuanku, istriku adalah orang yang tak mudah menangis. Apa mungkin ini bawaan anak yang ada di dalam kandungannya?
Sebulan lagi, akan ada kenduri di rumahku. Kenduri selamatan atas anak yang sedang dikandung istriku. Aku harus menyiapkan apa-apa saja yang dibutuhkan nantinya. Aku menelan ludahku lagi. Penghasilanku sebagai seorang maling pasar tidak menentu. Apalagi untuk acara kenduri. Tapi tak apalah, pikirku.

Waktu yang ditunggu-tunggu tiba juga. Empat adik iparku datang ke rumah. Mereka begitu senang kelihatannya. Mertua perempuanku juga datang. Ia membawakan kami hadiah. Aku membukanya. Ada boneka tanpa tangan. Aku tersenyum sambil menelan ludahku sendiri. Dan kini, boneka itu kupajang di dinding. Tiap malam, mimpi itu datang tanpa diundang. Semua orang berjalan tanpa tangan.

Desember 2011

Cerpen  Muhammad Pical Nasution

I/
Aku melihat gerakan sepasang tangan di antara tumpukan minuman kaleng berwarna merah-hijau dalam rak sebuah mall mewah. Tangan itu pelan-pelan beranjak dari kaleng minuman yang satu ke kaleng minuman berikutnya. Aku memerhatikannya dengan sangat hati-hati. Aku tak akan mengerdipkan mataku sedetik pun untuk tidak melihat peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, peristiwa yang akan dilakukan oleh tangan itu. Apalagi untuk melepas pandang. Aku mengikuti ke mana maunya jalan tangan itu. Langkahku pelan-pelan menyusuri. Sampai akhirnya, aku menghalau semua penasaranku terhadap tangan bejat itu ketika aku tak lagi melihatnya  dalam rak sebuah mall mewah.

Seonggok tubuh besar tiba-tiba menguntit di belakang. Seorang lelaki ceking secara tiba-tiba melintas di depan. Langkah  Lelaki ceking itu begitu mencurigakan. Aku memandangnya begitu serius sampai-sampai tak menghiraukan seonggok tubuh besar yang masih menguntit di belakang tadi. Aku tak lagi berpikir tentang tangan bejat yang bergerak di antara kaleng-kaleng minuman berwarna merah-hijau itu. Lalu, suara gaduh terdengar beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku melihatnya. Wanita-wanita cantik berdiri mengelilingi sesuatu yang rubuh. Tubuh besar di belakangku tadi telah hilang. Ternyata tubuh besar itu sudah berada di sekeliling wanita-wanita cantik yang begitu menggoda. Lelaki ceking itu berlumuran darah. Dari dalam bajunya, terdapat beberapa kaleng minuman berwarna merah-hijau. Lelaki ceking itu tertangkap basah. Kemudian aku bergerak menuju tumpukan kaleng minuman yang berjajar di dalam rak sebuah mall mewah. Di kaleng minuman itu, tertera banrol dua ribu tiga ratus rupiah. Lelaki ceking itu lalu dibawa entah ke mana. Aku sudah bisa membayangkan kalau dia akan dibawa ke dalam sel, dihajar sampai lebam, lalu diadili, atau mungkin dimatikan.

II/
Telepon genggamku bergetar. Sebuah pesan dari istriku ternyata.
“Bang, Adik sudah di rumah. Cepat pulang ya!”

Begitu isinya. Tiba-tiba saja tanganku gemetar. Aku masih mencengkeram geram telepon genggamku seolah-olah tak mau melepasnya atau kembali memasukkannya ke dalam saku. Aku keluar dari mall mewah tempatku membeli pewarna kuku untuk istriku. Harganya lumayan mahal. Aku sempat berpikir, “Apakah semua perempuan akan terlihat elegan jikalau kukunya diberi cat warna-warni?”
Aku tiba di rumah yang baru kutempati selama empat bulan setelah kami menikah. Istriku menyambutku dengan menjulurkan kedua tangannya untuk memelukku. Kami pun saling berpelukan mesra.
“Ada Bang pesananku?” tanyanya.

Aku membuka kantong plastik yang di dalamnya terdapat pewarna kuku yang baru kubeli dari sebuah mall mewah di kotaku. Aku berikan kepada istriku sambil melontar senyuman ke ingsut matanya. Ia terlihat begitu gembira. Aku puas sudah membelikan istriku benda kesukaannya. Dulu, sewaktu istriku masih kanak-kanak, mertua perempuanku berkata kalau istriku paling suka menghiasi kukunya. Saban hari, di dalam kamar, ia mewarnai kukunya dengan pewarna yang sering dibawakan almarhum ayahnya sewaktu masih bekerja sebagai satpam di sebuah mall.
“Coba lihat Bang!” katanya padaku.
“Cantik. Bagus kok.”

“Sebulan sekali, kalau bisa sih Bang, Adik minta ganti warnanya lagi ya!”

Aku menelan ludahku. Penghasilanku sebagai seorang penjaga pintu perlintasan kereta tidaklah begitu besar. Aku tak mau menolak permintaannya. Aku tak ingin jika istriku memotong kedua tangannya hanya karena tak dibelikan pewarna kuku seperti kejadian istri tetanggaku. Dengan terpaksa aku melontarkan lagi senyuman. Kali ini dengan senyuman kecil, dan langsung menembak ke lesung pipinya yang memukau sekaligus memilukan.

III/
Pintu perlintasan kereta segera kuturunkan. Kereta jurusan Tanjung Balai—Medan akan tiba. Orang-orang memberhentikan laju kenderaannya. Dari kejauhan aku melihat seorang tua meletakkan kedua tangannya di rel. Aku tak sempat menghalaunya untuk tidak melakukan hal bodoh itu. Aku gagal. Kereta melaju tanpa rem. Orang-orang berkumpul melihat kejadian itu. Aku melihat darah bercucuran. Kedua tangannya putus. Seorang perempuan menjerit di tubuh lelaki tua itu. Aku rasa dia adalah istrinya. Aku tak tega melihatnya. Aku bisa membayangkan bagaimana anak-anaknya hidup tanpa seorang ayah. Ternyata benar. Lima anaknya yang masih kecil datang menghampiri mayat ayahnya. Mereka mengulurkan isak tangis yang begitu dalam. Tapi, di antara kelimanya, adalah seorang perempuan kecil; cantik parasnya. Perempuan kecil itu tak menangis. Lalu aku tanyakan kepadanya kenapa ia tak menangis. Ia hanya melontarkan senyuman ke wajahku yang kalut. Istrinya tiba-tiba saja melotot. Ia bangkit dari rintihannya yang jauh. Ia mendekati tubuhku. Ia memukul-mukul badanku.
“Kenapa tidak kau halau suamikuuu?”

Pengadilan memutuskan bahwa aku dihukum sepuluh tahun penjara. Putusan itu membuatku hancur berkeping-keping. Aku tak mengira kalau kejadiannya harus berakhir seperti ini. Dua polisi dan tiga sipir menggiringku ke dalam penjara. Tanganku digari. Aku menangis. Aku berteriak. Orang-orang dalam penjara tercuri perhatiannya. Ternyata aku tidak sendirian di dalam. Mereka merasa terganggu dengan teriakan yang kukeluarkan. Kuperhatikan satu-persatu wajah mereka. Aku seperti mengenal seorangnya. Dialah Lelaki ceking yang duduk menyudut sambil menengadahkan kepalanya ke atas sel. Ia seperti orang yang akan berencana meloloskan diri lewat atap. Ternyata ia juga terganggu dengan teriakanku. Lalu ia mendekatiku dengan perlahan. Aku melihat tangannya yang puntung. Tangan puntung itu seperti ingin mencekik batang leherku. Aku bukan kepalang takutnya. Aku menjerit. Sampai akhirnya, aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

IV/
Aku digiring ke sebuah ruangan lain yang di dalamnya tersimpan banyak misteri. Sepertinya ruangan itu tak pernah dimasuki oleh siapa pun. Aku dan dua orang sipir melewati lorong-lorong yang gelap. Aku dimasukkan dengan cara yang tidak manusiawi. Tak ada penghuni selain aku di dalamnya. Di dalam ruangan itu aku melihat banyak tulisan. Salah satunya tulisan “SELAMAT DATANG DI KOTA ROUGENVILE”. Tulisan itu membawaku ke sebuah tempat, tempat di mana tangan adalah sesuatu yang begitu sangat dihargai dan dihormati. Kota itu dipenuhi toko-toko yang berlambangkan tangan. Misalnya untuk mencari sebuah toko buku, kita tak perlu repot. Kita tinggal melihat lambang yang terpajang di tiap toko. Untuk sebuah toko buku, dilambangkan dengan sepasang tangan yang berpose seperti orang berdoa. Atau toko cincin yang dilambangkan dengan acungan jari tengah yang dililit cincin. Orang-orang di sana begitu menghargai tangan. Para koruptor, maling, pelaku tindak kekerasan rumah tangga, bisa hidup dengan tenang. Di mall-mall juga dijual tangan-tangan. Jadi, tak perlu susah-susah. Jika tangan kita terluka, korengan, atau apalah, tersedia penggantinya di toko-toko. Aku menamainya negeri tangan.

Aku menikmati hidupku di kota itu. Seandainya lelaki tua yang meletakkan tangannya di rel perlintasan kereta hingga putus itu tak mati, mungkin aku bisa membelikan tangan pengganti untuknya. Begitu juga untuk istriku, untuk istri tetanggaku, dan untuk tanganku sendiri yang masih diborgol. Aku terbangun dari tidur yang panjang. Seorang sipir datang menjemputku dari ruangan lima kali lima meter yang di dalamnya banyak narapidana tanpa tangan. Katanya aku bebas. Aku senang mendengar kabar baik itu. Aku bebas. Ya, aku sudah bebas. Aku melewatkan waktu sepuluh tahun di dalam penjara.

V/
Tiba-tiba saja telepon genggamku bergetar. Sebuah pesan dari istriku. Aku membacanya begitu khidmat. Aku membacanya sambil tersenyum.
“Bang, Adik ada jam tangan baru. Cantik lho Bang jam tangannya. Abang cepat pulang ya. Adik ingin Abang beri komentar.”

Maka, bergegas aku pulang menuju rumahku. Pasti istriku sudah tak sabar ingin menunjukkan jam tangan barunya.
“Ini Bang,” sambil mengarahkan tangannya ke hadapanku.

Aku melihat jam baru menghiasi tangan istriku. Begitu indah tangan itu. ditambah lagi pewarna yang menghiasi kuku-kukunya. Dia terlihat cantik, sama seperti ketika aku pertama kali melihatnya sepuluh tahun yang lalu.
“Di mana Adik beli?” Tanyaku.

“Tadi ibu datang Bang. Ini hadiah dari ayah sebelum ia meninggal.”

Istriku mengeluarkan air matanya. Jatuh menempel di jam tangan barunya. Aku memeluknya dengan kedua tanganku. Kami saling mendekap. Aku tak ingin dia bersedih. Apalagi sampai mengeluarkan airmata. Aku sudah melarangnya untuk tidak berduka atas apa yang menimpa keluarganya, dahulu.

“Tak usah Adik bersedih. Coba lihat Abang!” Aku menampakkan senyuman penghibur.
“Ia Bang. Tapi ini pemberian terakhir ayah sebelum meninggal.”

Aku mendekap tubuhnya lebih erat lagi. Aku kibas kepalanya dengan tangan kananku. Sementara tangan kiriku memegang pinggulnya. Aku menciumi keningnya. Air mata itu menempel di bibirku. Istriku sedang hamil dua bulan. Aku takut kalau kandungannya terganggu hanya karena masa lalu itu. Sepengetahuanku, istriku adalah orang yang tak mudah menangis. Apa mungkin ini bawaan anak yang ada di dalam kandungannya?
Sebulan lagi, akan ada kenduri di rumahku. Kenduri selamatan atas anak yang sedang dikandung istriku. Aku harus menyiapkan apa-apa saja yang dibutuhkan nantinya. Aku menelan ludahku lagi. Penghasilanku sebagai seorang maling pasar tidak menentu. Apalagi untuk acara kenduri. Tapi tak apalah, pikirku.

Waktu yang ditunggu-tunggu tiba juga. Empat adik iparku datang ke rumah. Mereka begitu senang kelihatannya. Mertua perempuanku juga datang. Ia membawakan kami hadiah. Aku membukanya. Ada boneka tanpa tangan. Aku tersenyum sambil menelan ludahku sendiri. Dan kini, boneka itu kupajang di dinding. Tiap malam, mimpi itu datang tanpa diundang. Semua orang berjalan tanpa tangan.

Desember 2011

Artikel Terkait

Ketika Perempuan Diberi Porsi ’Melawan’

Manca’

Lelaki yang (Mencoba) Tersenyum

Tukang Foto Mayat

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/